Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahmat Petuguran*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYAKIT ternyata punya korelasi dengan kelas sosial. Hubungan keduanya bisa diidentifikasi dengan dua cara. Pertama, penyakit tertentu ternyata cenderung menyebar di kelas sosial-ekonomi tertentu. Kedua, cara masyarakat menamai penyakit juga cenderung menunjukkan latar belakang sosial penuturnya.
Hubungan jenis pertama bisa dijelaskan secara medis karena beberapa penyakit memang cenderung muncul di lingkungan ekonomi yang khas. Penyakit noninfeksi seperti jantung, ginjal, dan gula punya potensi lebih besar muncul di kalangan ekonomi baik. Adapun jenis penyakit infeksi seperti kudis, panu, dan kurap dianggap sebagai penyakit kelas bawah. Tifus dan tuberkulosis juga masuk kelompok “penyakit rakyat jelata”.
Seusai operasi jantung koroner, misalnya, komedian Dodit Mulyanto berseloroh, “Saya baru terserang penyakit jantung. Tifus? Enggak level.” Candaan ini berhasil memantik tawa penonton karena klasifikasi penyakit demikian memang sudah menjadi pengetahuan kolektif masyarakat.
Hubungan tipe kedua sedikit lebih rumit karena berkaitan dengan faktor budaya. Cara orang menamai penyakit lebih berkaitan dengan pengetahuan, kebiasaan, dan tradisinya dibanding kemampuan ekonominya.
Bukan atas dan bawah, kategori cara orang menamai penyakit lebih tepat disebut “awam” dan “medis”. Penyakit yang sama biasanya punya nama berbeda, yaitu versi awam dan versi tenaga medis.
Di kampung tempat saya tinggal, meriang menjadi penyakit paling populer. Meriang seperti menjadi nama generik untuk semua jenis penyakit yang menyebabkan tubuh terasa tidak nyaman. Indikasi yang lazim menyertainya adalah demam, batuk, dan flu. Padahal demam, batuk, dan flu merupakan tiga penyakit yang berbeda.
Ada berbagai contoh lain yang menunjukkan kecenderungan itu. Sakit pencernaan yang membuat penderitanya sering buang air besar dalam bentuk cair populer disebut mencret atau menceret. Dokter menyebutnya diare. Ruam pada kulit akibat berkembangnya jamur di daerah yang lembap sering disebut awam sebagai “kutu air”. Dokter menyebutnya tinea pedis. Kadang masyarakat bahkan membuat idiom yang cukup imajinatif untuk menyebut penyakit, misalnya “raja singa” untuk sifilis, “buta ayam” untuk nyctalopia, dan “mata malas” untuk amblyopia.
Gejala kebahasaan ini menunjukkan berlakunya salah satu sifat dasar bahasa, yaitu konvensional. Namun itu sekaligus menunjukkan bahwa konvensi tidak pernah bersifat universal. Masyarakat hidup dalam ruang sosial yang disekat pengetahuan masing-masing. Dalam ruang-ruang spesifik itulah konvensi terjadi.
Nama-nama awam cenderung muncul dari sistem pengetahuan tradisional. Nama penyakit dikreasi berdasarkan penampakan luarnya. Inilah yang membuat banyak penyakit memiliki asosiasi warna, bentuk, dan ukuran. Ada nama sakit kuning (warna), kaki gajah dan usus buntu (bentuk), dan meniren serta busung lapar (ukuran).
Nama-nama medis cenderung diambil dari mikroorganisme yang menyebabkannya atau organ tubuh yang terserang. Disentri, meningitis, pneumonia, kolera, dan tuberkulosis adalah contoh tipe pertama. Adapun hipertensi, hepatitis, bronkitis, hemofilia, anemia, dan tiroiditis adalah contoh tipe kedua.
Perbedaan nama penyakit bisa menjadi persoalan serius dalam komunikasi medis. Persoalan itu terutama dirasakan dalam proses diagnosis melalui wawancara dengan pasien. Ada potensi kesalahpahaman dalam dialog dua pihak yang punya perbedaan latar belakang pengetahuan itu. Risiko kesalahpahaman menjadi lebih besar jika jarak pengetahuan keduanya lebih lebar, misalnya pada pasien anak-anak, orang lanjut usia, dan pasien dengan gangguan mental.
Dalam laporan berjudul “Malpractice Risks in Communication Failures: 2015 Annual Benchmarking Report”, Patient Safety Network (2016) menunjukkan bahwa kesalahan komunikasi menyumbangkan 30 persen kasus malpraktik. Kegagalan komunikasi berkontribusi dalam sepertiga kasus cedera kelas tinggi (termasuk kematian). Dari total kesalahan komunikasi itu, 48 persen terjadi di pelayanan rawat jalan, 44 di pelayanan rawat inap, dan 8 persen di instalasi gawat darurat.
Memang tidak disebut spesifik bahwa perbedaan nama penyakit menjadi penyumbang kegagalan komunikasi itu. Namun sangat logis jika perbedaan nama penyakit dapat menciptakan ketidakpastian informasi.
Kondisi itu menunjukkan dua hal yang kontradiktif. Di satu sisi, variasi nama penyakit merupakan kekayaan kebahasaan yang penting secara kultural. Di sisi lain, variasi itu merupakan kendala nyata dalam bidang yang sangat membutuhkan akurasi informasi. Harus lebih hati-hati. Harus lebih teliti.
*) Dosen Sosiolinguistik Universitas Negeri Semarang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo