Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANGUNAN di Agra itu telanjur dijadikan simbol cinta kasih. Menjulang setinggi 73 meter, terbuat dari marmer putih, di kompleks seluas 73 hektare itu, Taj Mahal diniatkan untuk mempesonakan siapa pun yang melihatnya. Shah Jahan—Raja Mughal yang memerintahkan pembangunannya pada 1631—memang bermaksud demikian. Ia ingin memberikan kenangan terbaik untuk istrinya, Mumtaz Mahal, yang wafat pada tahun itu. Begitu megahnya hingga butuh 23 tahun untuk menyelesaikan seluruh kompleks bangunan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu kisah cinta pasangan itu pun diulang-ulang oleh pemandu wisata di India atau pembuat konten di TikTok. Namun cerita tentang keluarga Taj Mahal tak berhenti di sana. Lima tahun setelah Taj Mahal rampung dibangun, Sang Raja mulai sakit-sakitan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shah Jahan sebenarnya telah menyiapkan Dara Shikoh, putra tertua hasil cintanya dengan Mumtaz Mahal, sebagai penerus kerajaannya. Banyak yang berharap pangeran santun ini akan menjadi penguasa India berikutnya. Sikapnya yang toleran diharapkan bisa merangkul seluruh India yang terpolarisasi oleh agama dan kepercayaan.
Shikoh adalah seorang cendekia. Selain mendalami Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman, ia seorang seniman. Ia mahir di bidang sastra Persia, kaligrafi, dan musik. Selain sebagai bangsawan, Shikoh terkenal sebagai seorang sufi yang memiliki sendiri jalur riyadhah (praktik spiritualisme).
Salah satu buku karangannya yang fenomenal adalah Majma-ul-Bahrain, atau yang biasa diterjemahkan sebagai Pertemuan Dua Samudera. Dalam teks bahasa Hindi, buku ini berjudul Samudra Sangam Grantha. Dua samudra di judul buku itu adalah tradisi sufi Islam dan Vedantic.
Dalam buku lain, Risala-i-Haq Numa, Shikoh menjelaskan dengan sangat detail praktik-praktik zikir memakai 99 nama Allah (Asmaul Husna) yang dilakukan dengan memakai pernapasan meditatif dan pose-pose yoga sederhana yang bisa menstimulasi kekhusyukan. Isi buku ini adalah praktik sufi dan zikir yang berdifusi dengan meditasi Buddhisme dan pernapasan yoga Hindu.
“Satu-satunya petunjuk adalah dia yang dapat menunjukkan jalan keheningan kepadamu,” katanya, dalam buku yang diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Rai Bahadur Srisa Chandra Vasu pada 1912.
Bagi Shikoh, spiritualisme adalah satu. Agama hanyalah bungkus luar yang tak mampu memisahkan nilai-nilai spiritual yang sama. Semangat ini sebenarnya sejalan dengan para sufi yang ada di era Mughal, seperti Syaikh Kalilmullah Shahjehanabadi yang menulis Kashkul Kalimi atau Mu’in alDin Chisti dengan bukunya, Risalah Al-Wujudiyah. Ketiganya mengajarkan memakai napas sebagai perantara memfokuskan zikir dan mendapatkan ketenangan ilahiah.
Namun sikap moderat Shikoh ini ditentang oleh adiknya, Aurangzeb—anak kedua Shah Jahan dan Mumtaz Mahal. Dengan menggandeng saudara-saudaranya yang lain, Aurangzeb memerangi Shikoh.
Untuk mendapatkan dukungan dari saudara-saudaranya dan para bangsawan Mughal, Aurangzeb menuduh Shikoh sebagai penyebar ajaran sesat, keislamannya tidak murni, dan pengkhianat agama. Berbeda dengan Shikoh, Aurangzeb memang memiliki pemahaman keagamaan yang kaku, seorang muslim ortodoks yang memiliki semangat pemurnian agama. Ia adalah pengikut aliran Mujaddidi (Pembaharu) yang ingin menegakkan hukum Islam secara murni.
Shikoh akhirnya kalah. Ia ditangkap dan diarak keliling Delhi dengan tangan dan kaki terikat rantai. Niccolò Manucci—pengelana asal Venesia—menceritakan eksekusi Shikoh yang mengerikan itu dalam Storia do Mogor. Sebuah pembantaian kejam yang dilakukan di depan anak Shikoh.
Tak yakin ia yang mati adalah kakaknya, Aurangzeb memerintahkan kuburannya digali dan memutilasi sendiri tubuh kakaknya itu menjadi tiga bagian. Ia mengirimkan kepala Shikoh kepada ayah mereka yang sedang sakit dan berada dalam tahanan di Agra.
Mi-dani khwab che-st? Margi-st sabuk
Mi-dani marg che-st? Khwabi-st giran
Apa itu tidur? Hanyalah kematian yang pendek.
Apa itu mati? Hanyalah tidur yang panjang.
(Dara Shikoh, Risala-i-Haq Numa)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo