Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GALAT pemerintah dalam mengendalikan lonjakan subsidi energi tak bisa ditoleransi lagi. Rencana pengalihan subsidi elpiji ukuran 3 kilogram melalui Kartu Sejahtera yang diterbitkan Kementerian Sosial mulai Januari 2018 jangan molor.
Apa lagi yang ditunggu Presiden Joko Widodo? Pilihan tidak banyak. Keuangan pemerintah sedang gawat. Anggaran untuk pembiayaan pembangunan juga sedang seret. Saat ini yang tersisa bagi Tuan Presiden hanya dua pilihan: pertama, menggenjot penerimaan pajak- opsi yang terbukti muskil dilakukan- dan kedua, berupaya memangkas subsidi.
Saat ini, berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017, pagu subsidi untuk liquefied petroleum gas (LPG) atawa elpiji mencapai Rp 20 triliun. Belakangan, dalam APBN Perubahan 2017, angka itu naik menjadi Rp 40,5 triliun. Dalam penyusunan RAPBN 2018, angka itu memang hanya naik menjadi Rp 40,7 triliun. Namun jangan gembira dulu. Banyak pakar minyak mengatakan, melihat tren harga minyak dan gas dunia, angka subsidi itu diperkirakan bakal membengkak lagi.
Amburadulnya manajemen pemerintah dalam hal subsidi gas melon ini tak bisa dibiarkan. Gara-garanya, subsidi elpiji 3 kilogram tidak hanya dinikmati oleh orang miskin dan kalangan usaha mikro, tapi juga oleh kalangan rumah tangga kelas menengah-atas, restoran besar, pengusaha di bidang pertanian dan peternakan, bahkan jasa laundry. Buat apa memanjakan mereka? Program konversi minyak tanah ke elpiji yang sebelumnya menyumbang penghematan anggaran negara kini telah bergeser menjadi beban yang berat.
Kesalahan itu semestinya segera dikoreksi. Bila subsidi elpiji untuk orang miskin digabung ke dalam Kartu Sejahtera, itu akan lebih tepat sasaran. Di kartu itu cukup ditambahkan jatah alokasi untuk elpiji 3 kilogram, misalnya tiga-empat tabung LPG untuk satu keluarga per bulan. Dengan penyaluran yang lebih terarah itu, subsidi elpiji diperkirakan turun menjadi hanya Rp 15 triliun.
Turunnya angka subsidi itu disebabkan oleh berkurangnya jumlah rumah tangga yang menikmatinya, dari semula 54,9 juta menjadi 26 juta rumah tangga. Dengan demikian, elpiji tabung melon ini benar-benar hanya dinikmati rumah tangga miskin dan 2,3 juta usaha mikro.
Sayangnya, hingga kini, Kementerian Sosial, yang ditugasi menyalurkan subsidi elpiji, bergerak bak siput. Mereka masih berkutat pada soal verifikasi dan validasi data penerima subsidi. Kementerian Sosial berdalih, mereka diamanatkan oleh undang-undang untuk memverifikasi semua data penerima bantuan sosial. Padahal data serupa telah dipakai Kementerian Energi dan PLN untuk mengatur ulang subsidi listrik kelompok daya 900 volt ampere.
Presiden Jokowi harus segera mengintervensi lambannya Kementerian Sosial. Jika mengikuti gaya kerja mereka, pemerintah akan kehabisan waktu. Subsidi yang semestinya bisa dipangkas awal 2018 bisa jebol lagi.
Sudah terbukti, kinerja Kementerian Sosial di bawah target. Dalam program bantuan pangan nontunai saja, kementerian ini baru sanggup merampungkan data 1,2 juta rumah tangga dari sekitar 15 juta rumah tangga yang berhak.
Persoalan ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Retorika sesat Kementerian Sosial yang minta waktu untuk melakukan verifikasi sungguh tak bisa diterima akal sehat. Lambatnya mereka mempercepat kelamnya ekonomi kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo