Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Di sejumlah kementerian dan lembaga, pemangkasan anggaran berdampak pada tugas pokoknya.
Niat Prabowo menghemat anggaran tersebut paradoks dengan pemborosan pada bidang lain.
Pasar pun kebingungan merespons keputusan pemerintah yang berubah-ubah.
KARENA grasah-grusuh dan sporadis, keputusan Presiden Prabowo Subianto memangkas anggaran akan lebih banyak membawa mudarat. Alih-alih untuk efisiensi belanja negara, pemotongan anggaran itu justru bisa menyebabkan pelaksanaan program yang berhubungan dengan perekonomian dan pelayanan publik berantakan.
Kementerian Pekerjaan Umum, misalnya, membatalkan pembangunan 14 bendungan dan rehabilitasi puluhan ribu jaringan irigasi karena anggaran kementerian tersebut dipangkas Rp 81,38 triliun. Pembatalan proyek tersebut akan menyebabkan banyak petani kehilangan kesempatan mendapatkan pengairan lahan yang layak. Pemangkasan anggaran pun bakal membuat sektor pariwisata dan bagian turunannya terseok-seok karena kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah membatalkan acara yang diselenggarakan di luar kantor.
Di sejumlah kementerian dan lembaga, pemangkasan anggaran ini berdampak pada tugas pokoknya. Contohnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang anggarannya dipangkas 62,8 persen menjadi Rp 88 miliar. Setelah anggarannya digunting, LPSK sudah pasti tidak akan optimal melindungi saksi dan korban. Adapun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tak bisa memverifikasi aduan masyarakat di banyak daerah karena anggarannya tinggal separuh menjadi Rp 52 miliar.
Niat Prabowo menghemat anggaran tersebut paradoks dengan pemborosan pada bidang lain. Dia membentuk Kabinet Merah Putih yang diisi 48 menteri, 5 kepala badan, dan 56 wakil menteri. Penambahan jumlah menteri dan wakil menteri tak hanya menambah fasilitas dan tunjangan mereka, tapi juga menciptakan jabatan baru di bawahnya, seperti staf khusus, staf ahli, ataupun pejabat eselon I, yang sudah barang tentu menambah anggaran. Di tengah ruang fiskal yang terbatas, semestinya pemerintah meniru Vietnam yang memangkas jumlah kementerian dari 30 menjadi 22, bukan justru sebaliknya.
Di samping kontradiktif, keputusan Prabowo dalam membuat program sering kali tanpa perencanaan yang baik. Dalam hal proyek makan bergizi gratis, misalnya, selain anggarannya membebani keuangan negara, program tersebut jauh dari efektif dan tepat sasaran karena tidak membedakan antara anak dari keluarga tidak mampu dan keluarga berada. Selain itu, indikator program ini baru tampak dari makanan yang tersaji di depan siswa, belum memastikan apakah mereka betul-betul mengkonsumsinya dan apakah menunya bergizi seperti yang dijanjikan.
Kebijakan berbasis trial and error alias coba-coba juga yang terlihat dalam kisruh pembatasan elpiji 3 kilogram. Setelah masyarakat bawah di mana-mana mengeluh kesulitan mendapatkan “gas melon”, keputusan tersebut dibatalkan pada hari keempat pembatasan dijalankan. Demikian halnya rencana pelarangan pengemudi ojek online menggunakan bahan bakar minyak bersubsidi yang lantas diralat pemerintah setelah protes bergema.
Pemerintah pun tampak mencla-mencle dalam menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Setelah ditentang masyarakat, pada akhirnya kenaikan memang hanya berlaku bagi barang mewah. Aturan dalam undang-undang pajak diakali dengan peraturan Menteri Keuangan yang merumuskan penghitungan kembali ke 11 persen. Tapi perubahan di detik-detik akhir sempat menimbulkan ketidakpastian dan menunjukkan keputusan pemerintah bisa tiba-tiba berganti.
Berbagai kecerobohan Prabowo dan para pembantunya tersebut mencerminkan kegagapan dalam mengelola negara. Pasar pun kebingungan merespons keputusan pemerintah yang berubah-ubah. Adapun masyarakat kecil lebih menderita lagi karena selalu menjadi obyek yang paling terkena dampak dari keputusan serampangan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo