Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKACAUAN data produksi beras selalu terjadi setiap kali kemarau datang. Menteri dan kepala lembaga yang berkaitan dengan komoditas strategis ini bahkan selalu berbantahan secara terbuka. Saling silang ini mengiringi harga beras di tingkat konsumen yang kian melambung, melewati harga patokan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap institusi memakai data yang berbeda-beda. Badan Pusat Statistik mengumumkan bahwa Perum Bulog hingga Juni 2018 sudah mengimpor 865.519 ton beras senilai US$ 404 juta. Direktur Utama Bulog Budi Waseso langsung menyangkal dengan menyatakan lembaganya baru mendatangkan 500 ribu ton dari luar negeri pada kurun yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bertahun-tahun kebijakan perberasan pemerintah selalu kedodoran. Penyebabnya data yang tak kunjung padu di antara lembaga pemerintah. Di awal tahun, Kementerian Pertanian pun menyodorkan data proyeksi produksi yang selalu optimistis. Maklum, kementerian ini memang mendapat tugas mengawal produksi beras. Proyeksinya pun harus mencerminkan optimisme produksi beras melimpah.
Produksi menurut proyeksi Kementerian Pertanian memang luar biasa: tahun ini akan terjadi surplus beras 13,03 juta ton. Produksi gabah disebut menembus 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras. Sedangkan total konsumsi beras hanya 33,47 juta ton. Artinya, impor beras tidak diperlukan.
Optimisme itu tidak selaras dengan perhitungan Kementerian Perdagangan. Dengan kalkulasi berbeda, kementerian itu menyusun rencana impor beras hingga 2 juta ton pada tahun ini. Keputusan pada Februari dan April lalu itu disebutkan buat mengantisipasi kegagalan panen jika musim kemarau berlangsung lebih panjang.
Presiden Joko Widodo seharusnya membereskan perbedaan data beras di antara lembaga pemerintahan ini. Hukum pasar sebenarnya bisa menjadi indikator pasokan beras di pasar. Dalam beberapa bulan terakhir, harga rata-rata beras eceran di tingkat konsumen terus merambat naik. Bisa disimpulkan, pasokan beras sangat terbatas-dan artinya klaim surplus produksi tidak terbukti.
Harga yang merangkak naik itu terjadi pada bulan ini. Rata-rata harga beras IR yang menjadi patokan pemerintah pada 23 Agustus sudah melambung jauh hingga di atas Rp 10 ribu per kilogram. Tren kenaikan harga di Agustus 2018 ini sangat tajam. Di awal Juli, harganya masih sekitar Rp 9.400 per kilogram. Kecenderungan itu masih mungkin berlanjut pada September dan Oktober ini. Sebab, iklim kering masih menyelimuti Pulau Jawa, sentra produksi utama beras.
Pemerintah harus sangat waspada karena harga beras masih berperan besar pada tingkat kesejahteraan warga. Studi Bank Dunia memperkirakan, jika harga beras naik 10 persen, angka kemiskinan naik 1,1 persen. Pemerintah semestinya berusaha sekuat tenaga menjaga agar harga beras tidak terbang tinggi. Jika diperlukan, tak perlu malu-misalnya dengan alasan politis-mendatangkannya dari luar negeri.
Kekisruhan beras tak lepas dari sikap pemerintah yang tidak rasional. Jargon swasembada beras terus didengungkan meski situasinya belum memungkinkan. Hasilnya, harga beras di tingkat konsumen terus melambung tinggi. Pada saat yang sama, indeks nilai tukar petani, yang mencerminkan kesejahteraan petani, justru turun selama pemerintahan Jokowi.
Rata-rata petani Indonesia masih menjadi konsumen beras secara neto. Jika harga beras di tingkat konsumen naik, daya beli petani dan kesejahteraannya pun ikut melorot. Jelas pula di sini, harga beras yang mahal hanya menguntungkan pedagang dan para perantara. Mereka menikmati kegamangan pemerintah yang mendewakan swasembada. Walhasil, jargon-jargon seperti itu semestinya ditinggalkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo