Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sayonara Firli Bahuri

Proses hukum terhadap Firli akhirnya menjadi satu-satunya cara memaksa pensiunan polisi ini segera meninggalkan gedung KPK.

28 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sayonara Firli Bahuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polda Metro Jaya akhirnya menetapkan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka.

  • Dia diduga menerima uang dari mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

  • Firli sudah lama dipenuhi masalah, khususnya dalam aspek integritas.

Kurnia Ramadhana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti Indonesia Corruption Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah gelar perkara, Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya akhirnya menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Pensiunan jenderal polisi bintang tiga itu dijerat dengan tiga pasal, di antaranya mengenai suap, pemerasan, dan gratifikasi. Tak tanggung-tanggung, Firli ditengarai menerima miliaran rupiah dari Syahrul.

Tanda-tanda Firli akan menjadi tersangka sudah tercium sejak lama. Gejalanya muncul saat Kepolisian menaikkan status hukum perkara, dari penyelidikan ke penyidikan. Dari sana, serangkaian upaya paksa mulai dilakukan, misalnya penggeledahan di kediaman Firli dan penyitaan sejumlah barang bukti. Melalui proses itu, kemudian diketahui terdapat satu rumah mewah bernilai ratusan juta rupiah yang diduga keras disewa oleh Firli dan tidak tercantum dalam laporan kekayaannya di KPK. Banyak pihak menengarai rumah sewa itu dijadikan sarana oleh Firli untuk bertemu dengan pihak beperkara, yang salah satunya Syahrul.

Gelagat Firli belakangan ini juga menunjukkan kesan bahwa ia adalah pelaku kejahatan. Pertama, dia mangkir dari panggilan penyidik dengan alasan yang tidak jelas. Peristiwa ini tampak jelas saat ia lebih memilih hadir dalam acara pelepasan bus antikorupsi di Aceh ketimbang memenuhi kewajiban hukum untuk hadir di kepolisian. Dia seakan-akan lupa bahwa siapa pun wajib datang jika dimintai keterangan oleh aparat penegak hukum dan ada ancaman pidana penjara bagi yang melanggarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 224 KUHP.

Kedua, Firli mulai meracau dengan melakukan pembelaan diri tanpa disertai basis argumentasi yang jelas, seperti melempar tudingan corruptor strike back dalam proses hukumnya dan mendramatisasi suasana pemeriksaan di Bareskrim dengan istilah kondisi "abnormal". Dari sini, skenario Firli mudah ditebak, yakni berusaha mencitrakan dirinya sebagai korban dari kriminalisasi penegakan hukum. Upaya itu gagal. Bukannya mendapat simpati, masyarakat justru semakin berharap dia segera ditetapkan sebagai tersangka.

Ketiga, Firli kocar-kacir dikejar jurnalis hingga menutupi wajahnya di dalam mobil setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim. Tingkah semacam itu langsung mengingatkan masyarakat pada kebiasaan para koruptor di KPK yang bertingkah sama saat berusaha menghindar dari pertanyaan-pertanyaan jurnalis. Padahal, jika Firli mengklaim dirinya bersih, ia seharusnya tidak risi dan berani menghadapi situasi itu.

Ada sejumlah hal menarik dalam konferensi pers penetapan Firli sebagai tersangka yang disampaikan oleh Direktur Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Dalam pasal yang disangkakan, terdapat satu benang merah dari tiga dugaan tindak pidana korupsi Firli, yakni adanya penerimaan uang dari pihak swasta. Tinggal bagaimana cara penerimaan uang itu, apakah dengan pemaksaan, sukarela, atau diikuti dengan maksud tertentu. Jika melalui paksaan, pasal mengerucut ke pemerasan. Namun, bila didahului kesepakatan antara pemberi dan penerima, Firli bakal dijerat dengan pasal suap. Namun, ketika pemberian itu tanpa konteks, besar kemungkinan dia dikenakan delik gratifikasi.

Polisi juga menyampaikan adanya penyitaan terhadap dokumen Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara milik Firli sejak 2019 hingga 2022. Besar kemungkinan penyitaan ini terkait dengan temuan penyidik akan adanya harta yang ditengarai milik Firli tapi tidak dituangkan dalam dokumen tersebut. Dengan strategi ini, sepertinya penyidik akan mendalami secara khusus potensi pengenaan gratifikasi, di luar konstruksi suap atau pemerasan yang dilakukan Firli terhadap Syahrul. Berarti ada indikasi pemberian dari pihak lain yang juga diterima oleh Firli selama dirinya menjabat Ketua KPK.

Banyak pihak berharap proses penyidikan polisi ini dapat dikembangkan, baik untuk pasal maupun pelakunya. Mengenai pasal yang digunakan, penyidik harus mulai menelusuri potensi pencucian uang yang dilakukan Firli dengan penerimaan-penerimaan dari berbagai pihak. Hal ini penting karena pelaku kejahatan akan selalu berupaya menyembunyikan, mengalihkan, atau mengubah bentuk harta hasil korupsi agar tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum. Bila hal itu terjadi, Pasal 3 atau Pasal 4 Undang-Undang Pencucian Uang dapat disematkan kepada Firli. Selain itu, pengembangan aktor, khususnya pada level pimpinan KPK yang mengetahui pertemuan Firli dengan Syahrul atau bahkan juga turut menerima aliran dana, harus mulai diselidiki. Sebab, untuk mengamankan rencana kejahatan, biasanya pelaku akan mengamankan lingkungan terdekatnya lebih dulu agar siasat buruknya terlaksana dengan baik.

Setelah Firli ditetapkan sebagai tersangka, ada fenomena menarik di KPK, yakni ikatan karsa yang berlebihan. Hal itu tampak dari pernyataan rekan Firli sesama pimpinan, yakni Johanis Tanak dan Alexander Marwata. Kedua orang itu membenarkan keikutsertaan Firli dalam gelar perkara sebuah kasus yang sedang ditangani KPK. Tentu pembiaran semacam itu menggambarkan betapa permisifnya jajaran petinggi KPK terhadap praktik korupsi. Lagi pula, sulit diterima nalar sehat, bagaimana pengambilan keputusan terhadap penindakan perkara korupsi diikuti oleh tersangka korupsi? Bukan cuma itu, pernyataan Alexander yang secara terbuka mengatakan bahwa dirinya tidak malu dengan status Firli sebagai tersangka memperlihatkan sifat angkuh dan justru menunjukkan bahwa dirinya tidak tahu malu. Sahut-menyahut membela pelaku korupsi seperti itu bertolak belakang dengan prinsip zero tolerance yang sering digembar-gemborkan KPK.

Saat ini Firli sedang mengajukan praperadilan atas status tersangkanya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Praperadilan memang merupakan hak seorang tersangka, tapi langkah ini patut diwaspadai karena rekam jejak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dikenal cukup sering menganulir status tersangka perkara korupsi kelas kakap yang ditangani oleh KPK, seperti mantan calon Kepala Polri, Budi Gunawan; dan mantan Ketua DPR, Setya Novanto. Karena itu, Komisi Yudisial harus mengawasi proses sidang praperadilan Firli untuk memitigasi intervensi dalam proses peradilan.

Di luar hal tersebut, kasus Firli ini memperlihatkan betapa buruknya kualitas pilihan Presiden Joko Widodo dan Komisi Hukum DPR pada 2019. Padahal hampir sebagian besar kelompok masyarakat sipil sudah mengingatkan bahwa mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan ini dipenuhi masalah, khususnya dalam aspek integritas. Namun, bukannya didengarkan, seluruh anggota Komisi Hukum DPR justru bersorak-sorai dan bersepakat memberikan jalan tol bagi Firli untuk terpilih sebagai pemimpin KPK. Akibatnya, masyarakat harus menerima dampak karena memiliki pemimpin lembaga pemberantas korupsi yang cacat etika dan minus integritas.

Selang beberapa hari setelah Firli ditetapkan sebagai tersangka, Presiden akhirnya menerbitkan keputusan presiden yang berisi pemberhentian sementara Firli sebagai Ketua KPK dan mengangkat Nawawi Pomolango sebagai nakhoda baru KPK. Tak ada pilihan lain, perubahan mendasar harus dilakukan KPK, dari perbaikan pengelolaan internal kelembagaan, jaminan adanya transparansi dan akuntabilitas kerja, serta peningkatan kuantitas dan kualitas penindakan. Hal-hal tersebut justru hilang pada masa rezim kepemimpinan Firli. Selain itu, KPK harus mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah telanjur pudar dan bahkan hilang akibat rentetan kontroversi tak berkesudahan. Semua itu akan menjadi pekerjaan Nawawi ke depan.

Proses hukum terhadap Firli akhirnya menjadi satu-satunya cara memaksa pensiunan polisi ini segera berkemas dan meninggalkan gedung KPK. Figur tidak berintegritas semacam itu benar-benar tak pantas diberikan tempat untuk memimpin lembaga yang menerapkan standar tinggi terhadap nilai antikorupsi.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Kurnia Ramadhana

Kurnia Ramadhana

Peneliti Indonesia Corruption Watch

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus