Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA tahu, dalam dua puluhan tahun mendatang, Kamus Besar Bahasa Indonesia akan memberikan keterangan tambahan pada lema "studi banding" sebagai "pelesiran berombongan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ke luar negeri atas tanggungan negara". Ya, siapa tahu.
Yang sudah kita ketahui, setelah musim Lebaran usai, dua rombongan Dewan Perwakilan Rakyat, masing-masing dari Komisi IV dan Komisi X, akan bermuhibah ke lima negara demi melaksanakan "tugas konstitusional"-nya. Komisi IV akan meninjau Belanda dan Norwegia, sedangkan Komisi X menjelajah Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Jepang. Kedua perjalanan itu menguras uang negara sekitar Rp 3,7 miliar.
Jika dikembalikan kepada maknanya, tak ada yang salah dengan studi banding-atau tepatnya studi perbandingan. Metodologi itu justru diperlukan dalam usaha mencapai rumusan final yang mempertimbangkan segala aspek kajian. Studi, dalam takrif esensialnya, merupakan proses yang disifati oleh penelitian ilmiah, kajian, dan telaahan. Karena itu ia tak bisa dipadankan dengan proses yang disifati oleh keselesaan, misalnya jalan-jalan, bancakan pelesiran, atawa "cari angin".
Entah bagaimana asal-muasalnya, di ranah Dewan Perwakilan Rakyat, termina studi-apalagi setelah mendapat bentukan "studi banding"-mengalami pencairan yang makin lama kian bergeser dari semangat asalnya. Tentu ada sebab-musababnya. Pertama, secara mendasar, sebuah studi seyogianyalah memenuhi asas rasionalitas, artinya masuk akal. Kedua, hasil sebuah studi, apalagi yang dibiayai oleh uang rakyat, seharusnya pula dimaklumkan ke depan publik, untuk ditimbang manfaat dan mudaratnya. Dan ketiga, setelah melalui jangka waktu tertentu, hasil studi tersebut bisa dikalkulasi dan dievaluasi pelaksanaannya, apakah sesuai atau bahkan meleset dari perencanaan semula. Ketiga syarat itu tak pernah tergenapi dalam rangkaian "studi banding" yang dilakukan oleh lembaga perwakilan kita.
Studi hortikultura, misalnya, memang perlukah ke Negeri Belanda dan Norwegia? Seluk-beluk kegiatan atau seni bercocok tanam sayur-sayuran, buah-buahan, atau tanaman hias itu, kalau dalam pikiran awam, bisa terjawab asal rajin membaca majalah Trubus, misalnya. Cukup banyak pengusaha agrobisnis kita yang sukses tanpa perlu belajar ke negeri Eropa mana pun. Lagi pula, bagaimana mencari relevansi hortikultura untuk bumi subtropis ke negeri empat musim?
Belajar kepramukaan ke Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Jepang rasanya juga mengada-ada. Saking mengada-adanya, Kwartir Nasional Pramuka sama sekali tak dilibatkan dalam perencaanaan "studi banding" ini. Tetapi, perkara dalih-atau tepatnya bersilat lidah-siapa yang bisa mengalahkan para legislator kita? Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Marzuki Alie, sampai hati mengatakan kunjungan kerja ini tidak usah dipersoalkan. "Yang penting asas manfaat," katanya. Padahal justru asas manfaat itulah yang dipersoalkan.
Dari aspek biaya, anggaran studi banding Dewan Perwakilan Rakyat untuk tahun ini (tahun kedua periode DPR 2009-2014) mencapai Rp 162,94 miliar, naik tujuh kali dari anggaran tahun kedua periode DPR 2004-2009. Melihat angka-angka ini, plus "asas manfaat" yang dikumandangkan Marzuki Alie, banyak pihak memprihatinkan kepekaan para anggota Dewan terhadap kesulitan ekonomi yang masih membebani rakyat. Sebetulnya, bukan kehilangan kepekaan itu yang perlu diprihatinkan, melainkan hilangnya rasa malu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo