SEKELOMPOK anak kecil menangis di depan rumah Asisten Wedana di
satu kota di Madura, 1919. Mereka memang dihukum. Tubuh mereka
dicap tinta dengan tulisan Je Maintendrai semboyan Raja Belanda
yang termasyhur itu. Kesalahan mereka: tak masuk sekolah ....
Bumiputra Hindia Belanda, kalian mesti bersekolah. Gubernemen
telah sediakan sekolah desa. Tuan Gubernur Jenderal van Heutz
telah atur ada sekolah tiga tahun di dusun-dusun dan juga Tweede
Klasse Scholen atau Sekolah Angka Loro. Kalian mesti bisa baca,
tulis, berhitung.
Maka berduyunlah rakyat bumiputra masuk sekolah -- dengan titah
yang mulai terdengar di awal abad ke-20 itu. Ini cara orang
Belanda membalas budi. Kalian mesti mau, mesti setuju. Kalau
tidak, anak-anak akan dikumpulkan di rumah Asisten Wedana.
Semua pun bingung, tapi tunduk. Tuan besar, bagaimana kami mesti
kasih ongkos? Dan bagaimana anak-anak bisa membantu di sawah,
bila mereka mesti pergi sekolah? Kami kapok dengan macam-macam
pungutan. Kami tak sanggup membiayai tuan punya kegiatan.
Sejarah pendidikan di Indonesia nampaknya memang sejarah tentang
niat baik dan hasil yang menyimpang. Dalam satu kongres
pengajaran di tahun 1919 seorang bernama J.H. Gunning membacakan
satu prasaran tentang keadaan sekolah desa yang disaksikannya.
Kecuali di Priangan dan Sumatera Barat, rakyat tak nampak
berminat dengan usaha gubernemen itu. Di tempat lain bahkan
kadang dipakai paksaan. Rakyat di desa, kata Gunning dengan
sedikit sarkasme, ternyata tak dipengaruhi semangat "Timur yang
bangkit".
Kita tak tahu adakah semua itu memang karena belum ada kesadaran
"Timur yang bangkit", atau karena sekolah hanya beban yang nyata
secara sosial dan ekonomi. Sebab perkembangan segera jadi lain
ketika Indonesia memasuki dasawarsa kedua abad ke-20.
Di masa ini, sekolah berbahasa Belanda untuk orang jajahan mulai
didatangi dengan bersemangat oleh anak-anak bumiputra.
Pendidikan telah menciptakan godaannya: kehidupan yang sepeni
orang yang layak, status yang lebih tinggi, dan segala ambisi
lain di masyarakat kolonial yang berjenjang-jenjang itu.
Tapi pada gilirannya, derasnya orang bumiputra masuk ke sekolah
berbahasa Belanda itu mengkhawatirkan. Tatkala orang-orang
berkulit cokelat bisa fasih bicara ik dan jij enz., orang-orang
berkulit putih merasa kedudukan eksklusif mereka tercemar.
Juga kompetisi pun bertambah pahit. Dalam salah satu suratnya
yang tajam --meskipun tetap gemulai -- Kartini bercerita
bagaimana seorang Asisten Residen menghukum seorang inlander
terpelajar yang berani berbahasa Belanda yang fasih di
hadapannya.
Bahasa Belanda hanyalah simbol: semacam dasi, semacam kertas
ijazah. Ketika simbol ini diperebutkan, suasana pun rusak.
Apalagi ruang kian terbatas. Dalam satu penyelidikan di tahun
1924, diketahuilah bahwa di Batavia sebanyak 16,5% dari sekitar
10.000 orang bumiputra yang berbahasa Belanda tak beroleh
pekerjaan. Mereka memilih untuk menganggur. Ada dugaan Belanda
bahwa mereka berbuat begitu karena enggan kerja kasar -- dan
mungkin benar. Tapi ada kemungkinan bahwa orang-orang itu sedang
memutuskan diri dari jaring-jaring nilai, dan norma, masyarakat
kolonial.
Apa pun sebabnya, orang Belanda umumnya cemas. Bahaya
"proletariat intelektual" yang sudah dibisik-bisikkan di awal
abad ke-20, ketika sekolah desa baru saja dibuka, kini terdengar
lagi.
Apalagi ketika di tahun 1926 suatu gerakan radikal kiri
meletus, timbullah dugaan bahwa orang-orang radikal itu justru
produk dari pendidikan sekolah yang disediakan gubernemen
sendiri.
Di tahun 1927, misalnya, seorang pejabat kolonial bicara di
depan Volksraad, lembaga perwakilan kolonial itu. Lihatlah
orang-orang pemberontak yang dibuang ke Digul itu, katanya.
Ternyata 80% dari mereka adalah kaum yang terdidik selama 12
tahun terakhir. Mereka bahkan boleh dibilang lapisan tipis
paling atas orang-orang yang berpendidikan -- ketika di Hindia
Belanda hanya 6% penduduk yang melek huruf ....
Bukankah pendidikan bisa berbahaya? Tentu saja, Tuan Ranneft,
tentu saja. Dan kita paham kenapa Tuan mengecam
"intelektualisme". Tuan ingin agar pendidikan di negeri ini
"memperkuat kehidupan bisnis", dan menyiapkan para inlander yang
bisa bekerja di lapangan mana pun. Tuan tidak 100% salah.
Tapi Tuan mungkin perlu pikir juga baik-baik kenapa Tuan
Stokvis, orang sosialis itu, tadi berteriak, ketika Tuan selesai
pidato, "Buruh murah!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini