Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Intelektual

Pemerintahan belanda th 1919 mendirikan sekolah untuk orang bumiputra. orang belanda cemas bahaya proletariat intelektual ditambah dengan adanya gerakan radikal. diduga orang-orang radikal itu produk sekolah.

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKELOMPOK anak kecil menangis di depan rumah Asisten Wedana di satu kota di Madura, 1919. Mereka memang dihukum. Tubuh mereka dicap tinta dengan tulisan Je Maintendrai semboyan Raja Belanda yang termasyhur itu. Kesalahan mereka: tak masuk sekolah .... Bumiputra Hindia Belanda, kalian mesti bersekolah. Gubernemen telah sediakan sekolah desa. Tuan Gubernur Jenderal van Heutz telah atur ada sekolah tiga tahun di dusun-dusun dan juga Tweede Klasse Scholen atau Sekolah Angka Loro. Kalian mesti bisa baca, tulis, berhitung. Maka berduyunlah rakyat bumiputra masuk sekolah -- dengan titah yang mulai terdengar di awal abad ke-20 itu. Ini cara orang Belanda membalas budi. Kalian mesti mau, mesti setuju. Kalau tidak, anak-anak akan dikumpulkan di rumah Asisten Wedana. Semua pun bingung, tapi tunduk. Tuan besar, bagaimana kami mesti kasih ongkos? Dan bagaimana anak-anak bisa membantu di sawah, bila mereka mesti pergi sekolah? Kami kapok dengan macam-macam pungutan. Kami tak sanggup membiayai tuan punya kegiatan. Sejarah pendidikan di Indonesia nampaknya memang sejarah tentang niat baik dan hasil yang menyimpang. Dalam satu kongres pengajaran di tahun 1919 seorang bernama J.H. Gunning membacakan satu prasaran tentang keadaan sekolah desa yang disaksikannya. Kecuali di Priangan dan Sumatera Barat, rakyat tak nampak berminat dengan usaha gubernemen itu. Di tempat lain bahkan kadang dipakai paksaan. Rakyat di desa, kata Gunning dengan sedikit sarkasme, ternyata tak dipengaruhi semangat "Timur yang bangkit". Kita tak tahu adakah semua itu memang karena belum ada kesadaran "Timur yang bangkit", atau karena sekolah hanya beban yang nyata secara sosial dan ekonomi. Sebab perkembangan segera jadi lain ketika Indonesia memasuki dasawarsa kedua abad ke-20. Di masa ini, sekolah berbahasa Belanda untuk orang jajahan mulai didatangi dengan bersemangat oleh anak-anak bumiputra. Pendidikan telah menciptakan godaannya: kehidupan yang sepeni orang yang layak, status yang lebih tinggi, dan segala ambisi lain di masyarakat kolonial yang berjenjang-jenjang itu. Tapi pada gilirannya, derasnya orang bumiputra masuk ke sekolah berbahasa Belanda itu mengkhawatirkan. Tatkala orang-orang berkulit cokelat bisa fasih bicara ik dan jij enz., orang-orang berkulit putih merasa kedudukan eksklusif mereka tercemar. Juga kompetisi pun bertambah pahit. Dalam salah satu suratnya yang tajam --meskipun tetap gemulai -- Kartini bercerita bagaimana seorang Asisten Residen menghukum seorang inlander terpelajar yang berani berbahasa Belanda yang fasih di hadapannya. Bahasa Belanda hanyalah simbol: semacam dasi, semacam kertas ijazah. Ketika simbol ini diperebutkan, suasana pun rusak. Apalagi ruang kian terbatas. Dalam satu penyelidikan di tahun 1924, diketahuilah bahwa di Batavia sebanyak 16,5% dari sekitar 10.000 orang bumiputra yang berbahasa Belanda tak beroleh pekerjaan. Mereka memilih untuk menganggur. Ada dugaan Belanda bahwa mereka berbuat begitu karena enggan kerja kasar -- dan mungkin benar. Tapi ada kemungkinan bahwa orang-orang itu sedang memutuskan diri dari jaring-jaring nilai, dan norma, masyarakat kolonial. Apa pun sebabnya, orang Belanda umumnya cemas. Bahaya "proletariat intelektual" yang sudah dibisik-bisikkan di awal abad ke-20, ketika sekolah desa baru saja dibuka, kini terdengar lagi. Apalagi ketika di tahun 1926 suatu gerakan radikal kiri meletus, timbullah dugaan bahwa orang-orang radikal itu justru produk dari pendidikan sekolah yang disediakan gubernemen sendiri. Di tahun 1927, misalnya, seorang pejabat kolonial bicara di depan Volksraad, lembaga perwakilan kolonial itu. Lihatlah orang-orang pemberontak yang dibuang ke Digul itu, katanya. Ternyata 80% dari mereka adalah kaum yang terdidik selama 12 tahun terakhir. Mereka bahkan boleh dibilang lapisan tipis paling atas orang-orang yang berpendidikan -- ketika di Hindia Belanda hanya 6% penduduk yang melek huruf .... Bukankah pendidikan bisa berbahaya? Tentu saja, Tuan Ranneft, tentu saja. Dan kita paham kenapa Tuan mengecam "intelektualisme". Tuan ingin agar pendidikan di negeri ini "memperkuat kehidupan bisnis", dan menyiapkan para inlander yang bisa bekerja di lapangan mana pun. Tuan tidak 100% salah. Tapi Tuan mungkin perlu pikir juga baik-baik kenapa Tuan Stokvis, orang sosialis itu, tadi berteriak, ketika Tuan selesai pidato, "Buruh murah!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus