Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko Endarmoko*
Sejak duduk di bangku sekolah menengah, kita sudah mengenal "kaidah kpst" dalam pelajaran bahasa Indonesia, tapi kini konsep sederhana itu rasanya menyisakan pengertian yang sedikit dan kebingungan yang bertubi.
Kaidah ini mengatur kata dasar berhuruf awal k, p, s, dan t, manakala mendapat awalan me- atau pe-, huruf-huruf di awal kata itu hilang atau luluh. Namun ada beberapa bentuk yang menyimpangi kaidah itu, yang kadang mendapat sebutan lebih sopan: perkecualian. Anehnya, dalam beberapa kasus, penutur bahasa Indonesia umumnya justru pernah lebih akrab dengan perkecualian atau anomali itu. Contoh: mengkilat(p), mempesona, mempengaruhi, mempercayai, dan mempopulerkan.
Belum jelas benar, apakah karena menyandang predikat perkecualian atau karena sudah lama telanjur dipakai, tatkala kaidah kpst absen, yang terjadi malah tidak terasa menyimpang—alah bisa karena biasa? Bandingkanlah bentuk anomali yang terasa lazim tadi dengan bentuk yang mematuhi kaidah tapi justru terkesan aneh (setidaknya kali pertama berjumpa): mengilat(p), memesona, memengaruhi, memercayai, dan memopulerkan. Tapi saya pikir itu karena belum terbiasa saja.
Tadi saya tulis, penutur bahasa Indonesia umumnya "pernah" lebih akrab dengan beberapa bentuk anomali, sebab belakangan ini kian kuat kecenderungan menerapkan kaidah kpst. Sudah sejak edisi I (1988), II (1991), III (2001), hingga edisi IV (2008) KBBI mencatat mengilat, mengilap, dan memesona. Ada pula yang tidak konsisten. Misalnya, dalam edisi I tercatat memopulerkan dan memengaruhi, dalam edisi II berubah jadi mempopulerkan dan mempengaruhi, lalu dalam edisi III dan IV kembali seperti edisi I, alias berbalik patuh. Yang ini rada unik: edisi I mencatat sekaligus memerkosa dan memperkosa serta memercayai dan mempercayai. Bentuk patuh memerkosa dipertegas dalam edisi II, III, dan IV. Tapi mempercayai dipilih edisi II sebelum berubah jadi memercayai dalam edisi III dan IV.
Kecenderungan KBBI mengingkari anomali juga tampak pada sikap edisi III dan IV yang memilih mengondisikan dan mengampanyekan. Edisi I dan II belum merekamnya. Bentuk mensinyalir dalam edisi I, II, dan III berubah menjadi menyinyalir dalam edisi IV. Pun mensosialisasikan dalam edisi I, II, dan III berubah jadi menyosialisasikan dalam edisi IV. Hanya ada dua anomali di semua edisi: mengkaji dan mempunyai.
Seperti melupakan bentuk-bentuk yang berubah dalam KBBI, ada saja yang menuding media massa cukup berperan merusak bahasa Indonesia, atau setidaknya mengguncang apa yang sudah lazim—sebuah tudingan serius yang sebenarnya perlu punya cukup dasar. Maka saya pun membuat riset kecil-kecilan guna memeriksa pelaksanaan kaidah kpst atas beberapa kata dalam Kompas.com dan Tempo.co—dua media massa nasional versi dalam jaringan.
Dalam kadar berbeda tapi konsisten, Kompas.com dan Tempo.co mendua, patuh sekaligus ingkar terhadap kaidah kpst. Mengkilat-mengilat, mempesona-memesona, mempengaruhi-memengaruhi, mempercayai-memercayai, mempopulerkan-memopulerkan, dan mensosialisasikan-menyosialisasikan digunakan secara berganti-ganti, seolah-olah sikap bolak-balik itu tidak punya konsekuensi apa-apa.
Apakah "mengilat", "memesona", "memengaruhi", "memercayai", "memopulerkan", dan "menyosialisasikan"—di satu sisi patuh pada kaidah kpst, tapi di sisi lain tidak mengindahkan bentuk perkecualian—sesuai dengan hukum fonotaktik bahasa Indonesia atau tidak, itu adalah soal lain.
Kecenderungan KBBI menolak bentuk perkecualian kita lihat terekam juga dalam Kompas.com dan Tempo.co. Kapan kedua media ini pertama kali memilih patuh? Ini kata data pada saya: "Mengilat" (Kompas.com, 29/1/2008; Tempo.co, nihil), "memesona" (Kompas.com, 7/1/2008; Tempo.co, 27/4/2012), "memengaruhi" (Kompas.com, 8/1/2008; Tempo.co, 13/3/2012), "memercayai" (Kompas.com, 7/2/2008; Tempo.co, 10/4/2013), "memopulerkan" (Kompas.com, 10/1/2008; Tempo.co, 14/3/2012).
Dalam arti terbatas, dibanding Tempo.co, Kompas.com lebih dulu menafikan bentuk perkecualian. Penting kita sadari, jauh sebelum kedua media itu, sudah sejak 2001 KBBI menolak perkecualian kecuali mengkaji dan mempunyai. Yang menarik, Kompas.com malah berkali-kali memakai kata memunyai, bukan mempunyai, selama periode 11/6/2008-17/5/2014.
Bagi saya, justru karena terlihat gamang itulah media massa bukan bermaksud mengguncang asas perkecualian. Kegamangan ini lebih baik kita baca sebagai tegangan yang niscaya antara kaidah yang paradigmatis dan kebiasaan dalam bahasa yang hidup.
Maka saya sependapat dengan Jos Daniel Parera yang menulis, bahasa sebagai seperangkat kebiasaan bersifat anomali dan sebagai perangkat kaidah bersifat analogi (Tempo, 18 November 2007). Sebab, kerangka berpikir paradigmatis menurut saya perlu demi mendapatkan bahasa yang bersistem. Tapi, bila ia menyebut gerakan kembali ke kaidah kpst ini sebagai reformasi, saya pikir ia sudah rada berlebihan—mirip aktor politik pro-Orde Baru yang meneriakkannya keras-keras ketika rezim itu roboh. l
*) Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo