Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Adaptasi Ibadat karena Darurat

Sejumlah kebijakan untuk menangani pandemi selama setahun ini berdampak pada ritual keagamaan umat Islam. Ibadah sosial dan ritual meningkat. Liputan ini hasil kolaborasi Tempo dan Rappler yang didukung Sasakawa Peace Foundation.

27 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penerapan saf berjarak sebagai bentuk penerapan protokol kesehatan dalam beribadah shalat berjamaah di Masjid Raya Bandung, Juli 2020./Tempo/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pandemi mengubah amal dan kegiatan ibadah umat beragama di Indonesia dan Filipina.

  • Tokoh agama berperan signifikan dalam mempengaruhi perilaku jemaah dan penanganan wabah.

  • Kerumunan ibadah berkurang, tapi ibadah sosial menunjukkan peningkatan.

ADA yang belum kembali dalam kegiatan ibadah Anwar Abbas meski pandemi Covid-19 sudah berumur setahun lebih. Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini masih harus menjaga jarak saat menunaikan salat di masjid di dekat rumahnya di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Padahal salat dengan saf yang rapat sangat dianjurkan. Ia juga tak lagi bersalaman dengan anggota jemaah lain, menggantinya dengan isyarat mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abbas sadar bahwa merapatkan saf merupakan perintah agama. Begitu juga menjaga jarak agar menghindarkan diri dari kemungkinan menyebarkan atau tertular virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. "Hadis Nabi mengatakan kita tidak boleh mencederai dan dicederai orang lain. Karena itu, kita harus berhati-hati," kata Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah ini pada Ahad, 21 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perubahan tata cara peribadatan dan peran penting tokoh agama di tengah pandemi inilah yang kita lihat di Indonesia, negara berpenduduk 270 juta jiwa dan memiliki populasi muslim terbesar di dunia. Situasi yang mirip ditemukan di negara tetangga, Filipina, negeri berpenduduk 110 juta jiwa dengan populasi umat Katolik terbesar di Asia dan ketiga terbanyak di dunia.

Salat Jumat salah satu ibadah keagamaan yang terkena dampak langsung kebijakan jaga jarak. Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Robikin Emhas mengungkapkan, hukum salat Jumat secara berjemaah di masjid adalah wajib, setara dengan salat lima waktu—zuhur, asar, magrib, isya, dan subuh. Mereka yang secara sengaja mengabaikannya tiga kali berturut-turut bisa kehilangan agamanya alias menjadi kafir.

Robikin mengungkapkan, ia sedari awal berpandangan bahwa pada masa pandemi ini salat Jumat bisa digantikan dengan salat zuhur di rumah karena alasan darurat, yaitu mencegah penularan. Pandangan itu sempat memicu protes. "Bahkan ada yang mengatakan saya kafir," ujarnya. Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwa mengenai hal ini pada 19 Maret 2020. NU menyarankan mereka yang berada di zona merah penyebaran Covid-19 menunaikan salat Jumat di rumah. Muhammadiyah mengeluarkan petuah serupa pada 24 Maret 2020.

Kebutuhan menghindari kemungkinan infeksi itu juga yang mengubah ritual terhadap pasien Covid-19 yang meninggal. Ketua Satuan Tugas NU Peduli Covid-19 Makky Zamzami bercerita, ia awalnya merasa penanganan jenazah pasien Covid-19 itu terkesan berlebihan. Mereka yang meninggal biasanya langsung dibawa ke permakaman dari rumah sakit. Petugas memakai alat pelindung diri level III, yang membuat mereka terlihat seperti astronaut. "Seperti menangani pasien ebola di Afrika," tuturnya.

Sikapnya kemudian berubah dan ia memahami bahaya menggunakan cara-cara lama. Menurut Makky, setelah jenazah dimandikan, dikafani, dan dimasukkan ke peti, masyarakat sebenarnya bisa menguburkannya dengan aman. Hanya, ia ragu peti itu tidak akan dibuka oleh anggota keluarga, misalnya untuk mencium jenazah sebagai kenangan terakhir. "Kalau tidak langsung dikuburkan, peti itu pasti akan dibuka untuk dilihat. Itu berpotensi menularkan," ucapnya.

Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center Corona Rintawan mengungkapkan, masyarakat berkeberatan lantaran tidak yakin jenazah ditangani sesuai dengan syariat. Di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur, ia mendekontaminasi jenazah sebelum dimandikan. Petugas yang memandikan memakai alat pelindung diri. Setelah dimandikan, jenazah dibungkus plastik rangkap enam, lalu dimasukkan ke peti. "Kami memfasilitasi keluarga mengikuti prosesnya agar mereka melihat bahwa proses sesuai dengan syariat," ujarnya.

Kekhawatiran terhadap infeksi juga mengubah cara penghormatan kepada anggota keluarga atau kolega yang kehilangan nyawa karena virus corona. Anwar Abbas merasakan pengalaman ini saat kolega dekatnya, Nadjamuddin Ramly, mantan Wakil Sekretaris MUI dan Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah, meninggal karena Covid-19 pada 21 Februari lalu.

Saat mendengar Nadjamuddin meninggal di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung, Anwar bingung. "Ada keinginan kuat untuk datang, juga untuk tidak datang karena situasi pandemi." Untuk menghormati koleganya itu, ia akhirnya melakukan salat gaib dari rumahnya. Ia tahu para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Ada yang mengatakan salat gaib hanya dilakukan Nabi Muhammad untuk jenazah Raja An-Najasyi dari Habasyah. Tapi ia tetap melakukannya. "Covid ini telah mengganggu bukan hanya ekonomi, tapi juga kehidupan sosial."

Situasi sulit pandemi juga yang membuat para tokoh agama berusaha mencari titik temu antara hukum agama dan keselamatan masyarakat. Misalnya dalam soal vaksin AstraZeneca. Sebanyak 113 juta vaksin AstraZeneca akan didatangkan pada tahun ini untuk memperkuat program vaksinasi karena vaksin Sinovac Biotech yang berjumlah 140 juta tidak cukup untuk membentuk kekebalan kelompok. Total vaksin yang dibutuhkan Indonesia sebanyak 426 juta dosis.

Badan Pengawas Obat dan Makanan memberikan izin penggunaan darurat (EUA) untuk vaksin AstraZeneca pada 22 Februari lalu. MUI, dalam fatwanya pada 16 Maret lalu, menyatakan hukum penggunaan vaksin AstraZeneca haram karena produksinya memanfaatkan tripsin dari babi. Namun vaksin itu boleh diberikan karena ada ancaman nyata jika tidak ada vaksinasi. Pengurus Wilayah NU Jawa Timur mengeluarkan hukum bolehnya vaksinasi dengan AstraZeneca pada 10 Maret lalu.

Penerapan kaidah agama oleh organisasi keagamaan ini yang membuat publik yakin, termasuk dalam vaksinasi. "Perdebatan soal boleh-tidaknya vaksin dipakai sudah selesai setelah ada pandangan dari lembaga yang memiliki otoritas, seperti MUI dan Nahdlatul ulama," kata Abdul Hamid Wahid, Kepala Pondok Pesantren Nurul Jadid di Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, yang memiliki 8.000 santri.

Robikin Emhas mengatakan, dalam kaidah agama, hal yang sebelumnya dilarang atau diharamkan boleh dilakukan kalau dalam situasi darurat. "Jika seseorang di tengah hutan dan tak makan berhari-hari, lalu ia menemukan bangkai, babi sekalipun, ia punya pilihan: makan babi dan membuatnya bisa hidup atau tidak makan tapi nyawanya terancam. Ini yang disebut darurat.”

Meski vaksinasi merupakan upaya penting dalam menghadapi pandemi, tidak semua orang awalnya bersedia menerimanya. Dalam hasil survei Satuan Tugas Penanganan Covid-19 bersama Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), September 2020, sebanyak 65 persen responden bersedia menerima vaksin, 27 persen ragu, dan 8 persen menolak. Alasan penolakan adalah faktor agama, termasuk soal kehalalannya. Itulah sebabnya pemerintah menggandeng tokoh agama, selain figur publik, untuk meyakinkan masyarakat.

Ketua Bidang Komunikasi Publik Satgas Penanganan Covid-19 Hery Trianto menyebutkan tokoh agama berperan penting antara lain melalui fatwanya. "Dengan keluarnya fatwa MUI bahwa vaksin suci dan halal, itu akan sangat membantu dalam penerimaan masyarakat," ucapnya. Pada awal program vaksinasi menggunakan vaksin Sinovac pada 13 Januari lalu, para tokoh agama turut divaksin pertama kali bersama Presiden Joko Widodo.

Pengajar di fakultas hukum Monash University, Australia, Nadirsyah Hosen, mengatakan pandemi ini membuat kita berintrospeksi. "Tuhan itu ada di hati kita, tidak hanya ada di rumah ibadah, sehingga beribadah bisa di mana-mana tanpa melanggar aturan syariat,” tutur Nadirsyah. “Pandemi ini juga menegaskan bahwa agama tidak kaku.”

Cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat mengatakan ibadah yang sifatnya mengundang kerumunan memang berkurang selama masa pandemi. "Namun ibadah sosial meningkat. Itu ditunjukkan dengan lebih banyak orang beramal, membantu tetangga dan orang miskin," ujar Rektor Universitas Islam Indonesia Internasional tersebut pada Sabtu, 27 Maret lalu. Kesempatan beribadah berupa belajar juga lebih berkembang dan efektif serta lebih murah. "Ibadah makin khusyuk, lebih rajin mengaji karena sedang menghadapi banyak problem," kata Komaruddin.

Abdul Manan (Jakarta), Paterno R. Esmaquel II, Robbin M. Dagle (Manila)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus