SECARA sambil lalu, saya mencoba membuat konversi atau padanan terhadap volume utang tahunan yang kita terima dari Belanda, yang tidak sampai seratus juta dolar. Ternyata, hasilnya kurang lebih setara dengan ilai ekspor minyak hanya dalam waktu seminggu saja. Jumlah yang tidak terlalu besar, memang. Artinya, di atas kertas kita mempunyai kapasitas yang cukup untuk mengganti bagian yang secara rutin dipasok Belanda dalam IGGI itu. Tapi, tentunya kita tidak dapat mengganti dana eks Belanda ini dengan penerimaan minyak begitu saja, karena pos ini sudah siap dialokasikan untuk pengeluaran-pengeluaran lainnya. Dalam tahun anggaran berjalan 1992/1993 ini, Pemerintah menargetkan surplus neraca perdagangan lima milyar dolar. Namun, surplus ini akan langsung habis dipakai untuk membiayai defisit transaksi jasa-jasa yang jumlahnya malah lebih besar, sekitar 9,4 milyar dolar. Kesimpulannya, kita harus menutup pos yang ditinggalkan oleh bantuan Belanda ini dengan pos lain di luar transaksi berjalan. Salah satu kemungkinannya adalah, misalnya, menambah komitmen utang dari Jepang atau mungkin Bank Dunia. Namun, bagaimana kalau utang baru itu, meski jumlahnya relatif kecil, diperoleh di luar transaksi? Ada dua kemungkinan perlakuan terhadap proyek-proyek eks bantuan Belanda itu. Pertama, membiayainya sendiri dengan dana yang berasal dari penerimaan dalam negeri. Kedua, menjadwalkan proyek-proyek tersebut menurut skala prioritas. Maka, hikmah yang dapat dipetik dari berhentinya bantuan Belanda adalah dorongan yang semakin besar terhadap kemandirian membiayai pembangunan. Inilah momentum yang mengondisikan perekonomian nasional untuk bekerja lebih keras dengan dorongan kuat ke arah kemandirian. Inilah titik balik untuk melakukan restrukturisasi dari ketergantungan terhadap utang luar negeri, yang jumlahnya semakin banyak, menjadi mampu membiayai pembangunan dengan kontribusi dari sumbersumber sendiri. Restrukturisasi kali ini, sama halnya dengan restrukturisasi sebelumnya, membawa implikasi pada dibutuhkannya peran serta masyarakat secara lebih besar, terutama sektor swasta. Kalau kita amati perkembangan opini masyarakat sebagai reaksi terhadap bubarnya IGGI, timbul kesan kuat bahwa keputusan Pemerintah kali ini juga merupakan refleksi keinginan masyarakat secara umum. Dengan demikian, masyarakat akan memberi dukungan penuh, dengan kerelaan untuk menanggung segala konsekuensinya. Konsekuensi tersebut dapat berupa kontribusi mereka yang lebih besar untuk mengganti dana yang ditinggal Belanda. Ini dapat dilakukan melalui mekanisme personal savings masyarakat yang berpotensi dalam pembentukan investasi. Di lain pihak, kalau ternyata dana pengganti, baik dari sumber luar negeri maupun dalam negeri tidak didapat, beberapa proyek yang relatif tidak besar harus dijadwalkan. Secara agregatif, pertumbuhan perekonomian nasional tidak bakal terganggu oleh karenanya. Namun, secara sporadis, dengan sendirinya akan ada pihak-pihak tertentu yang merasakan langsung dampak negatifnya. Dengan kesadaran dan pemahaman masalah yang memadai dari masyarakat, seperti tercermin dari opini mereka sejauh ini, dampak negatif ini tampaknya tidak cukup mengganggu. Kemandirian memang akan membawa konsekuensi yang tidak ringan. Selain dapat dijawab dengan mobilisasi dana masyarakat, kemandirian juga dapat mengandung implikasi pembiayaan yang kian besar dari kas Pemerintah. Hal ini hanya dapat ditutup dari intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Penarikan pajak itu sendiri masih mengandung sejumlah persoalan. Misalnya, masalah efektivitas penarikannya. Kemudian, soal diperlukannya penegakan hukum, law enforcement, secara lugas. Di lain pihak, juga dibutuhkan kesadaran aparat yang jujur dan berwibawa. Dan terakhir, agar upaya-upaya pemajakan ini membawa hasil, diperlukan iklim usaha yang kondusif, yang berkait erat dengan kebijaksanaan untuk menata struktur perekonomian yang lebih sehat, yang meniadakan distorsi di berbagai sektor. Selain kemandirian, hikmah lain yang diperoleh adalah kita akan berusaha meningkatkan efisiensi penggunaan dana, dengan mempertimbangkan efektivitas dan selektivitasnya. Kebangkrutan negara-negara Amerika Latin karena beban utang yang besar disebabkan karena kelemahan dalam aspekaspek itu dan kebocoran penggunaan dana di tingkat operasionalnya. Kita tentunya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Pada masa-masa berikutnya, kita perlu mempertajam kriteria penggunaan dana bantuan luar negeri sehingga bantuan itu hanya dapat digunakan untuk membiayai proyek yang benar-benar berprioritas tinggi, sejalan dengan kemungkinan sulitnya mendapatkan bantuan luar negeri. Meski akan segera dibentuk Forum Konsultatif yang dipimpin Bank Dunia, kita tetap perlu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruknya, seperti berkurangnya volume bantuan yang bakal kita terima. Apakah hal ini akan menjadi semacam blessing in disquise bagi kita, tentunya masih akan dibuktikan dulu dengan antisipasi apa yang nanti diambil sebagai tindak lanjut. Tampaknya masih akan cukup banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini