Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEWAN Perwakilan Rakyat dan pemerintah nyata-nyata lebih berpihak pada korporasi ketimbang pada rakyatnya sendiri. Ketika perhatian publik tercurah pada urusan Covid-19, DPR dan pemerintah justru mengesahkan revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang sarat masalah, terutama menyangkut kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan mengesahkan rancangan undang-undang yang ditolak publik pada akhir pemerintahan yang lalu, DPR dan pemerintah seperti menggelar karpet merah bagi korporasi untuk menguasai lahan lebih luas dan lebih lama. Penambangan di area sungai diperluas dari 25 hektare menjadi 100 hektare. Perusahaan pun dapat mengajukan area penunjang pertambangan di luar izin konsesinya. Masa eksplorasi yang sebelumnya dua tahun menjadi hingga delapan tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal tersebut menjadi pintu bagi modus land banking atau penguasaan lahan yang jembar secara murah oleh perusahaan. Apalagi ada pasal lain yang membuka peluang transaksi. Pasal 61 menyebutkan pemerintah bisa memberikan izin kepada perusahaan lain di wilayah eksplorasi yang sama untuk komoditas yang berbeda, setelah mendapatkan persetujuan perusahaan tambang yang pertama kali mendapat izin eksplorasi. Frasa “setelah mendapatkan persetujuan” ini yang rawan untuk diperjualbelikan.
Pengistimewaan bagi perusahaan juga tampak dalam perpanjangan izin. Undang-undang baru memberikan jaminan kepada perusahaan untuk memperpanjang izin operasi. Sebuah perusahaan tambang batu bara, misalnya, bisa beroperasi hingga 60 tahun setelah mendapat perpanjangan 2 x 10 tahun. Jika perusahaan batu bara tersebut terintegrasi dengan pembangkit listrik tenaga uap, misalnya, operasinya bisa sampai 80 tahun—setelah perpanjangan 30 tahun dan jaminan perpanjangan 10 tahun. Demikian juga untuk perusahaan tambang logam yang terintegrasi dengan pabrik pemurnian atau smelter.
Undang-undang lama tak memberikan jaminan perpanjangan. Izin mesti dikembalikan kepada negara setelah masa konsesi habis. Setelah itu, siapa pun bisa mengajukan permohonan izin atas lahan tambang tersebut. Adanya garansi perpanjangan izin di undang-undang baru justru melanggengkan penguasaan sumber daya alam oleh segelintir pengusaha. Apalagi, di undang-undang baru, mineral ikutan—yang tidak dimohonkan ditambang pada saat pengurusan izin—secara otomatis menjadi milik pemegang izin.
Masih banyak pasal bermasalah lain yang membuat undang-undang ini tidak layak disahkan, dari berat sebelahnya sanksi pidana hingga makin kecilnya ruang bagi masyarakat di sekitar lokasi izin tambang untuk menolak tambang. Dulu, ada sanksi bagi pejabat yang korup dalam pemberian izin, sehingga bisa melapis Undang-Undang Antikorupsi. Kini, aturan itu dicabut.
Sebaliknya, masyarakat yang menentang kehadiran tambang justru bisa dipidanakan. Sungguh berbahaya jika unjuk rasa—yang merupakan hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum—menolak tambang ditafsirkan sebagai upaya merintangi atau mengganggu usaha tambang. Tak hanya ada ancaman hukuman penjara, barang-barang masyarakat pun bisa dirampas.
Sudah selayaknya undang-undang yang mengabaikan publik ini digugat ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai penjaga akal sehat, kelak Mahkamah mesti meluruskan logika bengkok pembuat undang-undang. Konstitusi sudah sangat jelas mengamanatkan bahwa bumi, air, dan segala yang dikandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat, bukan segelintir pengusaha.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo