Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI daun di musim kering, perusahaan rokok kecil di daerah berguguran. Dari total 384 pabrik di Kabupaten Malang, Jawa Timur, misalnya, kini tinggal 70. Dari yang tersisa itu pun hanya 40 persen yang masih lancar berproduksi. "Sudah kembang-kempis," kata Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Sekitar 40 pabrik lain berproduksi "ogah-ogahan". Ribuan buruh terpaksa diberhentikan.
Itu akibat serangan pemain besar yang mendirikan anak-anak usaha pabrik rokok pemasok pasar kelas bawah. Tak tanggung-tanggung, tiap perusahaan besar (golongan I) memiliki puluhan pabrik kecil. "Harga jual mereka bisa jauh lebih murah," ucap bos produsen rokok Tali Roso, PT Ganesha Putra Perkasa, yang bermarkas di Malang ini. Perusahaan rokok kecil tentu tertinggal dalam soal modal, lalu kalah bersaing merebut pasar.
Sekretaris Jenderal Formasi Suhardjo menambahkan, Djarum memiliki 36 anak perusahaan di kelas bawah. Sedangkan Gudang Garam menaungi pabrik rokok Apache, Grendel, dan Gandum. Lalu Bentoel Group menguasai rokok Sejati, Tali Jagat, dan Rawit. Berdasarkan data Formasi, jumlah pabrik skala kecil mencapai 90 persen dari total jumlah perusahaan, tapi cuma kebagian 10 persen pangsa pasar. Sebaliknya, pabrik besar yang hanya 10 persen menguasai 90 persen pasar. "Pabrikan kecil pasti kalah bersaing," kata Heri.
Heri telah melaporkan permainan lewat pabrik terafiliasi hingga golongan III itu kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan pada 2010. Menurut dia, Kementerian sudah mencatat akal bulus pabrik besar untuk menghemat beban cukai produksi. Tarif cukai setiap jenis rokok, dari sigaret kretek mesin sampai sigaret putih tangan filter, dikategorikan dalam tiga golongan berdasarkan volume produksi per tahun dan harga jual eceran.
Golongan I diisi pabrik penghasil lebih dari 2 miliar batang per tahun, golongan II untuk yang membuat 400 juta hingga 2 miliar, dan golongan III kurang dari 400 juta batang. Tiap golongan dibagi lagi menjadi beberapa sub, misalnya II B dan II C. Mengenai tarif cukai, Heri mencontohkan, pabrik golongan I produsen jenis sigaret kretek atau putih tangan (lintingan) dikenai Rp 195-255 per batang, tergantung harga jual eceran produk. Kalau golongan II dengan varian sama kena cukai Rp 105-125, sedangkan golongan III hanya Rp 75.
Siasat bisnis pemain bongsor tersebut dicoba diredam Dirjen Bea-Cukai dengan mendorong penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.04/2010 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau. Aturan yang diteken pada 23 November 2010 ini mengamendemen Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 mengenai hal yang sama.
Peraturan baru itu hanya berisi rambu tentang hubungan istimewa perusahaan rokok berikut penggabungan produksi perusahaan-perusahaan yang terafiliasi tersebut. Penggabungan jumlah produksi ini berujung pada penerapan golongan pabrik yang terafiliasi. Sebagai contoh, jika pabrik yang tercatat A golongan III terbukti memiliki hubungan istimewa dan kepemilikan dengan pabrik B yang golongan I, keduanya akan dianggap golongan I dengan tarif cukai tertinggi. Pelaksanaan aturan ini melalui masa transisi selama dua tahun. Namun Bea-Cukai belum bisa menjatuhkan sanksi kepada perusahaan nakal per 23 November lalu.
Kepala Sub-Direktorat Aneka Cukai Direktorat Bea-Cukai Padmoyo Tri Wikanto mengatakan tanggal itu menjadi waktu memulai investigasi karena membuktikan hubungan istimewa antarperusahaan bukan perkara mudah. Menteri Keuangan Agus Martowardojo pun baru meminta laporan hasil investigasi dalam rapat yang rencananya digelar pekan ini. Tri juga mengaku tak mengetahui berapa perusahaan yang bakal kena sanksi berikut pendapatan negara yang bisa dituai.
Nada pesimistis justru muncul dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono. Ia mengakui sanksi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 191 belum bisa dijatuhkan mulai 23 November 2012. Ia beralasan, "Tak mudah menjalankannya," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Ia berpendapat, perlu dilakukan penelitian dan pengujian hukum secara mendalam terhadap banyak perusahaan yang diduga berhubungan istimewa. Jika pengujian itu tak sungguh-sungguh, institusinya bisa kena serangan balik dan repot melayani perdebatan hukum berkepanjangan. Menurut Agung, masih perlu diuji dan disimulasi apakah Peraturan Nomor 191 itu memang bisa dilaksanakan. Kalau terdapat kelemahan, ia mengusulkan lebih baik direvisi. "Daripada digugat," ujarnya sembari memastikan bahwa dalam waktu dekat hasil simulasi bisa diketahui.
Agung mengaku tak tahu mengapa harus ada masa transisi dua tahun bagi para pengusaha yang mengakali aturan cukai untuk menyesuaikan dengan aturan baru. "Waktu itu saya belum jadi dirjen." Ia dilantik pada 25 April 2011, menggantikan Thomas Sugijata, yang kala itu memasuki masa pensiun.
Heri mempersoalkan masa transisi dua tahun, walau lebih pendek dibanding usulan lima tahun dari pengusaha besar. Menurut dia, selama masa itu pabrik besar bisa melepaskan afiliasi dengan perusahaan kecil. "Aturan hubungan istimewa percuma, tak akan bisa diterapkan," ucapnya.
Namun, Tri berpendapat, masa transisi mutlak diperlukan agar perusahaan-perusahaan yang nakal segera berbenah. "Biar mereka tidak kaget," katanya. Yang pasti, menurut Tri, dalam masa transisi sudah banyak perusahaan di daerah yang melepaskan afiliasinya. "Ada datanya, tapi saya belum pegang," ujarnya Kamis pekan lalu.
Aturan yang janjinya dirancang untuk melindungi pabrik kecil malah menjadi bumerang. Biangnya, definisi hubungan istimewa dalam aturan tak hanya soal kepemilikan dan pengelolaan, baik langsung maupun tak langsung. Hubungan bisnis dalam pengadaan bahan baku juga diartikan sebagai hubungan istimewa. Sanksinya tak hanya peningkatan golongan yang membawa konsekuensi tarif cukai dan harga eceran. "Kami dinilai menyalahi izin, sehingga nomor pokok pengusaha bisa dicabut," kata Heri.
Kerja sama pengadaan bahan baku tak bisa dihindarkan karena kebun tembakau dikuasai perusahaan-perusahaan besar. Hananto, juru bicara Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia, tak yakin pabrik kecil bisa mendapatkan bahan baku tanpa bergantung pada perusahaan besar. "Saya kira ada," katanya Kamis pekan lalu. Ia mengusulkan, jika ingin melepaskan ketergantungan itu, pemerintah mesti membuat aturan khusus mengenai bahan baku.
Pengusaha rokok kecil di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tak peduli dengan aturan baru itu. Mereka sudah mati rasa setelah terkapar akibat aturan batas minimal pabrik seluas 200 meter persegi dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008. "Kami disembelih juga tak ada darahnya," kata Ketua Himpunan Pengusaha Rokok Kediri Rochmad Prasetyo, yang juga bos pabrik Langkah Sukses Mandiri.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), tempat hampir semua pabrik besar bernaung, menuturkan bahwa perusahaan besar membangun afiliasi semata untuk mencari peluang bisnis. Di sisi lain, perusahaan kecil ingin efisien agar bisa bersaing. "Apakah pabrik kecil akan selamat kalau dilepas dari afiliasi?" ujar Sekretaris Jenderal Gappri Hasan Aoni Aziz.
Ia juga mengkritik alasan pemerintah menerapkan aturan antiafiliasi untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus melindungi industri kecil. Hasan mengatakan pendapatan negara dari cukai sudah tinggi, yakni selalu di atas 7 persen dari target. Dalih melindungi industri kecil-menengah pun tak relevan, karena aturan itu justru berpotensi mematikan mereka. Itu sebabnya, Gappri mendesak pemerintah mencabut aturan trsebut.
Jobpie Sugiharto, Agoeng Wijaya, Akbar Tri K., Hari Tri Wasono (Kediri), Eko Widianto (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo