Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wabah difteri yang melanda Indonesia sejak awal tahun ini seharusnya tak terjadi. Berbagai sinyal bahaya sudah menyala sejak beberapa tahun lalu, tapi tidak ditindaklanjuti dengan program antisipasi yang konkret. Kini kita semua harus membayar mahal untuk kelalaian ini.
Fakta bahwa Indonesia mengalami wabah difteri, penyakit yang sudah hampir punah setelah vaksinnya digunakan secara massal pada 1940, adalah bukti tak terbantahkan ada kesalahan mendasar dalam manajemen penanganan penyakit menular di negeri ini. Saat ini, difteri sudah mewabah di 25 provinsi dengan lebih dari 700 kasus. Korban meninggal mencapai 38 orang. Jika manajemen kesehatan publik kita tidak dibenahi, akan muncul banyak persoalan kesehatan yang lebih fatal.
Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016 sudah menyatakan Indonesia sebagai negara dengan kasus difteri terbanyak di dunia, hanya di bawah India. Data Kementerian Kesehatan tentang jumlah dan penyebaran kasus difteri sejak 10 tahun lalu juga memberikan gambaran suram. Pada 2007, hanya ada 183 kasus difteri, tapi lima tahun kemudian jumlahnya naik hampir tujuh kali lipat menjadi 1.192 kasus. Trennya cenderung naik setiap tahun.
Sayangnya, peringatan yang terang-benderang itu seakan-akan diabaikan. Kita tahu satu-satunya cara efektif mencegah penularan difteri adalah imunisasi massal. Namun upaya pemerintah mencapai cakupan imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) sampai 95 persen secara nasional, sebagai syarat menangkal wabah ini, sampai kini belum terpenuhi.
Data dari Riset Kesehatan Dasar, riset nasional yang dilakukan lima tahun sekali, menunjukkan bahwa pada 2013 persentase cakupan imunisasi lengkap balita Indonesia baru 59,2 persen, amat jauh dari ideal. Sebanyak 32,1 persen anak hanya mendapat imunisasi sebagian. Sisanya tidak diimunisasi sama sekali dengan berbagai alasan, terutama menyangkut halal-tidaknya tindakan imunisasi itu menurut agama.
Gerakan penolakan imunisasi semacam itu harus disikapi dengan tegas. Pemahaman medis dan agama yang keliru itu membahayakan diri sendiri dan kemaslahatan orang banyak. Berbagai riset membuktikan bahwa sebuah wabah terjadi ketika ada kesenjangan imunitas yang disebabkan oleh adanya penolakan atas imunisasi. Karena itu, mereka yang menolak imunisasi tidak bisa didiamkan.
Apalagi sejatinya tak ada alasan keagamaan yang kuat untuk menolak vaksin difteri atau imunisasi jenis lain. Majelis Ulama Indonesia, sebagai lembaga pemberi fatwa yang diakui secara nasional, sudah lama mengeluarkan fatwa bahwa vaksin itu halal. Secara internasional, WHO juga sudah memastikan bahwa vaksin yang digunakan di Indonesia, yang merupakan produksi Bio Farma, teruji secara klinis dan tidak mengandung unsur yang tak halal.
Karena itu, solusi untuk menangkal wabah difteri ini tak bisa diserahkan hanya kepada Kementerian Kesehatan. Berbagai lembaga dan kementerian terkait harus digandeng. Kementerian Komunikasi dan Informatika, misalnya, bisa mengorganisasi kampanye massal mendorong imunisasi. Kementerian Agama bisa memobilisasi ulama dan pemuka agama untuk memberikan pemahaman yang benar tentang vaksin. Pemahaman yang keliru di masyarakat harus diluruskan lebih dulu. Tanpa kerja bersama semacam itu, sulit membayangkan kita selamat dari ancaman wabah difteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo