Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP musim kampanye tiba, setiap kali pula para kandidat pemimpin tergopoh-gopoh mendekati para pemilih. Calon bupati, gubernur, presiden, atau anggota parlemen, yang sebelumnya lebih banyak ongkang-ongkang, tiba-tiba rajin menebar senyum, giat keluar-masuk pasar, menyalami tukang ojek, nongkrong di warung, atau menyanyi di panggung dangdut. Kesan ”membela” rakyat ditonjol-tonjolkan, tujuannya satu: merebut suara agar menang dalam pemilihan.
Jakarta menyaksikan panorama ini menjelang pemilihan gubernur pekan depan. Begitu peluit tanda kampanye ditiup Komisi Pemilihan Umum Daerah, pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dari koalisi 19 partai dan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar yang diusung Partai Keadilan Sejahtera berpacu merebut simpati warga Jakarta. Di depan kamera wartawan, Fauzi mencium seorang bayi di permukiman padat Pegangsaan, Jakarta Pusat. Di Johar Baru, Jakarta Utara, Adang menumpang bajaj menemui pendukung.
Tentu saja sangat baik bila para kandidat rajin mendekati pemilih. Dengan merapat pada konstituen, calon gubernur bisa membaca masalah apa yang terjadi di masyarakat bawah dan mencarikan solusi terbaik. Sebaliknya masyarakat akan mengenal betul siapa calon pemimpin yang hendak mereka coblos. Yang terjadi sekarang, publik masih memilih ”kucing dalam karung”.
Audiensi dua pasangan calon gubernur ke masyarakat bawah selama sepekan ini lebih tampak sebagai upaya basa-basi, tebar simpati, dan obral janji. Semua dilakukan di bawah lampu sorot media dan kawalan ribuan pendukung yang justru bikin jengkel karena lalu lintas macet. Di Pasar Cikini, Fauzi dikuntit 1.500 pendukung. Di Mampang, hanya untuk menengok pos kesehatan, massa Adang bikin macet lalu lintas sampai sepanjang lima kilometer. Mestinya ini dihindari.
Para calon yang bersaing tampaknya masih menerjemahkan kampanye sebagai usaha mengerahkan massa. Padahal pawai massa justru sering melanggar ketertiban umum. Komisi Nasional Perlindungan Anak menemukan arak-arakan kampanye ternyata banyak melibatkan anak di bawah umur. Ini jelas pelanggaran.
Kesalahpahaman lain adalah ihwal pembatasan masa kampanye. Komisi Pemilihan Daerah lewat Keputusan Nomor 14 Tahun 2007 membatasi waktu kampanye cuma dua pekan. Di luar waktu itu, kandidat dilarang berkampanye. Komisi terbukti mencabuti atribut yang terpasang sebelum masa kampanye ditetapkan.
Apa yang bisa diharapkan bila komunikasi intim antara kandidat dan rakyat itu terjadi dalam waktu kampanye yang singkat dan tergesa? Apalagi Komisi mengatur jadwal kampanye seperti sebuah ”jadwal pertandingan”: sekian hari kampanye tertutup, sekian hari kampanye terbuka, sekian waktu kampanye simpatik.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, kampanye dilakukan sejak sang kandidat mencalonkan diri secara resmi. Calon yang hendak bersaing memerlukan waktu yang panjang untuk mengenal pemilih. Maka ia pun harus bekerja secara maraton untuk meyakinkan publik. Bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Bila perlu ia setiap hari mengetuk pintu untuk meyakinkan pemilih bahwa ia adalah calon pemimpin yang tepat.
Jadi, keliru besar jika memahami kampanye politik hanya sebatas usaha memobilisasi massa. Hakikat kampanye, mengutip ucapan Abraham Lincoln, adalah usaha untuk memenangkan gagasan, pikiran, dan hati pemilih. Usaha memenangkan hati pemilih jelas tak mungkin dilakukan dalam waktu singkat dan cara serba instan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo