Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal Arifin Mochtar *)
Orang-orang yang berbicara tentang rakyat zaman kini yang suka merampok dan melakukan kejahatan-kejahatan lainnya akan sadar semua ini akibat dari kenyataan bahwa orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan juga melakukan kejahatan-kejahatan itu…. (Niccolo Machiavelli)
KELIRU jika ada yang berkata mafia anggaran merupakan kasus baru yang sedang marak di negeri ini. Ia sudah melekat lama seiring dengan besarnya kewenangan parlemen menentukan bujet. Ia seuzur dengan berdampingnya kewenangan anggaran dan kesempatan koruptif. Ia rumusan sederhana yang sudah menjadi hafalan model koruptif yang tercipta dari besarnya otoritas dengan segala diskresinya, pada saat yang sama miskin transparansi dan akuntabilitas.
Corruption is authority plus discretion minus transparency and accountability. Di ruang-ruang yang penuh kewenangan membahas anggaran dengan nir-transparansi, mafia dan makelar anggaran bak cendawan pada musim hujan. Tumbuh pesat, nyaris tanpa kontrol.
Mafia anggaran tak peduli tempat pusat kekuasaan. Di negara-negara yang memberikan sentrum kekuasaan kepada eksekutif, ataupun yang memberikannya ke parlemen, tetap terbuka peluang besar perburuan rente dari uang negara. Mengapa? Karena kejahatan jenis ini bersifat kolektif, dan berawal dari "permainan" di sentrum kekuasaan.
Jika kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan saatnya mengevaluasi kementerian dan menemukan korupsi di dalamnya, tentu ada dua kemungkinan baginya dari perkataan ini. Pertama, ia terlalu naif serta berprasangka baik terhadap kementerian, dan bisa juga terlalu naif karena mengira penyakitnya berada di kementerian semata.
Atau yang kedua: karena dia memang tidak pernah bekerja untuk memahami peta korupsi yang terjadi di kementerian. Meski pernyataan ini kemudian seakan representasi dari kuasa untuk melakukan perbaikan, sesungguhnya ia merupakan gambaran kesadaran yang terlambat, atau kenaifan yang diiringi keyakinan.
Mari membuka kembali catatan korupsi yang dilakukan elite negara. Maka sungguh panjang perilaku miring mafia anggaran yang bertebaran di kementerian dengan ber-"inang" pada kewenangan negara atas anggaran. Hampir semua kementerian didampingi "parasit" yang mengisap perlahan uang negara.
Tapi, sayangnya, yang terbukti secara hukum sangat minim. Padahal, tanpa proses pembuktian hukum, dengan seketika perilaku koruptif itu hanya diberi label "rumor", yang kemudian menguap seiring dengan pergantian menteri ataupun pergantian rezim.
Mengurainya sungguh sederhana. Mafia anggaran mustahil dilakukan secara orang per orang. Ia dilakukan secara kolektif dengan melibatkan lintas profesi dan jabatan dengan tujuan yang sama, yakni berburu rente. Kesempatan itu terbuka sedari awal ketika perencanaan pembangunan digodok. Di situlah awalnya para pengusaha, pada saat yang sama adalah elite negara sekaligus petinggi partai, mulai mencium proyek potensial. Proyek potensial inilah yang akan dikawal hingga perumusan rencana anggaran dan penganggarannya di parlemen.
Proyek dan proses pembangunan bersalin rupa menjadi pesta bagi-bagi kue anggaran. Dan lagi-lagi, para mafia ini terkoneksi dengan benang merah yang sama, yakni partai politik yang sedang memburu uang pelunasan kampanye ataupun investasi politik kontestasi berikutnya. Gambaran yang kurang-lebih sama terjadi di Afrika dan Amerika Selatan (Jeremy Pope, 2000). Partai politik merasuk kuat, memegang kuasa atas eksekutif serta legislatif, dan akhirnya tak bisa dijinakkan.
Karena itu, seluruh kasus yang membelit kementerian mudah ditebak akan melibatkan kata kunci "partai politik", "anggota DPR", "pejabat kementerian", "menteri", "pengusaha", serta "besaran/persentase uang suap". Lagi-lagi, sayangnya, penegakan hukum sering kali gagal menerabas dan membuka semua kata kunci, sehingga hanya terhenti di antara satu atau dua kata kunci, serta gagap dan gagal membuka peran kata kunci yang punya keterkaitan dengan "partai politik".
Tentu bukan hal yang kebetulan jika dari beberapa kasus yang terungkap belakangan selalu ada nama menteri yang disebut. Tentu juga bukan kebetulan menteri-menteri tersebut merupakan pentolan partai politik tertentu. Logika normal tentu bisa melihat dengan jelas serta mencium keterkaitan di antara keduanya. Sayangnya, logika hukum lagi-lagi meminta bukti formal.
Penegakan hukum sering kali tertumbuk pada formalitas bukti yang terkadang terbungkus rapi di tangan para mafia. Karena itu, kasus-kasus mafia anggaran di kementerian selalu merupakan kasus yang "tertangkap tangan", bukan kasus yang diselidiki dengan bukti-bukti biasa.
Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berada di jalur tepat untuk melakukan pemberantasan, pun hanya banyak bergerak di antara kasus-kasus tertangkap tangan. Itu pun kemudian mendapat perlawanan keras dari para begundal berbaju kewenangan negara. Mudah menghubungkannya dengan mengapa banyak sanderaan terhadap KPK. Mudah melihat keterkaitannya dengan sikap ketidaksenangan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap KPK. Kemarahan partai politik yang dituangkan dalam bentuk mengganggu kelembagaan KPK juga dengan mudah kita temukan hingga saat ini.
Artinya, mustahil lagi hanya melakukan pendekatan secara hukum dalam konteks penegakan hukum. Penegakan hukum mustahil berjalan sendiri karena, pada saat yang sama, sangat rentan terhadap corruptors fight back. Makanya harus meminjam logika ushul fiqh, "segala yang mendahului hal wajib maka juga menjadi wajib". Memperbaiki eksekutif dan legislatif tentu berkaitan dengan cara memilih mereka. Memperbaiki cara memilih mereka berarti memperbaiki proses pemilihan umum.
Tidak cukup dengan bekerja memperbaiki proses keterwakilan, format kelembagaan perwakilan juga harus diperbaiki. Partai punya peran yang sangat kuat untuk memaknai eksekutif dan legislatif, dan karena itu, pekerjaan rumah besar juga disematkan kepada negeri ini untuk memperbaiki sistem kepartaian serta pembiayaan partai politik tentunya.
Tidak cukup sampai di situ, kerja keras dan besar juga harus dilakukan untuk memperbaiki format bekerjanya negara atas penganggaran melalui badan anggaran. Ada banyak ide yang berseliweran, mulai membubarkan badan anggaran hingga mengurangi kewenangannya. Ide yang menarik meskipun harus dilihat secara detail dan jeli karena persoalan sering kali berada di tingkat komisi, karena komisi inilah yang banyak menentukan dan badan anggaran hanya menjalankan yang diperintahkan komisi.
Nah, pada titik itu, ide merapikan sistem komisi juga ide yang harus didengarkan dan bisa dipertimbangkan. Membentuk DPR hanya menjadi tiga komisi yang berkaitan dengan empat kewenangan yang ada juga menjadi menarik, yakni anggaran, legislasi, pengawasan, dan rekrutmen jabatan publik. Ide ini juga belum tentu menyelesaikan masalah sepanjang selingkuh antara eksekutif dan legislatif terus terjadi, selingkuh yang hanya menjaga kepentingan partai masing-masing.
Ide-ide kecil lainnya pantas didengungkan kembali. Pentingnya kembali ke model zakenkabinet yang lebih mengedepankan kemampuan dibanding kecintaan atas koalisi. Ide-ide yang kembali akan segar jika memang ada yang mendorong dan memaksakan hal tersebut dilakukan atas nama koalisi demi perbaikan bangsa.
Sejarah mencatat bahwa dukungan besar kepala negara menjadi penting dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Karena itu, tagihan kembali harus dilayangkan kepada Presiden Yudhoyono. Apa yang sudah ia lakukan di tengah belantara kementerian pemburu rente? Jika hanya menggunakan mata melotot untuk memaksa para menteri memperbaiki kementerian, tentu ia sedang mempertontonkan cara cepat menjadi pesimistis di tengah teriakan optimisme.
Optimisme membutuhkan gairah, gertakan, gerakan, serta geraman yang kuat dan jelas untuk mengontrol partai politiknya, ataupun partai teman koalisinya, yang selama ini banyak bermain di kementerian-kementerian. Dengan cara itulah ia bisa mempertontonkan optimisme dengan terang-terangan melawan para pemain di kementerian pemburu rente, siapa pun dia, dari mana pun ia.
*) Pengajar Fakultas Hukum UGM; Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi FH-UGM, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo