HARI raya adalah hal yang dikenal dalam tiap kebudayaan dan tiap masyarakat. Tentu saja bukan karena makan besar dan hura-hura begitu penting. Tetapi karena rutin yang tak berkeputusan, akhirnya merupakan beban yang tak tertanggungkan. Manusia bukanlah Arbeitstier, kuda beban yang harus bekerja tanpa jeda. Maka, hari raya adalah istirahat kebudayaan. Pada hari-hari seperti itu, otot barangkali akan bekerja sama kerasnya seperti pada hari dinas, tetapi ketegangan pikiran dilenturkan, nilai-nilai yang dalam hari-hari kerja dipandang demikian serius sekarang boleh diremehkan bahkan ditertawakan. Tujuan dan kepentingan, yang dikejar mati-matian di kantor, di pasar, atau di pabrik, sekarang boleh dilupakan dan dianggap tidak penting -- untuk sementara waktu. Hari raya merupakan saat manusia berganti kulit: dari homo faber (yang rajin bekerja dan berkeringat) menjadi homo ridens (yang tertawa, ria, dan jenaka). Pada saat orang boleh tertawa sebebas-bebasnya, rutin dipatahkan. Ada suatu kemerdekaan khusus yang dicoba direbut kembali dan dirayakan. Yaitu kemerdekaan dari keharusan bekerja dan dari tuntutan pragmatisme ekonomis. Hari raya keagamaan juga semacam pembebasan. Yang profan dipatahkan, yang kodian dihentikan, dan orang dengan semangat khusyuk memasuki suatu waktu yang kudus dan daerah yang sakral. Ada perbedaan yang sangat khas antara waktu profan dan waktu sakral. Waktu profan bersifat historis dan eksistensial. Waktu adalah "bahan" bagi manusia untuk membentuk dan membangun dirinya. Kita berkata: Waktu adalah uang, ilmu, kemajuan, kegagalan, atau kehilangan. Barang siapa mengabaikan waktu, dia menyia-nyiakan modalnya. Dalam penghayatan profan, waktu akan habis, dan manusia memaksa diri sebelum waktu itu tamat. Seumpama jumlah titik pada sebuah garis, maka siapa yang tak memanfaatkan tiap titik waktu akan tiba di ujungnya dengan rasa kecewa. Waktu di sini bergerak linear, seperti gerak lurus di atas sebuah penggaris. Waktu sakral bersifat mitis, dan setiap hari raya keagamaan, berusaha memasukkan kembali waktu mitis ke tengah waktu yang profan. Waktu mitis tak akan habis-habisnya, karena dia sebetulnya mencerminkan dan menghadirkan kembali suatu masa dahulu kala sebelum sejarah. Sejarah adalah perubahan, dan waktu historis menghasilkan perubahan. Tetapi mitos adalah ketakberubahan yang eksemplaris. Maka, waktu mitis menghadirkan keabadian yang sempurna dan kesempurnaan yang abadi. Waktu historis diberikan kepada manusia, dan di dalamnya dunia kita berputar. Waktu mitis tetap milik Sang Ilahi, dan dari dalamnya dunia kita muncul dan semesta diciptakan. Waktu profan adalah waktu ketika manusia bekerja sebagai pihak yang tak tergantung. Waktu sakral adalah saat Yang Kudus menampakkan diri dan menghadirkan kemutlakannya. Kesadaran profan berkata: Kemampuan manusia dahsyat. Kesadaran sakral berbisik: Ketakberdayaan manusia merupakan rahmat. * * * Hubungan antara yang sakral dan profan adalah hubungan yang saling meniadakan, tetapi bukannya tak dapat dipersatukan. Semakin suatu hari raya keagamaan dijadikan bagian waktu profan, semakin sedikit pula nilai sakralnya. Dan semakin banyak dipertahankan nilai sakralnya, semakin sedikit pula dia dapat mempengaruhi sejarah manusia. Namun, tak ada yang aneh pada dasarnya. Sakral dan profan, mitos dan sejarah, puisi dan prosa tetap jadi kebutuhan dasar kita seperti halnya sandang dan pangan. Mitos tetap dibutuhkan, karena man is an incorrigible animist. Dengan seluruh pengetahuan fisika modern, seseorang masih tetap senang membayangkan bahwa pelangi adalah tapak kaki seorang bidadari cantik yang minggat dan menyingkirkan diri. Daya pikat tiap mitos pastilah bukan lantaran isinya begitu hebat, tetapi seperti kata Santayana: The poetry of it helps men to bear the prose of life. * * * Natal adalah sebuah hari raya keagamaan. Dalam bentuknya yang modern, Natal tak selalu bisa menghindar untuk terseret juga dalam arus gelombang profanisi. Waktunya yang dekat dengan akhir tahun, sentimentalitas suasananya yang demikian ditonjolkan, serta parafernalia pesta itu yang sangat menarik dan mudah dijual -- semua itu membuatnya semakin dekat dengan waktu profan dan semakin jauh dari waktu sakral. Tetapi paradoks Natal terletak di situ juga. Kalau kepercayaan Kristen mengatakan bahwa Tuhan lahir ke dunia, maka itu berarti yang Ilahi menjadikan dirinya bagian dari sejarah dunia untuk menjadikannya sejarah keselamatan. Yang sakral masuk ke dalam yang profan untuk menguduskannya, tetapi sekaligus tersembunyi di dalamnya. Sangat susah mengatakan apakah kelahiran di sebuah palungan adalah sebuah penampakan atau persembunyian dari Yang Kudus? Natal adalah simbol yang sempurna untuk misteri iman: Tuhan yang menampakkan Diri tetaplah Tuhan yang tersembunyi. Dalam bentuk yang terus berubah, misteri itu tetap berlaku. Damai Tuhan tetap tersembunyi di tengah hutan instalasi nuklir, dan kebaikan Tuhan harus dicari di tengah 40% penduduk dunia termiskin, yang merangkak dan menggapai di bawah permukaan subsistensi. Dan akhirnya kesahajaan dan kekudusan Tuhan pun tetap tersembunyi dari perasaan, kesadaran, dan barangkali hati kita sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini