ADA rapat khusus Pemda tingkat I Lampung baru-baru ini yang menghasilkan keputusan bersejarah dalam bidang transmigrasi: sebagian penduduk Lampung Selatan akan ditransmigrasikan ke luar Lampung. Di zaman penjajahan, Lampung terkenal sebagai daerah kolonisasi. Kini transmigrasi dari Lampung bisa disebut "dekolonisasi". Belakangan ini salah satu cara pemecahan masalah kependudukan lokal di Lampung ialah dengan jalan "translok" atau transmigrasi lokal dari Lampung Selatan ke Lampung Utara. Namun, pelaksanaannya cukup berat: jumlah yang perlu dipindahkan puluhan ribu kepala keluarga. Arus transmigran swakarsa yang haus tanah, ditambah dengan pertumbuhan penduduk secara alamiah, membuat kondisi hutan dan lingkungan jadi kritis. Ratusan ribu hektar kawasan hutan digarap secara tidak sah. Dan sebagai akibatnya sekarang datanglah banjir yang dahsyat. Menurut laporan resmi, jumlah yang tewas 75 orang, dan tanah longsor membuat Kecamatan Cukuhbalak terisolasi. Berbagai bantuan sudah mengalir. Namun, masalah yang sangat pelik ialah jumlah dana yang besar untuk memindahkan penduduk sebanyak 31.000 kk (kepala keluarga). Apabila pemindahannya disesuaikan dengan pola Departemen Transmigrasi, yakni biaya Rp 2,5 juta per kk, termasuk jaminan hidup untuk setahun, dana yang diperlukan lebih dari Rp 70 milyar. * * * Kisah Lampung ini terjalin rapat dengan kisah klasik Pulau Jawa kepadatan penduduk dan kemiskinan, yang salah satu pemecahannya dicari di luar Jawa. Terangsang oleh tulisan Van Deventer, Een Eereschuld (1899), maka sejak permulaan abad ini pemerintah Belanda melaksanakan kebijaksanaan balas budi (Politik Etis). Rakyat Pulau Jawa yang miskin akan dimajukan melalui tiga program utama yakni pendidikan, irigasi, dan transmigrasi atau kolonisasi. Demikianlah, sepuluh windu yang lalu, November 1905, rombongan pertama sebanyak 155 kepala keluarga petani dari Kedu diberangkatkan ke Lampung. Mereka ditempatkan di tepi jalan ke Kota Agung, 25 kilometer sebelah barat Tanjungkarang. Di dalam perkembangannya, program transmigrasi ini mengalami berbagai perubahan strategi yang cukup mendasar. Malah pernah dihentikan lima tahun karena pemerintah kolonial ingin menghemat biaya dan mengandalkan kemampuan perkebunan di Sumatera dalam menyerap tenaga buruh dari Jawa. Namun, perkebunan mengalami krisis pada awal tiga puluhan. Akibatnya, banyak buruh dipulangkan. Karena itu, pemerintah merasa perlu menghidupkan program itu kembali pada tahun 1932. Dari tahun 1935 sampai 1941, dilaksanakanlah pengiriman transmigrasi secara besar-besaran. Mayoritas mereka dikirim ke Lampung. Selebihnya dikirim ke daerah Palembang, Belitung Jambi, Bengkulu, Kalimantan, dan Sulawesi. Pemerintah Republik Indonesia melanjutkan program transmigrasi dengan mengirimkan 23 kepala keluarga atau 77 jiwa transmigran pada tanggal 12 Desember 1950 dari Jawa Tengah ke Keresidenan Lampung, Provinsi Sumatera Selatan. Tanggal yang bersejarah ini telah ditetapkan sebagai Hari Bakti Transmigrasi. Seperti diketahui, salah satu ciri yang penting dari perkembangan penduduk Lampung ini adalah besarnya volume migran spontan dari dahulu. Sebagai kasus yang menarik dapat diambil daerah Wai Sekampung yang diteliti oleh Dr. Sayogyo yang terbit dalam buku Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah Wai Sekampung, Lampung, sebelas tahun yang lalu. Di situ transmigran spontan merupakan pendorong utama untuk membangun suatu daerah yang luas dan kompak. Dalam periode 1950 sampai 1957, mereka sudah mendirikan 18 desa baru, yang dihuni 35 sampai 40 ribu penduduk. Tapi hasil Sensus Penduduk 1980 sudah menunjukkan hal yang mengkhawatirkan bagi Lampung. Pertambahan penduduk Lampung rata-rata adalah yang tertinggi dalam skala nasional, yakni 5,77%. Ini berarti juga lebih tinggi dari pertambahan DKI Jakarta yang rata-rata 3,9% setahun. Angka sementara Survei Penduduk Antar-Sensus 1985 juga menunjukkan pola yang sama. Pertumbuhan penduduk Lampung paling pesat pada periode 1980-1985, yakni rata-rata 5,3% setahun, dibandingkan dengan pertumbuhan 2,13% secara nasional. Sekarang Lampung sudah lebih dari jenuh, sehingga dipikirkan untuk menjadi daerah pengirim transmigrasi. Dekolonisasi. Saya teringat kata Menteri Negara Prof. Emil Salim delapan tahun yang lampau, dalam Kongres IPADI Desember 1978, "Dalam proses jangka panjang, dengan memperhitungkan pertambahan penduduk di tiap-tiap daerah, maka diperkirakan bahwa dalam masa 20 tahun Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan harus bermigrasi ke luar daerah, apabila ingin diperoleh keseimbangan penduduk dengan sumber alam yang serasi. Asumsi di sini adalah bahwa tanah yang diolah adalah lahan dengan kemiringan 8%, sedangkan tiap keluarga diperkirakan memperoleh 2,5 ha per keluarga." Walaupun asumsinya barangkali masih dapat ditawar, perkiraan itu kiranya bermanfaat sekali untuk direnungkan. Saya juga teringat ucapan Dr. Sediono Tjondronegoro, yang menyarankan orientasi baru dalam program transmigrasi: supaya orientasinya diarahkan kepada pengembangan wilayah. Tujuan jangka panjang adalah "mengembangkan wilayah secara terpadu untuk mencapai satuan wilayah yang sosial-ekonomi mandiri dan memiliki ketahanan nasional yang tinggi." Ini senada dengan pikiran Dr. Sri-Edi Swasono yang mengatakan bahwa transmigrasi perlu diartikan sebagai upaya pembangunan daerah. Pengurangan penduduk Pulau Jawa bukan merupakan tujuan, tetapi merupakan akibat atau hasil transmigrasi. "Kelebihan" penduduk di Pulau Jawa perlu diselesaikan di Jawa, dengan upaya-upaya nasional, seperti keluarga berencana dan industrialisasi. Dan janganlah transmigran swakarsa menjadi sosokan poverty trap, atau "jebakan kemelaratan". Kisah Lampung adalah kisah transmigran spontan yang pada mulanya menggembirakan, tapi akhirnya merisaukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini