Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagong Suyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Investasi adalah kunci untuk mengatasi persoalan pengangguran. Di Indonesia, investasi selalu diupayakan terus bertambah. Bukan hanya untuk memacu pertumbuhan ekonomi, tapi juga untuk meningkatkan penyediaan lapangan kerja. Pada 2023, realisasi investasi di Tanah Air telah melampaui target yang ditetapkan, yakni 101,3 persen. Nilai investasi yang berhasil ditarik masuk sebesar Rp 1.418,9 triliun. Jumlah ini tergolong besar.
Menurut data, realisasi penanaman modal dalam negeri atau PMDN tahun 2023 sebesar Rp 674,9 triliun atau 47,6 persen dari total investasi. Angka ini tumbuh 22,1 persen dari tahun ke tahun. Sedangkan realisasi penanaman modal asing atau PMA mencapai Rp 744 triliun atau 54,2 persen dari total investasi 2023.
Realisasi investasi asing masih mampu tumbuh 13,7 persen dari tahun ke tahun. Dibanding realisasi investasi pada 2022, capaian realisasi investasi pada 2023 masih lebih tinggi 17,5 persen. Pertanyaannya, seberapa banyak tenaga kerja yang terserap dari investasi yang ditanamkan di Indonesia?
Pertanyaan ini penting untuk didiskusikan. Sebab, ada indikasi, meski realisasi investasi pada 2023 terhitung tinggi, nilainya belum sebanding dengan penciptaan lapangan kerja. Selama beberapa tahun terakhir, jumlah penyerapan tenaga kerja dari investasi memang terus menurun. Pada 2013, proyek investasi senilai Rp 1 triliun dilaporkan dapat menyerap 4.954 tenaga kerja.
Pada 2019, dengan nilai investasi Rp 1 triliun tercatat mampu menyerap 1.438 orang. Kini, dengan nilai investasi Rp 1 triliun ternyata hanya bisa menyerap sekitar 1.060 tenaga kerja. Ada indikasi investasi yang dikembangkan cenderung makin tidak ramah terhadap tenaga kerja lokal karena tidak sesuai dengan pranata sosial dari sektor ekonomi yang tumbuh.
Makin Tak Ramah
Pengalaman selama beberapa tahun terakhir banyak membuktikan bahwa nilai investasi yang tinggi ternyata tidak berbanding lurus dengan penciptaan lapangan kerja. Artinya, untuk melihat apakah investasi yang tumbuh memberi manfaat yang besar untuk mengatasi isu pengangguran atau tidak, tak cukup hanya melihat nilai investasinya.
Dalam praktik harus dilihat apakah investasi yang masuk itu dikembangkan untuk mendukung perkembangan sektor perekonomian yang sifatnya padat modal atau padat karya. Secara garis besar, ada dua faktor yang melatarbelakangi mengapa investasi yang masuk cenderung tidak ramah terhadap tenaga kerja lokal.
Pertama, berkaitan dengan karakteristik perekonomian firma yang memang sering mismatch dengan profil tenaga kerja lokal. Berbeda dengan masyarakat di negara maju yang relatif memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian yang memadai, di Indonesia, profil tenaga kerja lokal umumnya memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Hanya dengan berbekal ijazah SD atau SMP, tentu sulit bagi tenaga kerja lokal dapat terserap dalam lapangan kerja di sektor perekonomian firma yang selalu menuntut keahlian dan prefesionalisme.
Studi yang dilakukan penulis tentang dampak industrialisasi di sejumlah daerah pada 2021-2023 menemukan bahwa kebanyakan tenaga kerja lokal, kalaupun dapat terserap, hanya bisa diterima di pekerjaan-pekerjaan yang tergolong rendah. Misalnya, menjadi tenaga keamanan atau satpam serta pekerjaan lain yang lebih banyak mengandalkan tenaga manual. Untuk posisi sebagai karyawan perusahaan, kebanyakan akan diisi oleh para pendatang yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik, minimal selevel sarjana.
Kedua, sektor industri yang berkembang cenderung padat modal, yang dalam kegiatan produksinya lebih banyak mengandalkan dukungan dan penggunaan teknologi tinggi. Di berbagai daerah, investasi yang masuk, meski nilainya tinggi, tidak diikuti oleh penciptaan lapangan kerja yang besar karena tren penggunaan otomasi yang biasa dikembangkan perusahaan berskala besar.
Sudah menjadi pengetahuan umum, ketika perusahaan berskala besar yang sifatnya padat modal, mereka akan sangat mengedepankan efisiensi. Tidak lagi mengandalkan dukungan pada tenaga kerja manual, perusahaan besar dari berbagai negara biasanya lebih mengandalkan pada teknologi digital, penggunaan mesin yang canggih, perangkat komputer, robot, dan kecerdasan buatan alias AI.
Di salah satu perusahaan minuman beralkohol di daerah Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur, misalnya, meski skala produksinya sangat besar, tenaga profesional yang mengoperasikan ternyata bisa dihitung dengan jari. Jumlah total pekerja sekitar 100 orang. Itu pun sebagian besar hanya dalam posisi tenaga kerja pendukung, bukan tenaga kerja utama perusahaan.
Hal yang sama juga bisa dilihat di berbagai perusahaan yang beroperasi di kawasan Java Integrated and Industrial Port Estate (JIPEE), Gresik, Jawa Timur. Perusahaan yang sifatnya padat modal selalu hanya mengandalkan sedikit tenaga profesional. Besarnya jumlah tenaga kerja tidak lagi menjadi andalan atau ukuran kesuksesan suatu perusahaan.
Daya Tarik
Untuk memastikan agar investasi yang masuk ramah pada profil tenaga kerja lokal, harus diakui hal itu bukanlah hal yang mudah. Ini situasi dilematis yang dihadapi negara ketika berusaha mempromosikan agar investasi berbanding lurus dengan penciptaan lapangan kerja bagi penduduk di sekitar lokasi pabrik.
Meski pemerintah sudah meminta kepada investor besar yang akan menanamkan modalnya di Indonesia agar lebih banyak mempekerjakan tenaga manusia ketimbang mesin, cara kerja industri yang lebih banyak mengandalkan tenaga manual sering dianggap sudah tidak efisien.
Mengembangkan investasi untuk kegiatan padat karya tentu tidak harus dilakukan pada semua jenis investasi yang masuk ke Tanah Air. Dalam konteks ini, perlu dikembangkan daya tarik tersendiri bagi para investor yang menanamkan modalnya untuk sektor padat karya.
Pertama, bisa dengan cara menawarkan insentif fiskal. Misalnya, akan membuka jalan lagi investor yang tertarik mengembangkan diri di bidang perkebunan, pertanian, garmen, alas kaki, dan sejenisnya untuk memilih mengembangkan usaha yang sifatnya padat karya. Sudah barang tentu ini membutuhkan jaminan keamanan dari pemerintah bagi kelangsungan kegiatan produksi yang melibatkan pekerja dalam jumlah banyak.
Kedua, kalaupun investasi yang masuk mengembangkan usaha yang sifatnya padat modal, perlu ada jaminan usaha yang dikembangkan memiliki kaitan dengan usaha lokal dan UMKM untuk menjamin keberlangsungan rantai pasoknya. Sudah barang tentu hal ini harus dilakukan dengan kesepakatan yang sifatnya saling menguntungkan dan bukan malah menciptakan ketergantungan pada para pelaku UMKM. Pembagian margin keuntungan yang adil perlu disepakati sejak awal dengan pengawasan yang tegas dari pemerintah.
Dalam situasi perekonomian global yang sedang lesu, tidak banyak peluang yang bisa dikembangkan pemerintah untuk menarik investasi, terutama yang sifatnya padat karya. Pilihan sulit yang dihadapi pemerintah adalah berkukuh mendahulukan dan mengejar pertumbuhan ekonomi atau konsisten berkomitmen mendahulukan kepentingan rakyatnya. Tidak mudah, memang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
PENGUMUMAN : Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.