Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bujukan untuk 'Sumeleh'

Dalam kumpulan puisi ini, Goenawan Mohamad ingin juga mengawetkan warta dalam puisinya. Bisa dihayati sebelum dipahami.

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Misalkan Kita di sarajevo
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: Kalam, 1998

MEMBACA sajak-sajak yang dihimpun dalam buku ini, dan juga buku puisi Goenawan Mohamad yang lain, saya seperti dipaksa meyakini ucapan T.S. Eliot, seorang penyair dan budayawan Inggris yang mendapatkan hadiah Nobel Kesusastraan tahun 1948. Ia menyatakan puisi bisa dihayati sebelum dipahami. Bahkan mungkin pengertian yang ada dalam paruh kedua ucapan itu tak usah ada, jadi bahwa puisi hanya perlu dihayati, experienced, dan tak perlu dipahami, understood. "Puisi tidak cuma kata, tidak cuma kalimat, yang menuntut tidak untuk melotot. Ia juga nada, bunyi, bahkan kebiasaan, juga elemen ketidaksadaran…," kata Goenawan dalam sebuah esai yang sebagian dikutip di luar buku puisi ini. "Terkadang saya berpikir bahwa yang dilakukan puisi adalah membujuk kita untuk justru hanya mendengarkan, dalam sikap yang dalam bahasa Jawa disebut sumeleh," katanya selanjutnya.

Saya kira ada kemiripan dalam pernyataan yang disampaikan oleh kedua penyair tersebut, dan saya yakin ini merupakan jawaban atau "hiburan" bagi sebagian pembaca yang merasa kebingungan—kalau tidak boleh disebut frustrasi—membaca puisi Goenawan Mohamad. Barangkali saja kita tak pernah mencapai taraf memahami dalam menghadapi sajak-sajak ini. Sebab, memang penyair tidak menyodorkan gagasan atau pemikiran atau pandangan hidup untuk kita pahami, apalagi untuk membuat kita melotot. Puisi "hanya" membujuk—tidak menuntut—kita agar mendengarkan dengan sikap sumeleh. Dalam kata sumeleh memang terkandung makna memahami, tapi tidak seperti memahami sebuah berita di koran atau sebuah tesis. Dalam sumeleh terkandung makna menerima dengan penuh pengertian, tanpa gejolak, tanpa usaha mati-matian untuk menolak, apalagi melawan.

Dalam sebuah esai mengenai kumpulan sajaknya Asmaradana, saya katakan bahwa Goenawan telah memilih dirinya sendiri sebagai pembaca puisinya. Jadi, dalam puisi, pada hakikatnya Goenawan berdialog dengan dirinya sendiri, dan pembaca dipersilakan nguping saja. Dalam dialog itu ia menyebut Sarajevo, Frida Kahlo, Friedrichstrasse, Zagreb, Xanana Gusmao, Miguel de Covarobias, Yerusalem, Aungsang Suu Ky, Kunthi, Margot Cohen, "Minotaur" Picasso, Agam Wispi, Iramani, Asakusa, Alvin Hutabarat, Don Lopez de Cardenas, Nuh, dan lain-lain. Kita mungkin mengenal Alvin Hutabarat tetapi belum tentu pernah tahu tentang Iramani.

Di samping peralatan puitik seperti metafora, simile, dan ironi yang telah dipergunakannya dengan terampil dan cermat, referensi itulah yang menyebabkan H.B. Jassin pernah mengatakan kepada saya bahwa puisi Goenawan memerlukan apa yang disebutnya goodwill untuk membacanya. Pernyataan itu mungkin tidak negatif, tapi menyiratkan semacam kesulitan yang hanya bisa dipecahkan jika kita mencari tahu tentang berbagai hal yang menjadi sangkutan puisinya. Penggunaan referensi yang luas—yang melintasi waktu dan tempat—memang merupakan salah satu ciri puisi modern, yang membedakannya dari puisi lisan. Bagi saya, tulah satu ciri keberaksaraan, yang membedakannya dari kelisanan, yang referensinya tentu saja terbatas pada waktu dan tempat penyampaian serta kesepakatan pemaknaan antara penyair dan pendengar.

Dan dalam esai yang kita kutip itu, Goenawan menyiratkan agar kita mendengarkan saja dialog itu dengan sumeleh. Baiklah. Perhatiannya terhadap berbagai peristiwa aktual di dalam dan luar negeri beserta latar dan tokoh-tokohnya berulang kali muncul dalam buku ini. Ia wartawan. Ia tentu tahu akan sangat banyak hal. Tampaknya ia belum puas hanya dengan menyampaikan warta tapi ngin juga mengawetkannya dalam puisi. Zagreb dan Aungsang Suu Ky akan bisa awet jika diciptakan kembali dalam puisi. Hanya dengan mengubah menjadi cerita, berita bisa lebih awet. Berita memerlukan pemahaman, cerita—barangkali—cukup penghayatan.

Tapi Goenawan tidak hanya mengawetkan berita; ia juga melaksanakan dorongan yang kuat untuk mengawetkan kembali berbagai hal yang sudah diawetkan sebelumnya seperti Sita, Kunthi, Nuh, dan Oedipus. Ia pun sempat berbicara tentang pasar loak, sebuah pulau, dan bintang pagi memberinya kesempatan untuk merenungi kaitan-kaitan antara kenangan, cinta, waktu, kefanaan, dan kematian. Tentang upaya pengawetan kembali kita ambil saja Menjelang Pembakaran Sita, sebuah sajak yang merupakan dialog tentang kesucian, kesetiaan, hubungan perempuan dan laki-laki, cinta dan seks. Goenawan mengawetkan kembali satu aspek kisah itu "hanya" untuk menyatakan, "Di antara ruap rawa dan miasma barangkali akan ada sebuah/ruang luang di mana tak ada lagi Kitab tak ada Kata dan kita/tetap tak mengerti apakah yang tak suci apakah yang setia." Kita pun diharapkan menjadi sumeleh menghadapi masalah manusia yang maharumit, yang menjadi inti akhir kisah Ramayana itu.

Dalam sajak Oedipus, Goenawan memanfaatkan hubungan-hu-bungan antara Oedipus, Sphinx, Piramid, Fir'aun, Tuhan, dan "orang asing"—mungkin itulah Oedipus, mungkin juga bukan. Hubungan antara Fir'aun dan Tuhan berurusan dengan takdir manusia—itu semua tergelar di daerah wisata masa kini. Akhir sajak itu berbunyi, "Lalu orang asing itu pun datang, menghampiri/dan sang sphinx menangis." Tahu bahwa orang asing itu akan bisa menjawab teka-tekinya, seperti halnya Oedipus? Pemahaman barangkali tidak penting. Yang penting adalah sikap sumeleh terhadap masalah yang rumit itu.

Sikap yang sama diharapkan dari kita setelah membaca sajak Zagreb, yang ditujukan kepada Xanana Gusmao, yang dua buah baitnya berbunyi:

"Tujuh tentara menyeretnya dari ranjang rumah sakit,
tujuh tentara membawanya ke tepi hutan dan menyembelihnya,
tujuh musuh yang membunuh sebuah ke pala yang terguling dan
menggelepar-gelepar dan baru berhenti, diam, setelah mulutnya
yang berdarah itu menggigit segenggam pasir di sela rumputan.

Kesakitan itu kini terbungkus di sini, dalam sisa kain kafan.
Umurnya baru 21 tahun. Lihat wajahnya. Anak yang rupawan."

Zagreb adalah latar yang memberi makna kutipan itu. Dan peristiwa yang semacam itu, yang bisa terjadi kapan di mana pun (itulah sebabnya sajak ini ditujukan kepada Xanana Gusmao), harus didengar dengan sikap sumeleh juga, tanpa harus menyebabkan kita melotot. Sebab memang harus terjadi? Sebab memang sudah ditakdirkan terjadi? Namun, meski di kejauhan arah sudah raib dan timur sudah hancur, masih ada harapan, "Tapi barangkali ia tahu apa nama kota berikutnya," tutup sajak itu.

Harapan adalah juga inti sajak Aungsang Suu Ky, sebuah sajak yang indah, yang sama sekali bebas dari gambaran dunia bengis seperti yang secara tersurat diciptakan Goenawan dalam Zagreb, tapi yang menyiratkan secara tegas malapetaka ketidakbebasan. Kita baca sajak ini sepenuhnya.

Seseorang akan bebas dan akan selalu
sehijau kemarau

Seseorang akan bebas dan sehitam asam
musim hujan

Seseorang akan bebas dan akan lari
atau letih

Dan langit akan sedikit dan bintang
beralih

Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat
pagoda

Seseorang akan bebas dan sorga akan
tak ada

Tapi barangkali seseorang akan bebas dan memandangi
tandan yang terjulai

tandan di pohon saputangan, tandan di tebing jalan
ke Mandalay

Seseorang akan bebas dan akan sehijau kemarau, akan lari atau letih, dan surga akan tak ada. Dan barangkali ia akan bebas. Dengan metafor, simile, paradoks, dan ironi telah diciptakan sebuah dunia virtual yang menyentuh, suatu kualitas yang menyatakan bahwa harapan adalah sisi lain dari keputusasaan, bahwa dalam "bebas"—terutama jika diucapkan berulang kali—surga mungkin akan tak ada. Kita mungkin tak akan mampu memahaminya, tetapi tentu bisa menghayatinya.

Bagaimanapun, harapan merupakan hakikat keberadaan kita di sini, seperti yang tersirat dalam sajak terakhir, Nuh, yang bait terakhirnya, setelah "kota tua itu tumpas… dan bahtera diarahkan ke sebuah dataran tinggi yang masih utuh," berbunyi "jemaat berdoa untuk kota-kota yang akan datang, yang kukuh, patuh. Kota-kota Nuh." Ini adalah kalimat terakhir dalam buku ini. Kalimat pasti akan lebih menyentuh jika kita ingat bahwa (kebetulan?) dalam bait pertama sajak pertama buku ini, Untuk Frida Kahlo, terdapat kalimat Hidup yang diam, pemberi dunia, apa yang paling penting adalah tiada harap." Barangkali buku puisi yang membentang antara "tiada harap" dan "kota-kota yang akan datang, yang kukuh" mampu membujuk kita untuk menghayati segala sesuatu dengan sikap sumeleh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus