Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan itu, seorang ibu dengan empat anak di Tanjung Balai, dipenjarakan 18 bulan. Ia dituduh menista agama; Anda tentu sudah dengar bagaimana cara Meliana "menista": di depan seorang kenalannya, ia mengeluhkan suara azan yang terlalu nyaring di pengeras suara masjid di dekat rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya tak akan seperti Meliana bukan karena saya tak akan mengeluh ketika tiga masjid di sekitar saya serentak memperkeras azan masing-masing dengan loudspeaker ke langit Pasar Minggu. Seperti Meliana, saya akan mengeluh. Tentu saya akan mengeluh dengan cara sederhana: berbisik-bisik bahwa saya merasa terganggu oleh suara di atas 80 desibel. Atau bahwa saya merasa sebal udara kota telah dijadikan milik eksklusif sekelompok orang yang menguasai masjid. Atau saya mengeluh karena saya ingin mendengarkan azan yang khidmat dan merdu, yang dulu-di zaman pra-toa-saya ikuti dengan takzim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atau saya bertanya, apa salahnya jika ketiga masjid itu bergiliran: hari Senin, masjid X berazan untuk seluruh wilayah dan masjid-masjid yang lain menyerukan bang tanpa pengeras suara; hari Selasa, giliran masjid Y-dan seterusnya. Jorjoran memakai toa untuk azan, dengan suara muazin yang tak selamanya enak didengar, tak akan membangun suasana khusyuk.
Tapi saya tak akan seperti Meliana. Bukan karena saya mustahil dituduh menista Islam; siapa pun di Indonesia dengan mudah bisa didakwa demikian, karena undang-undang itu dapat dipakai untuk menghukum, tanpa cukup bukti, hanya bila ada orang yang menafsirkan kata dan laku kita sebagai penistaan. Saya tak akan seperti Meliana karena, menurut konvensi yang tak jelas kapan dimulai, saya bukan warga "minoritas".
Tentu saja saya tak tahu bagaimana sebuah "minoritas" di Indonesia ditentukan. Dari jumlah warga? Orang yang disebut "Tionghoa", sekitar tiga juta banyaknya, kurang-lebih sama dengan jumlah mereka yang diidentifikasi sebagai "orang Sasak" di Lombok dan jauh lebih banyak ketimbang yang digolongkan sebagai warga suku Dani di Papua (yang mungkin tak sampai 50 ribu). Tapi orang Sasak dan orang Dani tak pernah disebut sebagai "minoritas" dalam percakapan politik ataupun bukan politik.
Dugaan saya, orang seperti Meliana disebut "minoritas" karena dihadapkan pada yang disebut "pribumi"-sebuah label yang ditentukan administrasi kolonial Hindia Belanda. Penentuan ini jelas serampangan karena kriterianya adalah ciri-ciri biologis, seraya melupakan bahwa ciri biologis, yang disebut "ras", tak jelas dasarnya: bahkan dengan meneliti DNA, para pakar genetika menyimpulkan tak ada beda rasial dalam Homo sapiens. Jika diteliti DNA manusia di bumi sepanjang zaman, "ras" sebenarnya omong kosong. "Ras" hanya hasil klasifikasi penduduk untuk administrasi; "ras" adalah produk politik.
Bagaimana dengan asumsi bahwa nenek moyang saya lahir di bumi ini dan saya berhak disebut "pribumi" atau "bumiputra"? Tapi tak pernah jelas: nenek moyang sejak kapan? Bagaimana mungkin asal-usul mereka-katakanlah 1.000 tahun yang lalu-diketahui dengan pasti?
Saya juga tak akan seperti Meliana sebab sejauh ini saya dimasukkan ke "golongan mayoritas"; saya termasuk "suku Jawa". Tapi apa yang disebut "Jawa" sebenarnya jika bahasa dan kebudayaan "Jawa" umumnya diidentifikasikan hanya berdasarkan apa yang berlaku di sebagian penghuni Surakarta dan Yogyakarta?
Baiklah, saya dicatat sebagai "muslim", dan Islam-dengan segala variannya-agama yang dipeluk hampir 90 persen penduduk Indonesia. Itu rupanya dasar ke-mayoritas-an saya. Tapi di sini segera tampak, Islam telah diperlakukan sebagai satuan kuantitas, dan dinilai menurut posisi sosial politik. Agama tak lagi dianggap perjalanan rohani. Ia telah di-sekuler-kan. Ia tak berurusan dengan yang sakral, melainkan dengan yang profan: kedudukan duniawi.
Agama pun berubah, dari iman yang berbisik jadi monumen yang kukuh: bangunan dengan susunan yang pasti, arsitektur yang dihormati, bahkan disucikan, dengan ikatan kepada masa silam dan janji bahagia di hari kemudian. Sebagai monumen, ia kedap. Ia ditegakkan dengan rasa cemas kalau-kalau ada masa lalu yang diabaikan-rasa khawatir bahwa waktu akan bergerak meninggalkan maknanya.
Kini waktu seakan-akan kian cepat, dan kecemasan kian akut. Agama pun makin jadi "agama statis" dalam pengertian Bergson: segala unsurnya bersiaga untuk mempertahankan diri. Yang diutamakan kesatupaduan. Mukminin jadi massa-jadi himpunan kekuatan sosial politik-dan ketika rasa cemas mendekati paranoia, massa jadi mob. Sementara aksi massa punya tujuan yang relatif jelas, mob tidak. Gerudukan orang ini dengan mudah digerakkan hasutan dan desas-desus.
Itulah yang dialami Meliana. Ia digeruduk. Saya tak membayangkan mob itu melihat perempuan yang tak berdaya ini sebagai ancaman. Mereka melihatnya lebih sebagai "minoritas" yang mudah jadi fokus rasa cemas dan saluran energi kebencian.
Dalam keadaan itu saya bisa jadi Meliana. Juga Anda.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo