SEJUMLAH mereka yang disebut "intelektual" diangkat menjadi anggota MPR. Kehadiran mereka di MPR dianggap menggeser kedudukan para politisi profesional yang sudah lama menggeluti partai politiknya, entah pada tingkat ranting, cabang, wilayah, ataupun pada tingkat pusat. Sejumlah komentar dan sorotan sudah dikeluarkan menyangkut mereka. Harapan melambung akan meningkatnya kualitas lembaga perwakilan karena kehadiran mereka. Siapakah yang umumnya disebut sebagai intelektual? Apakah mereka yang bekerja di perguruan tinggi semuanya intelektual? Atau apakah karena bergabung dalam sebuah organisasi yang memakai nama intelektual kemudian mereka otomatis menjadi intelektual? Nanti dulu. Kaum intelektual, kata Edward Shils, adalah mereka yang mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap dunia yang sakral, mereka yang mempunyai daya reflektif yang sangat tajam akan hakikat alam dan aturan yang mengatur kehidupan ini. Mereka adalah kalangan minoritas yang selalu mencari jawaban yang melewati batas-batas yang dapat ditatap oleh mata. Mereka mempunyai keinginan yang sangat keras untuk mengeksternalisasikan pikiran mereka, baik secara lisan maupun tertulis, secara puitis maupun plastis. Ada keinginan untuk terus-menerus bergelut dari dalam dirinya dalam mencari hakikat di balik yang tampak. Semua orang dapat saja merasa dan mengaku dirinya sebagai intelektual, tetapi apa yang diajukan oleh Edward Shils itulah yang dapat dijadikan cermin untuk melihat diri sendiri. Sekalipun seseorang menjadi pengajar di perguruan tinggi dengan gelar setumpuk, ia belum tentu termasuk kategori kaum intelektual kalau ia hanya mengajar, sekadar penelitian untuk kenaikan pangkat dan menjadi guru besar, tanpa ada kepedulian sosial sama sekali. Dia hanyalah dosen, sebutan mentereng bagi mereka yang mengajar di sebuah universitas. Sementara itu ada orang yang tidak memiliki atribut akademik tetapi daya reflektif dan kontemplatif serta kepedulian sosial mereka tinggi sekali mereka adalah intelektual yang sesungguhnya. Kaum intelektual memiliki tradisi tertentu yang tidak sembarang orang dapat melakukannya, yaitu tradisi cinta kepada ilmu, cinta kepada pergulatan kebudayaan, pada umumnya sangat revolusioner (di dalam menolak kemapanan), dan yang sangat menonjol adalah sangat "populistik." Mereka percaya bahwa masyarakat kebanyakan memiliki keyakinan dan kepercayaan, kearifan, potensi dan kreativitas yang tidak kalah unggulnya dengan segmen masyarakat lainnya. Intelektual memiliki romantisme kepemihakan dengan masyarakat bawah. Di dalam sejarah kehidupan manusia, kaum intelektual dan kekuasaan mempunyai hubungan yang sangat unik. Dalam politik, kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi, menghambat, memaksa, dan menghukum orang lain. Kekuasaan seorang raja, presiden, menteri, gubernur, dan lain-lain membutuhkan keabsahan, dan keabsahan baru akan muncul kalau masyarakat kebanyakan percaya dan mengakui eksistensi kekuasaan. Dan biasanya hal itu tidak lahir secara instan seperti membuat super mi. Keabsahan lahir melalui pengalaman dan tradisi yang merupakan produk dari pendidikan dan pengajaran. Di sinilah kaum intelektual memainkan peranan yang penting sekali. Kaum intelektual biasanya memperlihatkan model dan standar berpikir dan bertindak. Apa yang mereka katakan didengar orang, dan apa yang mereka lakukan selalu ditiru. Karena itu pendapat dan petunjuk mereka sering dicari. Yang tidak kalah penting lagi adalah pengakuan dari mereka atas eksistensi kekuasaan dan pemegang kekuasaan. Mereka tidak hanya mengisi fungsi otoritas, tapi sekaligus memperlihatkan sikap dan perilaku pengakuan atas otoritas yang ada. Bahkan bukan tidak mustahil kaum intelektual menempati posisi yang paling dekat dengan kekuasaan. Mereka menjadi "mentor", bahkan guru, konselor, dan teman bagi sang pangeran. Kenyataan seperti itu dapat kita temukan dari zaman klasik sampai dengan masa pasca industrialisasi ini. Pada masa klasik, Plato memper lihatkan peranan yang sangat positif di Syracuse, demikian juga dengan Aristoteles yang mempunyai hubungan khusus dengan Alexander. Pada abad pertengahan kita menemukan hubungan antara Alcuin dan Charlemagne, Thomas Hobbes dan Charles II sebelum restorasi, juga antara Milton dan Cromwell. Bagaimana dengan Indonesia? Di dalam sejarah politik nasional Indonesia kita juga menemukan hal yang sama sejak zaman Mataram yang pertama. Hubungan antara "Pandito" dan "Ratu" merupakan hubungan yang sangat unik dan sama sekali tidak terpisahkan dalam konsep kekuasaan Mataram. Sang Pandito merupakan guru dan bah kan tidak jarang menjadi penasihat spiritual dari sang ratu. Indonesia modern sebenarnya merupakan hasil keringat dari kalangan intelektual. Karena keadaan mereka, yang merupakan sang pelopor, mereka menjadi politisi. Soekarno, misalnya, sejak masih sangat muda sudah mengeluarkan pikiran-pikiran yang sangat memikat. Juga Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Agus Salim, Muhammad Natsir, Isa Anshari, Hasyim As'ari, I.J. Kasimo, Siwabessy, dan lain-lainnya. Para politisi pada masa perjuangan kemerdekaan dan sampai dengan pasca kemerdekaan pada umumnya merupakan intelektual sekaligus. Tentu saja berbeda sekali dengan para politisi masa kini. Satu hal yang harus dicatat mengenai kaum intelektual, di mana saja dan kapan sekalipun, yaitu integritas pribadi mereka tinggi sekali. Mereka tidak hanya ber bicara dengan menggunakan akal pikiran, tapi dengan "hati nurani." Mereka sangat paham betul untuk menempatkan diri dan tidak larut dalam lingkaran kekuasaan. Mereka tahu betul kapan harus keluar dari lingkaran kekuasaan kalau lingkaran tersebut sangat sulit untuk dicerna lagi oleh akal dan pikiran sehat mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini