Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Keyakinan Bukan Perkara Kriminal

Fenomena Lia Aminudin seharusnya direspons dengan bijak dan rileks. Terlampau jauh jika harus didakwa dengan pasal penodaan terhadap agama.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PATUT disayangkan jika kasus Lia Aminudin kelak harus berujung di pengadilan—apalagi sampai masuk bui. Kita bisa saja—dan berhak—menilai bahwa ajaran, aliran, atau keyakinan perempuan yang mengaku bertemu Malaikat Jibril dan menahbiskan diri sebagai Imam Mahdi itu sesat dan menyesatkan. Tapi, mestinya mereka bisa disikapi secara lebih arif. Cukuplah diajak berdialog secara tenang dan jernih, jika perlu diajak berdebat secara terbuka, tanpa amarah, kesewenang-wenangan, dan segala bentuk kekerasan lainnya.

Namun, sayangnya, kebijakan pemerintah justru memberi dukungan pada praktek persekusi oleh kelompok agama yang tidak setuju dengan kelompok Takhta Suci Kerajaan Eden ini. ”Pemegang” otoritas keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang seharusnya hanya mengeluarkan ”fatwa” yang menganggap sesat atas penggagas bisnis bunga kering ini, ternyata malah kebablasan dengan melontarkan tuduhan bahwa Lia telah melakukan tindak kriminal. Inilah yang kemudian dipakai polisi untuk menjadikan Lia sebagai tersangka kasus penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP—pasal karet yang selama ini dipakai semena-mena, meski susah dibuktikan.

Masih ingat ajaran salat menggunakan dua bahasa di Malang, Jawa Timur? Sang pengajar, Yusman Roy, pengasuh Padepokan I’tikaf Ngaji Lelaku, menurut majelis yang diketuai hakim Sudarmadji pada sidang akhir Agustus lalu, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena melakukan penodaan agama. Ia dihukum penjara selama dua tahun lantaran dakwaan subsider: menyiarkan surat atau gambar yang isinya menyatakan permusuhan dan penghinaan terhadap golongan penduduk di Indonesia.

Kejadian ini menunjukkan betapa polisi dan jaksa telah bertindak terlalu jauh dalam mengeksekusi praktek keagamaan seseorang. Ini bisa berdampak kurang baik bagi kehidupan beragama di Indonesia. MUI dan lembaga-lembaga yang mengklaim sebagai pemegang otoritas keagamaan boleh saja terus-menerus memposisikan diri sebagai satu-satunya penafsir tunggal agama, tapi negara sepatutnya tak ikut campur. Bukankah para ulama sendiri sudah bersepakat bahwa fatwa agama itu bersifat tidak mengikat? Kalau tidak mengikat, mengapa harus dijadikan delik aduan kepada polisi?

Ambillah analogi dari fatwa MUI tentang haramnya bunga bank konvensional. Apakah setelah adanya fatwa itu aparat lalu harus menghukum orang-orang yang masih berhubungan dengan bank konvensional? Apakah dengan begitu bank konvensional harus dibubarkan? Karena itu, mestinya fatwa ulama hanya mengikat secara moral. Dia bisa saja punya pendapat tentang sesat-tidaknya suatu paham agama, tapi dia tidak bisa memaksakan agar aparat pemerintah mengeksekusi pendapatnya. Dalam kasus Lia, Roy, dan ajaran nyeleneh lainnya, patutlah kita sayangkan jika kemudian direspons oleh pihak-pihak yang memaksakan pemahaman agamanya kepada orang lain.

Kami prihatin akan hilangnya kearifan dan kemampuan berargumentasi orang ramai, sehingga yang diutamakan adalah otot dan kekuasaan. Ada keinginan untuk menguasai dan mengontrol jalan pikiran orang melalui kekuatan negara. Gejala ini amat berbahaya, karena seburuk dan sesesat-sesatnya sebuah pemikiran, dia tidak bisa dikriminalisasi. Roy, Lia, dan lainnya bisa saja ditangani polisi hanya kalau mereka benar-benar mengganggu keamanan—mengajak ramai-ramai bunuh diri, misalnya.

Kita mestinya belajar dari adab ulama terdahulu. Kalau berbeda pendapat, mereka menuliskan argumentasinya, bisa lewat adu hujjah, atau buku berbalas buku. Dulu perseteruan antara Persis dan Muhammadiyah, juga dengan Ahmadiyah, telah menggegerkan Indonesia. Tapi mereka bukannya meminta pemerintah Belanda memberangus salah satunya. Lewat buku-buku yang mereka karang itu, masyarakat jadi tahu dalil masing-masing. Jadi, lebih bersifat intelektual dan beradab. Adapun keputusan akhir terhadap debat keyakinan ini harusnya bergantung pada pribadi masing-masing dan bukan menjadi urusan negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus