Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan usaha milik negara dan perusahaan milik perorangan atau sekelompok orang sejatinya punya tujuan sama: memperoleh laba sebesar-besarnya. Memang ada BUMN yang didirikan untuk lebih banyak memberikan pelayanan kepada masyarakat, dengan risiko merugi. Tapi jumlahnya tidak banyak. Kalau kita cermati, perusahaan pelat merah seperti itu biasanya bergerak di bidang usaha yang memanfaatkan sumber daya alam dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Misalnya Pertamina dan PLN. Untuk kedua BUMN itu pemerintah memberikan subsidi sebagai ganti kerugian akibat mereka harus menjual produknya di bawah harga pasar.
BUMN yang tidak menambang sumber daya alam dari bumi Tanah Air, meskipun punya kewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya tetap mengejar laba. Tak terkecuali PT Kereta Api Indonesia, PT Pos, PT Angkasa Pura yang mengelola bandar udara, PT Pelindo yang mengelola pelabuhan laut, badan usaha yang bergerak di perkebunan, industri kertas, semen, pupuk, dan sebagainya. Era yang menganggap perusahaan pelat merah wajar merugi lantaran melayani masyarakat sudah harus berakhir. Sudah bukan zamannya lagi direksi dan komisaris BUMN ditempati para pensiunan hanya karena penguasa ingin membalas budi mereka yang dianggap pernah berjasa itu. Pada masa serba transparan ini, terasa sangat "jahiliah" bila masih ada BUMN yang dijadikan "sapi perahan" oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat, partai politik, dan sekalian "petualang" politik.
Apresiasi patut diberikan untuk Menteri Sofyan Djalil, yang memulai perbaikan BUMN, yang sekarang dilanjutkan dengan sangat bersemangat oleh Dahlan Iskan. Di tangan Dahlan, perusahaan negara yang bergerak di bidang sejenis mulai dimerger agar tak terjadi persaingan sesama BUMN. Yang merugi karena pasarnya menyempit langsung ditutup agar tak menjadi beban negara. Seleksi diperketat. Hanya orang yang punya kejelian melihat pasar dan mampu melahirkan terobosan yang mengisi level pimpinan. Ternyata penyehatan BUMN ini membuahkan hasil. Laba yang mereka peroleh semakin besar.
Tempo bahkan menemukan sejumlah pemimpin BUMN dengan terobosan brilian. Antara lain PT Pos Indonesia. Semua orang tahu, kemajuan Internet menyebabkan orang jarang mengunjungi kantor pos untuk mengirim surat. Kemajuan dunia perbankan dengan jaringan ATM di setiap sudut kota membuat wesel pos menjadi barang kedaluwarsa. Mungkin Anda perlu mengingat kapan terakhir membeli prangko dan sudah berapa tahun tak mengirim kartu pos ucapan selamat? Di tangan CEO baru, PT Pos ternyata bangkit dengan inovasi meyakinkan, memanfaatkan jaringannya yang tersebar luas. Begitu pula PT Angkasa Pura I terus mengembangkan bandar udara binaannya, misalnya Surabaya dan Makassar, yang menjadi buah bibir. Tak terdengar kabar bandara di bawah Angkasa Pura I bermasalah, misalnya radarnya mati seperti yang pernah terjadi di Bandara Soekarno-Hatta.
Para CEO BUMN mesti memakai paradigma swasta dalam menjalankan perusahaan: mengejar laba sebanyak-banyaknya untuk kesejahteraan pemegang saham. Dan pemegang saham pelat merah adalah negara, yang pada hakikatnya milik seluruh rakyat. Jadi, mengejar laba bukan sesuatu yang tabu, melainkan bentuk pengabdian kepada masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo