Jika kita semuanya waras, ini sangat memalukan. Dari 55 anggota DPRD Sumatera Barat, 43 orang divonis hukuman penjara dari dua tahun sampai dua tahun tiga bulan oleh Pengadilan Negeri Padang, Senin pekan lalu. Mereka dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi senilai Rp 4,6 miliar terhadap anggaran belanja daerah 2002. Selain dikenai hukuman penjara, mereka didenda ratusan juta rupiah.
Apakah anggota lainnya bersih? Tidak juga. Sebab, dua orang meninggal dunia ketika kasus ini dilimpahkan ke pengadilan, satu orang sakit, dan tiga orang baru berstatus saksi. Sisanya lagi adalah wakil rakyat dari Fraksi TNI/Polri, yang akan diadili oleh pengadilan militer. Artinya, memang semua wakil rakyat itu, dari pemimpin sampai anggota, terlibat korupsi.
Memang vonis ini belum punya kekuatan hukum tetap karena para wakil rakyat itu mengajukan banding. Sekiranya nanti bandingnya ditolak, dan kasasi pun misalnya ditolak, akankah sidang DPRD dilakukan di dalam penjara dengan pakaian yang biasa digunakan para tahanan? Karena itu, Koordinator Forum Peduli Sumatera Barat, Saldi Isra, meminta pemimpin partai politik memecat wakil rakyat yang korup ini. Apalagi, dari ke-43 orang itu, ternyata enam orang terpilih kembali menjadi anggota DPRD hasil Pemilu 2004.
Anggota dewan dihukum karena korupsi sebetulnya bukan pertama kali ini. Sebelumnya pernah terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan beberapa daerah lainnya. Bahwa kasus di Sumatera Barat ini menjadi "bersejarah", itu karena yang terlibat semua anggota dari semua partai yang punya wakil. Korupsinya sangat kompak.
Adakah ini dampak dari otonomi daerah, ketika kewenangan diberikan secara besar kepada daerah untuk mengatur anggarannya? Jika itu penyebabnya, semestinya pihak eksekutif yang dikomandani gubernur bisa mencegah. Namun sering terjadi pihak eksekutif tutup mata terhadap kejadian ini, atau malah ikut bermain. Sudah bukan rahasia lagi, pemberian kewenangan yang besar kepada DPRD membuat wakil rakyat ini bisa bertingkah aneh-aneh. Sok kuasa itu, misalnya, sering ditunjukkan pada saat gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban tahunan.
Sesungguhnya apa yang dilakukan anggota DPRD ini juga belajar dari anggota DPR RI. Kewenangan yang besar pada parlemen sering membuat pihak eksekutif harus pandai-pandai membawa diri. Mengenai rumor tentang harga sebuah undang-undang yang disetujui DPR sampai miliaran rupiah, memang belum pernah ada yang mengusut kebenarannya. Jangankan soal itu, kasus tercecernya cek dari Direktur Jenderal Anggaran kepada seorang anggota DPR pun tak pernah diusut, padahal ceknya jelas ada.
Dilihat dari sudut ini, anggota DPRD di daerah lebih bernasib sial karena penegak hukum seperti kejaksaan lebih berani bertindak. Coba lihat data dari Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI per Oktober 2003, yang menunjukkan ada 270 anggota DPRD di berbagai daerah yang disidik oleh kejaksaan tinggi. Lalu berapa orangkah anggota DPR yang disidik karena kasus korupsi?
Di kemudian hari, kita berharap ada gebrakan yang berarti untuk menjadikan negeri ini bukan negeri maling. Dan semestinya gebrakan itu dimulai di lembaga legislatif. Karena itu, harapan kita adalah pemimpin partai politik betul-betul menjadi benteng dari kebejatan moral para wakil rakyat. Mereka harus berani menindak wakilnya yang korup di parlemen karena perbuatan ini sangat memalukan. Itu kalau kita ingin jadi bangsa yang waras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini