Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bulat telur dari senayan duet baru republik kita

Su mpr 1988 diwarnai voting dalam penetapan beberapa keputusan. Pencalonan H.J. Naro sebagai wapres. Profil Presiden Soeharto dan wapres Sudharmono. Kisah terbitnya buku "butir-butir budaya jawa".

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG berbentuk kubah raksasa di Jalan Gatot Subroto Jakarta, itu selama sebelas hari, sampai Jumat pekan Ini, betul-betul menjadi pusat perhatian. Di sana, seribu anggota MPR bersidang untuk merumuskan GBHN dan sejumlah ketetapan MPR lainnya, serta memilih presiden dan wakil presiden. Artinya, dari sini akan ditentukan kemana haluan negeri ini akan diarahkan dan di sini pula dipilih siapa pimpinan nasional Indonesia selama lima tahun mendatang, 1988-1993. Dan betapa mengasyikan Sidang Umum kali ini, buat masyarakat awam pun. Keputusan ternyata tidak diambil dengan paduan suara "setuju" disusul ketok palu plmpinan. Ada perdebatan. Ada pergulatan. Ada tarik otot yang menandakan sebuah proses demokrasi telah berjalan. Beberapa keputusan terpaksa diambil dengan cara perhitungan suara (voting). Padahal, sesuai asas musyawarah untuk mufakat yang selama ini menjadi pegangan, cara itu ingin dihindari. Dalam sejarah Orde Baru, voting pernah terjadi dalam SU MPR sepuluh tahun lalu. Senin dinihari pekan ini, sejarah itu terulang. Yang mendorong terjadinya voting ini, seperti sepuluh tahun silam, tetap PPP. Sampai SU dimulai 1 Maret lalu, memang F-PP tampak sudah siap berjuang sendirian untuk menggolkan 35 butir usulan mereka yang tak disetujui empat fraksi lain, F-KP, F-UD F-ABRI, dan F-PDI. Ini adalah sisa ketidaksepakatan yang terjadi sampai akhir sidang Badan Pekerja MPR. Setelah beberapa hari sidang, 28 butir dilepas, tapi sisanya F-PP bersikukuh. "Memang tidak semua akan kami pertahankan. Dalam masalah yang kami anggap palmg prinsipiil, sepertl masalah agama dan aliran kepercayaan serta pelaksanaan pemilu, akan kami pertahankan," kata Sekjen DPP PPP Mardinsyah. Dan itulah yang terjadi. Sebagian materi itu diperdebatkan di komisi B (yang membahas materi non-GBHN), yang lain di komisi A (GBHN). Komisi C yang membahas pertanggungjawaban Presiden beres, karena semua fraksl sepakat menenmanya. Di komisi B, yang dipimpin Cosmas Batubara, F-PP mengusulkan dua rancangan ketetapan (rantap) sebagai pengganti rantap usulan pemerintah: mengenai pemilu dan rantap tentang kedudukan, wilayah dan pembiayaan organisasi politik. Misalnya, F-PP menghendaki hari pelaksanaan pemungutan suara diliburkan, dan kegiatan operasional organisasi politik dalam pemilu dibiayai pemerintah. Di Komisi A, F-PP menuntut agar bab agama dipisahkan dengan kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam GBHN, pendidikan agama dimasukkan dalam kurikulum TK sampai perguruan tinggi negeri atau swasta. Ada pula usulan pesantren masuk GBHN. Karena mereka pada bertahan, jadwal pembahasan, yang direncanakan cuma sampai Senin pekan ini, terlampaui. Tabrakan pun tak terhindarkan. Lewat pukul 0.00, apa boleh buat, terpaksa keputusan diambil dengan voting. Tata cara pemungutan suara yang disepakati: pihak yang setuju berdiri, yang tak setuju tetap duduk. Dinihari Selasa itu terjadilah pemungutan suara itu. Sebagian besar hadirin yang sudah bersidang sejak pagi tampak letih, lesu, dan mengantuk. Ada juga yang tertidur mengikuti "proses demokrasi" yang bersejarah itu. Untuk menyiapkan voting, sidang diskors beberapa saat oleh pimpinan. Sejumlah petugas menyiapkan peralatan seperti papanputih dan spidol. Mata-mata yang mengantuk pun kembali nyalang. Seorang anggota F-PP, sebelum sidang diskors, sempat mengucapkan kata akhirnya, "Semoga para anggota Majelis memahami keinginan F-PP." Keinginan F-PP akhirnya terpaksa tunduk pada suara mayoritas. Di Komisi A, F-PP hanya mendapat dukungan 28 suara semuanya berasal dari fraksi bintang tersebut. Suara selebihnya, 141, menentang. Di komisi B begitu pula. Dari 280 anggota, F-PP cuma dapat 28 suara. Lagi-lagi dari para anggotanya. Sekitar pukul 03.00 dinihari perhelatan demokrasi itu pun selesai. Mengapa masih memaksakan voting meski pasti kalah? "Pokoknya, bagi kita di Sidang Umum, lima tahun sekali inilah ada kesempatan untuk itu," kata Ketua F-PP MPR Darussamin. Buat F-PP, yang diperjuangkan ini sebetulnya masalah lama. Beberapa materi seperti soal massa mengambang (rantap kedudukan organisasi politik), sudah pernah diperjuangkan F-PP sampai tingkat voting dalam SU 1978 dan juga kalah. Voting di Komisi A dan B tersebut bukan satu-satunya yang memeriahkan Sidang Umum kali ini. Yang lebih menarik dan menggegerkan adalah soal pencalonan wakil presiden. Mengenai kepala negara, tak ada sedikit pun keraguan bahwa Pak Harto akan terpilih kembali menjadi presiden untuk periode 1988-1993 sebab semua fraksi yang ada di MPR sudah sepakat untuk itu. Tapi siapa yang akan menJad pendampingnya? Pertanyaan itu pun sesungguhnya kalau menurut perhitungan di atas kertas sudah terjawab. Yaitu setelah Selasa pekan lalu, fraksi-fraksi diterima Presiden Soeharto di Istana Negara. Hari itu, kelima fraksi MPR menemui Kepala Negara di Istana Negara untuk meminta kesediaannya dicalonkan kembali sebagai presiden. Mula pertama yang menghadap, sekira pukul 09.00, adalah F-KP. Fraksi itu dipimpin oleh R.H. Sugandhi Kartosubroto, Ketua F-KP MPR, bersama tujuh anggota rombongan. Selama 45 menit mereka diterima Pak Harto. Setelah itu menyusul Fraksi ABRI (F-ABRI), F-UD, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPDI), baru yang terakhir Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP). Seperti dijelaskan oleh setiap fraksi kemudian di gedung MPR semua fraksi mencalonkan Pak Harto untuk jabatan presiden, dan Kepala Negara menerimanya. Tapi untuk wakil presiden terjadi perbedaan. F-KP dan F-UD dengan tegas mencalonkan Mensesneg Sudharmono. Sedang F-ABRI tidak mencalonkan tapi mendukung calon FKP itu. Seperti dikatakan oleh Ketua F-ABRI, Harsudiono Hartas, fraksinya telah mengonsultasikan nama Sudharmono sebagai calon wakil presiden kepada Pak Harto. "Bapak Presiden bisa menerima dan bisa bekerja sama," katanya. Menjelang Sidang Umum MPR lima tahun berselang, F-KP, F-UD, dan F-ABRI-yang disebut trifraksi - muncul bersama-sama mencalonkan Umar Wirahadikusumah sebagai wapres. Tapi kali ini, seperti dikatakan seorang anggota fraksi ABRI, "Karena sudah ada fraksi yang mencalonkan Pak Dhar, ya kita mendukung saja." Konon, sebetulnya kali ini pun ada rencana agar trifraksi tampil bersama seperti lima tahun lalu, dengan Sudharmono sebagai calon. Surat pernyataan bersama pun sudah sempat dikonsep pada hari Senin itu, dan direncanakan akan ditandatangani oleh ketua fraksi masing-masing: R.H. Sugandhi (FKP), Harsudiono Hartas (F-ABRI), dan Ida Bagus Mantra (F-UD). Namun, rencana itu urung karena rupanya salah satu fraksi berpendapat pencalonan itu lebih baik dilakukan fraksi sendiri-sendiri. Dan itulah yang kemudian yang terjadi. Lain pula F-PDI. Fraksi itu tidak mencalonkan dan tidak pula menggunakan istilah mendukung, melainkan memperkuat calon yang sudah disampaikan F-KP dan F-UD. Sikap yang diambil PDI itu mengesalkan banyak pendukungnya, termasuk di daerah-daerah. Akibatnya, citra parpol terkecil ini coreng-moreng. Lain F-PDI, lain pula F-PP. Mereka tampil dengan sikap yang lebih meyakinkan. Selepas menghadap Pak Harto di hari yang sama, Ketua F-PP Darussamin menegaskan kepada wartawan bahwa fraksinya mencalonkan ketua umumnya, Jailani Naro, sebagai wapres. Pernyataan ini mempertegas sikap fraksi ini seperti yang telah mereka umumkan sepekan sebelumnya. Keputusan itu, seperti diketahui, merupakan hasil rapat Majelis Pertimbangan Partai (MPP) dan Dewan Pimpinan Partai (DPP) PPP, 28 Februari yang lalu. Maka, untuk pertama kaliya dalam sejarah Republik, Sidang Umum MPR kali ini menampilkan dua calon wapres. Dan ini seakan mengalirkan embusan angin segar di kehidupan politik Indonesia. Dengan jumlah pendukung yang begitu besar, 907 anggota, (FP 548 anggota, F-UD 147, F-ABRI 151, ditambah F-PDI, 61 anggota), hanya keajaiban tampaknya yang bisa mengalahkan Sudharmono. Sedang Naro hanya didukung F-PP yang memiliki 93 anggota. Cukup wajar kalau Darussamin mengatakan bahwa bila berdasarkan perhitungan di atas kertas, calon mereka sudah pasti jadi pecundang. Tapi rupanya bukan soal menang atau kalah. F-PP, seperti dikatakan Darussamin ingin menegakkan citra MPR agar menjadi bukan sekadar tukang stempel. Selama ini PPP sering mendengar kecaman seperti itu ditujukan oleh anggota masyarakat terhadap lembaga tertinggi negara itu. Bila F-PP tak menarik pencalonan Naro sampai Kamis pekan ini - batas waktu yang ditentukan dalam pencalonan wapres berarti bakal terjadi pemilihan wapres dengan perhitungan suara - sesuatu yang belum pernah terjadi selama ini. Menurut jadwal, pemilihan akan dilangsungkan Jumat pekan ini pukul 15.30 - beberapa jam sebelum Sidang Umum ditutup. Selama ini wapres selalu dipilih dari calon tunggal. Mulai dari Sultan Hamengku Buwono IX dalam Sidang Umum MPR 1973, Adam Malik (1978), sampai Umar Wirahadikusumah (1983). Bahkan lebih ke belakang Mohammad Hatta terpiiih sebagai wapres pertama juga melalui perhitungan suara, melainkan hasil dari pemilihan aklamasi. (TEMPO, 5 Maret 1988). Dengan tidak menyebutkan nama pilihannya, kali ini Presiden Soeharto tampaknya menginginkan pemilihan wapres berjalan dengan sebuah mekanisme dan sistem yang baku, sehingga di masa mendatang penggantian akan lebih sesuai dengan demokrasi Pancasila. Dengan sistem itu, diharapkan, pemilihan tak dilakukan atas dasar senang atau tak senang, secara pribadi. Menurut TAP MPR nomor II/1973 tentang tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden, yang berwenang mencalonkan wapres adalah fraksi. Ketentuan inilah yang dimanfaatkan F-PP untuk ngotot dengan pencalonan Naro, meski imbauan dan tekanan datang bertubi-tubi. Salah satu di antaranya datang dari Golkar. Sekjen Golkar, Sarwono Kusumaatmadja, misalnya, mengimbau agar Naro mengundurkan diri saja, sehingga tak sampai terjadi voting dalam pemilihan wapres. Alasannya, Pak Harto tidak mungkin bisa bekerja sama dengan Naro. "Selain itu, toh hasilnya sudah bisa diketahui dari sekarang. 'Kan nggak mungkin terjadi kejutan besar?" katanya Rabu pekan lalu. Namun, imbauan Sarwono ternyata tidak pas dengan keinginan tokoh-tokoh Golkar lainnya. Wakil Ketua DPR/MPR, R. Soekardi mengkritik pernyataan itu dengan mengingatkan bahwa adalah hak F-PP untuk mencalonkan Naro tanpa bisa dicampuri fraksi lain. "Ia baru akan mundur kalau dikehendaki partainya," kata Soekardi yang juga Ketua DPP Golkar itu. Tapi Sabtu pekan lalu, tiba-tiba ada pula perkembangan baru. Ini datang dari B.M.Diah. Sehabis menemui Presiden oeharto di Istana Merdeka, hari itu Pemimpin Redaksi Harian Merdeka dan bekas menteri penerangan itu menyampaikan kepada pers bahwa ada isyarat dari Presiden agar calon wapres yang sudah mengetahui tidak akan mendapat suara terbanyak mengundurkan diri saja. Hal itu untuk memberi kesempatan kepada calon yang pasti akan terpilih dengan suara terbanyak supaya dengan demikian prinsip musyawarah untuk mufakat yang akan dicapai nanti benar-benar mufakat yang bulat, bukan lonjong atau oval. "Kalau ini dipertahankan juga bisa saja tapi akan memperoleh mufakat yang lonjong atau oval. Ini perkataan Presiden," kata B.M. Diah seperti dikutip Suara Pembarian. B.M. Diah menghadap Pak Harto hari itu selaku pengurus Yayasan 17-8-1945. Bersamanya turut pengurus lain, Roeslan Abdulgani, Isnaeni, dan Supeno Sumardjo. Betulkah ada isyarat mundur itu? Pernyataan B.M. Diah itu dibenarkan oleh Roeslan Abdulgani. Tapi kepada TEMPO, Cak Roeslan menyatakan bahwa Pak Harto tak pernah menggunakan kata "mundur" atau "mengundurkan diri". "Istilah yang dipakai Pak Harto adalah 'membuka jalan'," ujarnya. Kepala Negara ketika itu menjawab pertanyaan B.M. Diah, dan seingat Roeslan, ia berkata, "Andai kata sudah diketahui ada calon yang tidak akan mendapat banyak suara, apa sih jeleknya untuk membuka jalan bagi yang akan mendapat suara terbanyak, sehingga musyawarah mufakat itu tercapai dengan bulat. Tapi kalau toh anggota MPR dan fraksi mau voting, silakan." Menurut sumber TEMPO, dalam pertemuan dengan F-KP, Selasa pekan lalu di Istana Negara, dan Senin malam sebelumnya di Jalan Cendana - etika melapor pada Pak Harto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar bahwa F-KP akan mencalonkan Pak Dhar menjadi wapres - Pak,Harto juga mengisyaratkan agar calon yang tak akan mendapat dukungan sebaiknya bisa mengendalikan diri. "Menurut Pak Harto, mengendalikan diri itu adalah esensi dari demokrasi Pancasila itu," kata sumber itu. Akan mundurkah John Naro? Ternyata, sampai Selasa pekan ini, tidak. Seusai mengadakan pertemuan dengan anggota fraksinya di Hotel Sahid Jaya, Sabtu malam, Naro menegaskan pada wartawan bahwa dia tak percaya Pak Harto mengisyaratkan dia agar mundur seperti yang atakan B.M. Diah itu. "Itu 'kan kata B . Diah, saya tidak dengar sendiri," katanya tetap bersemangat. Kalau omongan B.M. Diah benar? "Tak mungkin Pak Harto bicara begitu. Saya tahu Pak Harto orangnya sangat demokratis," katanya dengan suara tinggi seperti menyergah. Buat F-PP, pencalonan Naro ini telah terbukti mengangkat citra partainya sebagai kampiun demokrasi. Tampaknya, mereka tidak takut voting. Mereka yakin 93 anggota F-PP tidak akan bergeming oleh berbagai "tekanan" dan semuanya akan bulat mendukung Naro. "Buat kami, bila dalam voting kami berhasil mengumpulkan 94 suara, itu pun sudah cukup. Itu berarti kami sudah menang," kaa Mardinsyah. Bila F-PP memang memperoleh 94 suara - artinya satu suara dari fraksi lain yang "menyeberang" - memang itu suatu kemenangan politis. Dan kemungkinan ini ada. Yang dilirik oleh F-PP antara lain suara dari Utusan Golongan-Golongan, yang berjumlah 100 orang - 98 di antaranya bergabung di F-KP. Titik lemah ini rupanya jua disadari F-KP. Sebuah sumber mengungkapkan, di antara anggota F-KP sendiri ada kekhawatiran penyeberangan suara bila voting dilakukan. Kekhawatiran tersebut jelas tampak di antara tokoh tua F-KP. Tapi kalangan muda F-KP tampaknya tak gentar menghadapi voting. "Buat kami yang sudah biasa berorganisasi di ormas, voting itu bukan barang yang aneh. Kenapa takut?" kata seorang anggota F-KP. Bagaimana kalau ada suara yang lari? "Oh, kami sudah siap untuk menangkalnya." Konon, memang ada resep yang sedang digodok di F-KP yang disebut dengan sistem lima-satu. Sistem ini mendasarkan diri pada pembinaan. Di sini, ada seorang koordinator yang bertanggung jawab pada empat anggota. Sejak Minggu pekan lalu F-KP telah mulai menyiapkan calon-calon koordinator ini. Sedang sejak Senin pekan ini, dilakukan santiaji - termasuk tentang tata cara voting. Kabarnya, hal yang sama juga akan diterapkan di F-UD. Di fraksi ini, konon para gubernur akan menjadi koordinator. Semua keramaian ini cukup membuat capek. Apalagi penyebabnya hanya Naro seorang. Namun, betapapun, sebuah proses demokrasi tengah menggelinding. Amaran nasution, Yopie Hidayat, Muchsin Lubis, Tri Budianto Soekarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus