Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ACUNGAN jempol patut diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Pekan lalu, lembaga itu mengabulkan permohonan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Intinya, dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), partai politik bukan lagi satu-satunya pihak yang boleh mengajukan calon. Mereka yang tak berpartai, kerap disebut calon independen, diizinkan pula berlaga.
Sudah lama terdengar keluhan atas dominasi partai politik dalam menentukan calon kepala daerah ini. Apalagi partai kemudian mengajukan syarat: jika sang calon tak menyerahkan fulus, partai tak bakal mendaftarkan namanya ke Komisi Pemilihan Umum. Ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang. Bahkan kesempatan untuk mempresentasikan visi dan misi kepada calon konstituen saja ada tarifnya. Semakin banyak partai yang dilamar, semakin besar duit dikeluarkan. Kandidat calon Gubernur DKI Jakarta, Sarwono Kusumaatmadja, mengaku pernah dimintai puluhan miliar rupiah oleh sebuah partai sebagai uang mahar. Belum lama ini, kandidat calon Wakil Gubernur DKI mengirim centeng untuk menagih ”uang muka” yang pernah diberikan kepada seorang pemimpin PDI Perjuangan. Uang diminta balik karena si kandidat urung disorongkan ke ajang pemilihan.
Partai politik memprotes keputusan Mahkamah Konstitusi itu. Mereka menilai Mahkamah telah mengerdilkan mereka: sebagai perangkat demokrasi, partai mestinya diperkuat, bukan dikebiri. Tapi keputusan ini mestinya justru dipandang sebagai sarana untuk memperkuat partai. Tanpa ”pesaing”, partai tak terpacu untuk berbenah. Jika partai profesional—tidak mata duitan, mendahulukan program ketimbang tebal dompet si kandidat—calon independen tak akan laku. Di Amerika, hanya George Washington kandidat independen yang terpilih menjadi presiden. Calon independen yang lain umumnya hanya penggembira.
Politik uang memang tidak dengan sendirinya musnah dengan diizinkannya calon independen masuk arena. Uang tetap bisa ditaburkan untuk membeli ”tiket masuk” pilkada melalui partai atau calon independen lain. Tapi yang terpenting, dengan keputusan ini, warga negara punya pilihan untuk menyalurkan aspirasinya, tidak semata-mata melalui partai.
Tidak bisa tidak, DPR harus segera merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Sebelum itu terlaksana, pemerintah harus secepatnya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam pemilihan kepala daerah di beberapa tempat. Maluku Utara, misalnya, akan memilih gubernur pada November mendatang. Presiden tak perlu ragu mengeluarkan perpu, karena tanpa itu calon independen belum bisa tampil—keadaan yang berpotensi mengundang kekacauan.
Jika konsisten mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi, calon independen seharusnya dimungkinkan juga bertarung dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden. Untuk menjalankan yang pertama, Undang-Undang Pemilu perlu direvisi. Untuk yang kedua, syaratnya lebih berat, yakni mengamendemen konstitusi. Pasal 6A ayat 2 undang-undang dasar kita menyatakan bahwa calon presiden disorongkan oleh partai politik.
Mahkamah Konstitusi sudah memulainya. Publik, melalui sejumlah jajak pendapat, ternyata juga mendukung. Tak ada alasan untuk menghentikan calon independen ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo