Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dana program sosial BI dan OJK disalurkan ke yayasan terafiliasi anggota Komisi XI DPR, mitra keduanya.
Penyelewengan tidak hanya mencederai tujuan program sosial, juga merusak independensi BI dan OJK.
Pengusutan kasus ini juga perlu diperluas dan mencakup semua anggota Komisi XI DPR yang memiliki akses terhadap keputusan anggaran dan pengawasan dana tersebut.
PENGUSUTAN kasus korupsi program sosial Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi membuka kesalahan yang lama tersamarkan. Adanya anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, yang antara lain membidangi keuangan, yang terlibat juga menunjukkan bahwa uang negara terus menjadi bancakan, bahkan di lembaga yang seharusnya memperketat pengawasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini mencuat ke permukaan setelah tim penyidik KPK menggeledah sejumlah ruangan, termasuk ruangan kerja Gubernur BI Perry Warjiyo, pada Senin, 9 Desember 2024. Komisi antirasuah menengarai modus korupsi kasus yang mereka selisik sejak Agustus 2024 itu adalah penyaluran dana program sosial BI ke sejumlah yayasan yang dikelola anggota DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberadaan program sosial di BI dan OJK sendiri salah kaprah sejak awal. Kita memang mengenal program corporate social responsibility atau CSR di perusahaan yang kegiatan operasionalnya berdampak merugikan masyarakat, seperti polusi dan gangguan sosial. Namun BI dan OJK bukanlah perusahaan, melainkan lembaga negara yang dibiayai oleh pajak rakyat. Tugas utama mereka adalah menjaga stabilitas moneter, mengatur sistem pembayaran, dan mengawasi sektor perbankan.
Yang mencurigakan, dari tahun ke tahun, nilai dana program sosial di BI justru terus meningkat. Pada 2014, alokasi anggaran program sosial BI—yang tercampur dengan dana pembinaan usaha kecil-mikro-menengah, stabilisasi harga, dan akseptasi digitalisasi—adalah Rp 154,5 miliar. Pada 2019, dana tersebut naik menjadi Rp 470,1 miliar. Pada 2024, alokasi untuk pos anggaran tersebut melonjak menjadi Rp 1,586 triliun.
Fakta bahwa dana disalurkan ke yayasan yang terafiliasi dengan anggota Komisi XI DPR memperjelas modus lama: korupsi berkedok bantuan sosial. Dana yang seharusnya langsung mengalir ke masyarakat malah dibelokkan melalui rumah aspirasi anggota DPR, kegiatan kampanye di basis konstituen, hingga bagi-bagi uang politik menjelang pemilihan.
Penyelewengan dana ini tidak hanya mencederai tujuan program sosial, tapi juga merusak independensi BI dan OJK yang seharusnya steril dari intervensi politik. Tugas Komisi XI DPR adalah mengawasi kebijakan ekonomi dan sektor keuangan, termasuk mengatur anggaran lembaga negara seperti BI dan OJK. Konflik kepentingan segera terjadi ketika Komisi XI DPR menyetujui alokasi dana program sosial, kemudian BI menyalurkan dana tersebut melalui yayasan yang terafiliasi dengan anggota DPR. Kita tahu konflik kepentingan seperti itu tinggal sejengkal lagi menuju korupsi.
Kasus penyalahgunaan dana sosial di BI bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 2003, nama BI juga tercoreng kasus korupsi dana sosial Rp 100 miliar yang dikelola Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia. Kala itu dana diduga mengalir ke sejumlah pihak, termasuk panitia perbankan Komisi XI DPR yang menangani perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, serta digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum yang menjerat para mantan pejabat BI.
Karena itu, keberadaan program sosial di BI dan OJK sudah saatnya dihapuskan. Hal itu setidaknya akan menutup salah satu celah terjadinya persekongkolan. Sejalan dengan itu, KPK jangan hanya menyeret pegawai BI dan anggota DPR yang telah menjadi tersangka. Semua penanggung jawab penyaluran dana program sosial di BI dan OJK serta anggota DPR yang kecipratan program tersebut harus dimintai pertanggungjawaban. ●