Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Swayambhu. Stupa di Kathmandu itu bentuknya blenduk bundar raksasa. Diameternya mungkin tujuh meter atau lebih. Di atas blenduk itu dipancangkan pilar yang pada bagian harmika (tatakan pedestal persegi empat) berhiaskan lukisan mata. Mata itu memandang ke segala arah. Mata itu ikon Nepal. Di mana pun kita berada di Kathmandu, di lorong-lorong pasar, di gang-gang losmen, di toko arca, mata itu sering ditorehkan penduduk. Mata itu simbol mata Buddha. Bahwa Buddha mengawasi kita setiap saat.
Di setiap ritual Swayambhu, umat Buddha Kathmandu akan mengelilingi stupa itu, melakukan pradaksina, sembari memercikkan bubuk kuning merah ke badan stupa. Lokasi tempat berdirinya stupa dipercaya sudah sangat tua. Ribuan tahun sebelum di situ terdapat sebuah danau penuh lotus, tempat yang ilahi—yang disebut Adi Buddha—memancarkan Jyotirupa, sebuah cahaya emanasi.
Mendasarkan diri pada legenda yang termaktub dalam kitab kuno Swayambhu Purana, masyarakat Nepal meyakini Siddhartha Gautama pernah berziarah ke Swayambhu dan melakukan bakti kepada Adi Buddha. Bahkan bukan hanya Gautama, melainkan buddha-buddha lain sebelum Gautama. Umat Buddha Mahayana Nepal percaya ada 27 buddha sebelum Siddhartha. Mereka, termasuk Siddhartha, disebut Manushi Buddha.
Enam Manushi Buddha sebelum Siddhartha juga melakukan devosi terhadap Adi Buddha di Swayambhu. Mereka adalah Shikki, Vishvabhu, Manjusri, Krakuchanda, Kanakamuni, dan Kasyapa. Para teolog dan arkeolog Nepal berdebat mana dari ketujuh sosok itu yang sesungguhnya pernah hidup konkret dan mana yang cuma mitos. Krakuchanda dan Kanakamuni, misalnya, disebutkan berasal dari kawasan Nepal bernama Gotihawa dan Niglihawa. Sedangkan Kasyapa dari Benares yang sekarang lokasinya di India.
Tentu Romo Mudji Sutrisno, 59 tahun, tidak ingin terlibat diskusi apakah Manushi Buddha sebelum Gautama betul-betul ada atau tidak dalam sejarah. Tapi ia ingat bagaimana pada suatu sore bulan Agustus ia terpesona menyaksikan blenduk stupa Swayambhu yang di sana-sini penuh bercak warna bekas upacara. "Mereka menyiram warna merah, hijau, kuning bagai taburan tepung bunga. Itu tradisi syukuran atas hidup dan pujian kepada Yang Ilahi," katanya.
Romo Mudji juga terpikat oleh bagaimana dari pucuk pilar terentang benang ke segala arah. Benang itu diganduli bendera kecil warna-warni yang ternyata rajah doa. "Stupa itu dihiasi temali surat dan kertas-kertas doa, dan kalau tertiup angin sangat indah," katanya. Mudji, setelah dari Kathmandu, melakukan perjalanan ke Lumbini, tempat kelahiran Siddhartha. Di situ ia melihat bekas-bekas stupa yang didirikan pada 249 sebelum Masehi oleh Ashoka, penguasa India. Saat Ashoka berkunjung ke Lumbini, ia juga membangun sebuah pilar yang masih bisa dilihat sampai sekarang.
Dan kenangan itu oleh Romo Mudji dituangkan dalam sketsa-sketsa yang dipamerkan di Galeri Cipta 3 Taman Ismail Marzuki, Jakarta, berjudul Dari Stupa ke Stupa. Selama ini Romo Mudji dikenal sering membuat sketsa hitam-putih. Pada beberapa kesempatan ia mengatakan sketsa adalah latihan untuk menorehkan garis keheningan. Berbeda dengan para perupa, kita melihat sketsa yang dibuat Mudji bukanlah upaya menyalin realitas, tapi mengambil sari pati realitas. Sering kita lihat ia tak utuh menggambar bangunan seperti gereja, jembatan, pohon, dan sungai. Banyak ruang kosong yang dibiarkan, bahkan kadang seleret garis lengkung saja ia torehkan. Sketsa, bagi Mudji, lebih serupa latihan menangkap inti.
Dan kini untuk pertama kali ia menggunakan warna. Pengalamannya melihat bagaimana stupa di Kathmandu diurapi bedak warna membuat ia tergerak memakai akrilik. Ia tak menggunakan kuas. Ia mencelupkan jemarinya di akrilik lalu mentotol-totolkan atau menyapukannya ke kertas. Kita melihat sesuatu yang lain.
Arkeolog Sukmono pernah menulis bagaimana awalnya gagasan stupa terbentuk. Suatu kali Siddhartha Gautama memberi muridnya tanda mata potongan kuku dan rambut. Sang murid disuruh menyimpan dalam stupa. Saat muridnya bertanya apakah stupa itu, Siddhartha membuka pakaian, melipatnya segi empat, lalu menaruh mangkok terbalik. Dan di atasnya didirikan tongkatnya. Menurut Sukmono, stupa kemudian menjadi tempat penyimpan tulang belulang, benda-benda suci dari biksu terkemuka.
Dalam lima tahun terakhir Romo Mudji berkelana ke candi-candi di Siem Reap (Kamboja, Vietnam), Sukhotai (Thailand), Luang Prabhang (Laos). Setiap memandang stupa, ia ingat relikui para santo. Dari segi bentuk, ia juga ingat basilika atau kubah masjid. Rohaniwan ini pernah pada 1990 mengikuti Summer Course: Religion and Art di Universitas Sophia, Jepang, dan sering memasuki kuil Kamakura. Tatkala pulang, ia menulis buku yang membandingkan religiositas Fransiskus Assisi dengan Zen. Dan kini, saat menatap stupa di Kathmandu, ia tiba-tiba ingat Borobudur, yang sering dikunjunginya pada masa kecil dan saat masih studi di Seminari Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah.
"Saya terenyak serasa diajak kembali ke pengalaman awal mengenal stupa Borobudur." Romo Mudji menempelkan kalimat pengantar itu di ruangan Galeri Cipta 3. Ia bercerita, sepulang dari Kathmandu, ia mendaki lagi Borobudur. Dan, di atas, ia merenungi stupa induk. Dalam pameran ini, salah satu sketsanya yang paling berhasil adalah sketsa stupa induk Borobudur dengan totol-totol hijau. Seolah-olah totol-totol itu bunga lotus yang menyembul dari telaga. Stupa induk digambar hanya seperti bayang-bayang hitam. Sketsa Mudji yang "kena" selalu menghasilkan perasaan yang lamat-lamat.
Borobudur, menurut Mudji, semakin didalami semakin terasa belum selesai tafsirnya. Sebelum berangkat ke Kathmandu, ia mengaku membaca ulasan mengenai teks Sang Hyang Kamahayanikan dari disertasi arkeolog Noerhadi Magetsari. Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab Jawa Kuno dari abad ke-14 yang menguraikan tata cara peribadatan di Borobudur. Borobudur merupakan candi tempat para pandita yang telah mencapai taraf tertentu mengembangkan ritual esoterisme Buddha aliran Vajrayana. "Menurut Noerhadi Magetsari, candi-candi di Nepal sejiwa dan seasal spiritualisme Borobudur," kata Mudji.
Bentuk antara Swayambhu dan Borobudur sangat jauh berbeda. Namun konsep teologi yang melatarinya bisa senapas. Bila kita keluyuran ke toko-toko buku sepanjang kawasan turis Thamel Street, Kathmandu, kita temukan banyak buku yang menjelaskan konsep Adi Buddha di Swayambhu. Sebuah buku, misalnya, menjelaskan Adi Buddha adalah primodial Buddha. Adi Buddha adalah sunyata. Dari kekosongan itu kemudian memancar Panca Budhha: Vairochana, Akhsobyha, Ratnasambhava, Amitabha, dan Amogha Siddhi. Mereka adalah buddha kosmis atau celestial buddha.
Bukankah ini sama dengan Borobudur? Bukankah arca Buddha yang ada di Borobudur semuanya melambangkan kelima buddha kosmis itu? Sebuah buku lain mengenai Swayambhu yang dijual di kios seputar stupa itu menyebut Swayambhu menampilkan simbol Tridhatu: Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Suatu hal yang juga menjadi ciri arsitek Borobudur. Paralelitas konsep panteon antara Swayambhu dan Borobudur ini belum pernah diungkap para peneliti agama kita.
Dan, entah kebetulan entah tidak, dalam display pameran tanpa kurator ini, Romo Mudji sendiri kemudian menyandingkan sketsa-sketsa Borobudurnya dengan Swayambhu. Memang sketsanya terlalu sederhana dan jauh dari pretensi riset. Tapi sesungguhnya sebuah ikatan batin yang samar-samar antara candi Vajrayana di Jawa dan stupa Nepal bisa didiskusikan bertolak dari pameran bersahaja rohaniwan Jesuit ini.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo