Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kompromi Investigasi Tragedi Sukhoi

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHWA sesungguhnya menyebut "bahaya mengancam di atas bandara" bukanlah untuk merusak rencana liburan akhir tahun Anda. Tapi padamnya radar pada sistem lalu lintas udara Cengkareng dua pekan lalu jelas menunjukkan biutnya ancaman itu. Sayang sekali, momentum untuk membenahi soal ini terlewat dengan kesimpulan lunak Komite Nasional Keselamatan Transportasi atas tragedi Sukhoi pada Mei lalu.

Hasil investigasi tujuh bulan oleh komite itu lebih banyak menyalahkan pilot, yang memang tak lagi bisa membela diri. Pertama, awak Sukhoi Superjet 100 dianggap tak memahami kondisi pegunungan pada jalur yang dilalui penerbangan gembira itu. Kedua, gangguan yang mengalihkan perhatian pilot berupa percakapan panjang dan tidak berhubungan dengan penerbangan. Hanya satu kesimpulan yang tak menyalahkan pilot: sistem pengatur lalu lintas udara Bandara Soekarno-Hatta tak dilengkapi data ketinggian minimum penerbangan.

Komite menyembunyikan faktor lain yang sangat krusial: lemahnya sistem dan kurangnya personel pengatur lalu lintas udara. Mereka bahkan memanipulasi beberapa fakta, misalnya tentang jumlah pesawat yang diawasi petugas pada saat Sukhoi jatuh. Dalam laporan investigasi disebutkan, petugas memandu 14 pesawat pada saat bersamaan. Kenyataannya, berdasarkan rekaman radar, ia sendirian mengawasi 40-an pesawat, membuatnya tak henti berkomunikasi dengan para pilot.

Laporan investigasi juga sengaja tidak "menonjolkan" kesalahan prosedur pemanduan lalu lintas udara, baik pada kesimpulan maupun pada saat konferensi pers. Misalnya, peraturan menyebutkan, tim pemandu terdiri atas satu petugas pengatur, satu asisten, satu operator, dan satu supervisor. Kenyataannya, pada 9 Mei 2012 siang, ketika Sukhoi terbang, seorang petugas menjalankan multifungsi: pengatur, asisten, sekaligus supervisor. Tak mengherankan jika ia baru menyadari pesawat buatan Rusia itu hilang dari radar setelah 19 menit.

Benar, pilot Alexandr Yablontsev membuat kesalahan besar pada tragedi yang menewaskan 45 orang itu. Ia mengabaikan peringatan datangnya bahaya dari Terrain Awareness Warning System. Peraturan penerbangan mewajibkan semua pilot menuruti instruksi alat itu, dalam situasi apa pun. Jika melakukannya, dengan sisa waktu 24 detik dan kecepatan pesawat 360 kilometer per jam, sang pilot bisa melintasi lereng Gunung Salak. Tapi menimpakan kesalahan terbesar pada sang mendiang tak ada manfaatnya.

Harus dipahami, investigasi kecelakaan tidak dilakukan untuk menghukum mereka yang dianggap bertanggung jawab. Penyelidikan justru dibuat untuk menentukan usaha perbaikan. Contohnya investigasi setelah pesawat Tupolev Bashkirian Airlines dan Boeing 757 DHL ber­tabrakan di angkasa Jerman pada 1 Juli 2002. Disimpulkan, penyebab tragedi itu antara lain perbedaan instruksi antara sistem pencegah tabrakan dan panduan petugas pengatur lalu lintas udara. Setelah itu, otoritas penerbangan internasional mengharuskan pilot mengikuti instruksi sistem pada situasi seperti itu.

Kesimpulan investigasi Sukhoi semestinya tidak dibuat dengan kompromi untuk menyenangkan semua pihak. Fakta yang menyebabkan kecelakaan itu tidak boleh disembunyikan. Bahkan jika fakta itu ternyata "memalukan dunia penerbangan kita"—seperti dikhawatirkan seorang anggota tim investigasi dalam wawancara dengan Tempo. Hasil penyelidikan sepatutnya dijadikan dasar untuk mempercepat pembenahan pengaturan lalu lintas udara Indonesia yang amburadul.

Personel dan infrastruktur Bandara Soekarno-Hatta jelas tak mampu mengimbangi pertumbuhan penerbangan. Pada Januari-Oktober 2012, jumlah penumpang di bandara ini 16,2 juta orang, atau 36 persen dari semua pengguna jasa penerbangan di Indonesia. Sekitar 400 ribu penerbangan datang dan pergi, atau sekadar melintas di udara. Semuanya ditangani pelayanan navigasi udara PT Angkasa Pura II. Dari data yang diperoleh majalah ini, kekurangan personel dan masalah teknologi merupakan persoalan utama pengaturan udara itu.

Padamnya cadangan pemasok listrik yang mengakibatkan lumpuhnya sistem pengaturan udara Cengkareng dua pekan lalu membuktikan kelemahan bandara internasional itu. Kejadian memalukan ini membuat bandara layuh beberapa jam, puluhan pesawat gagal mendarat, dan keselamatan ribuan orang terancam. Hal itu juga menunjukkan otoritas bandara tak kunjung berbenah.

Tanpa perbaikan, seperti kata praktisi penerbangan Hanna Simatupang yang mengutip gunjingan antarpilot, kecelakaan udara seperti arisan: semua menunggu giliran. Sayang sekali, Komite Nasional Keselamatan Transportasi tak memberi rekomendasi keras agar pembenahan segera dilakukan. Momentum itu lewat begitu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus