TIAP kali menjelang pemilu, DPR kita selalu terlihat menjadi sasaran kritik. Terkadang amat pedas. Tapi semua gugatan terhadap lembaga itu harus dikaji dengan hati terbuka dan pikiran terang. Di balik semua itu, ada suatu keinginan agar lembaga politik kita bisa lebih berfungsi. Sebab itu, adanya kritik semacam ini harus dinilai positif, karena menandakan masih sehatnya sistem politik kita. Hanya negara-negara totaliter yang melindungi lembaga-lembaga politiknya dari kegarangan para kritikus dan cendekiawan. Kita malah boleh bangga, karena dengan terbukanya kritik-kritik tadi, maka setidak-tidaknya dalam soal ini kita bisa menyejajarkan diri dengan negara-negara yang telah mempunyai tradisi demokrasi. Salah satu ciri negara demikian adalah selalu terdapat perasaan tidak puas dengan sistem politik yang berlaku. Masalahnya, adakah kritik-kritik tadi memberikan alternatif? Tidak selalu. Ambillah contoh mengenai sistem distrik. Tidak dapat disangkal bahwa sistem ini memang menampilkan ciri-ciri yang ideal. Apalagi bagl mereka yang mengambil contoh praktek sistem ini dari negara lain yang demokratis. Namun, belum tentu sistem ini, di Indonesia, dapat kita terapkan begitu saja. Yang mengkhawatirkan adalah bahwa sistem distrik menganut konsekuensi "winner takes all". Ini berarti seorang kandidat yang meraih suara terbanyak otomatis akan mewakili distrik itu, kendati lawannya mungkin hanya kalah tipis. Karena itu, secara nasional, bisa saja suatu kekuatan sosial politik secara proporsional hanya meraih 60% suara, tetapi di parlemen bisa menduduki 90% kursi. Inilah yang terjadi di Singapura. Lain dari itu, negeri kita masih mengandung ketimpangan pusat dengan daerah. Kota-kota besar di Indonesia masih merupakan konsentrasi manusia dengan kesadaran politik yang relatif tinggi dari daerah pedalamannya. Sistem distrik mengharuskan domisili seorang kandidat dalam distrik tersebut. Dengan kenyataan demografis seperti yang ada di Indonesia, kemungkinan besar sistem distrik akan menampilkan komposisi keanggotaan yang juga timpang kesadaran politiknya. Di negara-negara yang sistem distriknya sudah melembaga, terdapat praktek politik yang kurang etis, yang sampai sekarang masih jadi soal. Yaitu apa yang dinamakan gerrymandering -- suatu usaha partai yang berkuasa, lewat jaringan birokrasinya, untuk menentukan distrik pemilihan dari waktu ke waktu untuk kepentingan partainya. Dengan praktek gerrymandering itu bisa saja suatu distrik tempat lawan kuat dipecah dan digabung bagian-bagiannya dengan distrik di sekitarnya, yang dikuasai partai tertentu. Dengan contoh-contoh ini, bisa saja sistem distrik, bila diberlakukan di Indonesia, malah menjadi bumerang bagi perkembangan demokrasi. Masalah-masalah di sekitar sistem distrik ini memperkuat asumsi bahwa kita memang tidak bisa begitu saja mengambil model orang lain untuk kita terapkan di negara kita yang unik ini. Bisa saja suatu waktu kelak, jika realita kita menunjukkan kemajuan-kemajuan yang berarti, kita pertimbangkan kembali sistem distrik tersebut. Yang lebih kena adalah kritik-kritik menyangkut praktek. Dari segi ini harus diakui bahwa DPR kita masih dapat meningkatkan bobot perannya. Cuma, peningkatan bobot peranan Dewan harus menjadi komitmen semua pihak. DPR bukanlah suatu institusi yang bisa berbuat sekehendaknya. Terdapat interaksi yang mengikat, baik dari segi aturan permainan maupun praktek, dengan lembaga politik lain, misalnya pemerintah. Ruangan untuk menyempurnakan aturan bermain maupun praktek memang masih terbuka lebar. Namun, sekali lagi, masalahnya tidak hnya terletak di Dewan, tapi juga terkait dengan kenyataan-kenyataan politik Indonesia secara umum. Kenyataan-kenyataan itu memang masih belum ideal. Fungsi serta peran DPR mempunyai landasannya dalam UUD 1945. Tentunya dengan kesadaran bahwa apa yang dicita-citakan dalam konstitusi kita masih harus diperjuangkan terus-menerus, maka praktek-praktek kedewanan kita oleh banyak pihak masih saja dirasakan terpaut jauh dengan apa yang menjadi persepsi mereka tentang cita-cita kemerdekaan. Dengan demikian, keluhan dan kritik tentang DPR dari segi praktek bisa dimengerti, dan banyak kenanya. Hanya saja, ada yang kurang fair dari beberapa kritik yang dilontarkan. Yang dikritik adalah "Das Sein"-nya DPR, sementara alternatif yang diajukan selalu "Das Sollen"-nya. Yang kita perlukan sebenarnya adalah gambaran mengenai proses politik apa yang harus kita tempuh untuk menyempurnakan praktek DPR kita. Masalah ini bukan masalah gampang. Kita perlu membahas keseluruhan proses politik kita, dan tidak mengisolir DPR sebagai obyek analisa yang berdiri sendiri. Kalau jalan terakhir ini yang ditempuh, maka kritik akan menjadi berguna, dan tidak menjadi sekadar lemparan unek-unek atau utopisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini