Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kereta AC Rakyat Miskin

PT KAI akan menghapus kereta ekonomi non-AC di Jabotabek pada 2010. Jangan sampai rakyat miskin terpinggirkan.

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKIPUN baru tahap uji coba, usaha PT Kereta Api Indonesia menyediakan gerbong kelas ekonomi berfasilitas pendingin patut disambut gembira. Di kota sumpek dengan penduduk padat seperti Jakarta, sudah seharusnya tersedia moda transportasi massal yang nyaman sekaligus efisien.

Maka, pada 7 Juli lalu, ketika delapan gerbong kereta listrik ekonomi ber-AC ”Ciujung” rute Tanah Abang-Serpong mulai beroperasi, Jakarta maju selangkah dalam melayani publik. Jalur rel ganda, yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiga hari sebelumnya, melengkapi kemajuan itu.

Kereta rel listrik (KRL) ber-AC dan bebas sampah tentu sebuah impian. Penyanyi Sita RSD, yang ikut mencoba kereta baru itu dan mengaku baru sekali naik KRL, merasa cukup nyaman. Apalagi Nina Thamam, eks vokalis grup Warna, yang sejak mahasiswa berkutat dalam padatnya kereta ekonomi. Tak mengherankan, meski baru tiga pekan, tingkat isian gerbong Ciujung sudah mencapai setengah dari total kapasitas.

Antusiasme itu bisa dipahami. Jakarta memang perlu kereta murah dan nyaman. Bayangkan, dalam sehari terjadi sekitar 27 juta arus hilir-mudik di megapolitan ini. Akibatnya, kemacetan menjadi pemandangan biasa. Solusi yang sudah lama dimengerti—tapi tak kunjung diwujudkan—adalah menyediakan kereta api dengan daya angkut besar.

Kereta api merupakan pilihan ideal karena irit bahan bakar, hanya perlu 0,002 liter per kilometer per orang. Sedangkan kapal laut dan bus mereguk bahan bakar tiga dan enam kali lipat. Entah kenapa pemerintah Indonesia selama berpuluh tahun tidak memasukkan kereta api ke skala prioritas pengembangan moda transportasi.

Panjang rel kereta yang dibangun sejak 1864 oleh pemerintah Hindia Belanda malah susut 40 persen. Selama tiga dekade, jumlah lokomotif dan stasiun kereta pun menciut sekitar 60 persen. Celakanya lagi, hampir sepertiga jaringan rel di Jawa, Madura, dan Sumatera tidak beroperasi. Itu sebabnya, pangsa pasar angkutan penumpang yang dikuasai kereta api hanya sekitar 7 persen, sedangkan moda transportasi jalan lebih dari 80 persen.

Melihat kenyataan itu, pengembangan kereta ekonomi ber-AC sangat tepat. Tapi sayang, mahalnya tiket kereta Ciujung yang dibanderol Rp 5.000, lebih dari tiga kali lipat harga kereta ekonomi non-AC, membuat kaum miskin hanya bisa gigit jari. Kereta ekonomi Ac justru dinikmati penumpang kereta ekspres yang beralih ke KRL ini. Si miskin tetap berjejal di kereta ekonomi non-AC, yang beroperasi sampai tiga tahun lagi. Sampai sekarang belum terdengar solusi jitu untuk si miskin bila kereta bobrok itu dihapus.

Disarankan, pemerintah memperbesar subsidi buat penumpang kelas ekonomi—ini diambil dari dana public service obligation (PSO). Selama ini, subsidi penumpang kereta ekonomi non-AC hanya Rp 2.600 per kepala. Sedangkan untuk penumpang kereta ekonomi ber-AC, pemerintah kabarnya cuma menambah subsidi Rp 1.000—sebagian besar kenaikan harga ditanggung konsumen. Angka ini jauh lebih rendah ketimbang moda transportasi lainnya. Busway, misalnya, dengan harga tiket Rp 3.500, subsidi yang disediakan Rp 6.500 per kepala.

Peluang untuk menambah subsidi bukan tak ada. Tunggakan pembayaran PSO pemerintah kepada PT KAI, sejak 2000 hingga 2005, masih Rp 1,6 triliun. Dana yang hingga kini belum dibayarkan pemerintah itu bisa menjadi sumber anggaran untuk meringankan kaum yang tak beruntung. Dengan subsidi itu, kaum miskin tak makin terpinggirkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus