Saya tertarik mengomentari Laporan Utama TEMPO, 13 Mei 1989, tentang Islam di kalangan muda. Masalahnya, keadaan itu sudah menggejala di mana-mana, khususnya di Solo, sebuah kota budaya yang bersifat kejawen, yang cenderung menjauhkan diri dari Islam. Kini di kota itu gejala "kebangkitan" Islam makin memperlihatkan "sepak terjang"-nya. Lihat saja kegiatan para mahasiswa UNS, UMS, dan lain-lain, dengan pengajian, diskusi, seminar, bazar, pameran kaligrafi, dan sebagainya. Gejala itu bukan hanya tumbuh subur di Pulau Jawa, tetapi hampir merata di seluruh tanah air, yaitu di kampus-kampus perguruan tinggi. Dan bukan hanya di kalangan muda saja, tetapi juga ibu-ibu dengan pengajian Minggu pagi atau majelis taklim. Fenomena Itu merupakan parameter dan ketergantungan manusia terhadap kebutuhan rohani, agama yang selama ini monoton dengan kesibukan mencari kepuasan 'nafsu duniwai". Daya yang mendorongnya diakibatkan beberapa faktor: Pertama, adanya "pemeo" yang sering disampaikan para dai, bahwa nanti akan turun tokoh penyelamat yang namanya "Imam Mahdi" -- konon akan turun setiap 100 tahun. Ia akan meluruskan ajaran agama dan penganutnya yang telah jauh bergeser dari norma dan nilai. Mungkin itu dasarnya. Sehingga, akhir abad XX ini dianggap tepat. Kedua, memang sangat tepat pendapat A.M. Saefuddin, "... sama-sama merasakan adanya konflik antara realitas lingkungan dan idealitas diri. Mereka menjadikan Islam sebagai penangkal benturan sosial. Ketiga, fenomena yang terjadi di luar Indonesia misalnya di Iran, Mujahidin Afghanistan, Palestina turut membakar semangat mereka sebagai konsekuensi dari rasa persaudaraan Islam, ikhwanul muslimin . Keempat, banyak muncul tokoh intelektual muda Islam yang menjadi idola mereka. Sehinga, mereka menjadi langganan masjid kampus, yang kehadirannya dianggap sangat tepat. Dan tema ceramah mereka, suatu kajian yang dapat menyentuh hati nurani serta mengikuti selera anak muda. Kelima, tersedianya buku-buku yang bernapaskan Islam. Bahkan akhir-akhir ini menjamur tanpa memperhatikan kualitasnya, mulai dari iptek menurut Islam sampai masalah-masalah sosial, tersedia di pasaran bebas. Menurut Jalaluddin Rakhmat "Saya tidak tahu yang mana yang mempengaruhi lebih dahulu, apakah buku yang menjamur ataukah karena bangkitnya kalangan muda, sehingga mendorong penerbit untuk lebih banyak menerjemahkan buku dari luar." Slogan "Abad ke-15 Hijriah, abad kebangkitan Islam" sudah berangsur-angsur menunjukkan "taring"-nya. Itu tampaknya bukan cuma slogan tok. RIDHA RASYID Mendungan RT 2 RW 4 Pabelan, Kartosuro Solo 57162 Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini