Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penusukan panatua gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing Asem, Bekasi Timur, merupakan pelanggaran serius atas hak untuk beribadah. Padahal hak ini dijamin penuh konstitusi kita. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 sangat jelas menyatakan jaminan negara untuk kebebasan warga negara memeluk agama dan menjalankan keyakinan.
Kekerasan di Bekasi menunjukkan betapa radikalisasi beragama terus berkembang, terutama di kalangan grass root. Tindakan anarkistis ini, jika tak segera ditangani, bisa menjadi momok bagi kebebasan berkeyakinan. Sesungguhnya yang memprihatinkan bukan hanya tindakan penusukan itu, melainkan juga benturan hak melaksanakan ibadah versus aturan pemerintah.
Pendirian rumah ibadah diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Ayat 2 Pasal 14 surat keputusan itu mengatur pembangunan rumah ibadah harus disertai persetujuan 60 orang warga sekitar dan mesti disahkan lurah atau kepala desa setempat. Mensyaratkan izin lingkungan bagi tempat ibadah kaum minoritas, di lingkungan dengan toleransi beragama rendah, pada dasarnya sama dengan ”pelarangan terselubung”.
Buktinya, jemaat HKBP di Bekasi sudah lima tahun lebih belum berhasil mendirikan tempat ibadah. Pengurusan izin melalui prosedur normal ditempuh tanpa hasil. Ketika mereka memprotes dengan cara agak ”provokatif”, yaitu berarak-arakan menuju tempat beribadah, kita tahu bahwa bentrok tinggal menunggu waktu. Soalnya, warga mayoritas Ciketing Asem yang muslim merasa tak pernah menyetujui tempat peribadatan itu, walaupun HKBP mengklaim telah mengumpulkan jumlah tanda tangan sesuai dengan persyaratan.
Tak ada satu pun alasan pembenar untuk pemukulan dan penusukan. Sejumlah anggota Front Pembela Islam yang disebut-sebut sebagai pemicu kekerasan harus diperiksa. Polisi dan penegak hukum mesti menyelidiki soal ini secepatnya. Yang bersalah harus ditangkap, diadili, dan diganjar hukuman setimpal.
Surat keputusan bersama juga harus diperbaiki. Sejumlah kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah muncul karena masyarakat berpegang pada SKB tersebut. Di daerah mayoritas muslim, warga menghambat pembangunan gereja. Sebaliknya, di wilayah yang dihuni mayoritas pemeluk Nasrani, pendirian masjid dipersulit.
Pemerintah sebaiknya segera merevisi total surat keputusan bersama itu. Bisa dipertimbangkan sistem kuota dalam pendirian tempat ibadah. Setiap warga negara berhak atas sekian meter persegi tempat ibadah. Luas rumah ibadah yang dibangun sesuai dengan jumlah anggota jemaah yang ada di lingkungan itu. Izin lingkungan dihapus saja, walaupun tetap perlu keluwesan dalam menetapkan lokasi tempat ibadah.
Di sini pentingnya kita mengingatkan pemerintah—hingga ke level aparat paling bawah—agar menjadi regulator yang adil. Kepentingan mayoritas perlu disokong, tapi kebutuhan beragama kaum minoritas juga harus dipayungi.
Pemerintah Kabupaten Bekasi telah memutuskan melarang jemaat HKBP menempati lahan sengketa di Ciketing Asem. Dua lokasi ditawarkan sebagai alternatif dengan alasan lebih aman. Tapi penyelesaian lokasi sebetulnya merupakan langkah kedua. Yang pertama, penindakan pelaku penusukan dan pemukulan itu. Pelaku kekerasan terhadap umat yang ingin beribadah bukan hanya melakukan tindak kriminal, melainkan juga mencederai konstitusi. Mereka harus dihukum setimpal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo