Setahu saya, baru kali ini TEMPO perlu menurunkan tiga nomor berturut-turut (32, 33, 34 tahun 1988) cuma untuk seorang tokoh, yakni Sri Sultan. Berlebihan tidaknya hal itu, tentu saja terserah penilaian pembaca. Juga faktor kejernihan serta bobot laporannya. Sehubungan dengan suksesi dan siapa pun penerusnya, menurut saya, ada satu sesi penting yang harus dipertimbangkan secara baik-baik. Latar belakangnya adalah kebenaran sejarah. Sebagai misal, pengangkatan Sutawijaya dengan gelar "Senapati Ing Alaga" oleh Sultan Hadiwijaya (Pajang) memang dimaksudkan untuk penaklukan atau peperangan. Ini sesuai dengan makna "Senapati Ing Alaga", yaitu panglima perang. Namun, hal ini kemudian menjadi bumerang bagi Sultan Hadiwijaya. Senapati, yang lalu lebih dikenal dengan Panembahan Senapati, berhasil menyingkirkannya sedemikian rupa. Dan Panembahan ini pula yang kemudian dianggap sebagai "peletak dasar" kerajaan Mataram Islam. Walau makna sebenarnya dari jiwa Islam Mataram di bawah Panembahan Senapati pantas dipertanyakan. Misalnya, percayakah dengan dongeng atau cerita yang menyebutkan, "Kanjeng Panembahan itu jika Jumatan selalu di Mekah." Di samping itu, perlu diingat bahwa dialah yang "berhasil" memunculkan mitos Nyai Roro Kidul. Namun, sesungguhnya untuk mendukung kebesaran raja-raja Mataram Jawa, gelar "Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah" pasti selalu digunakan menyusul gelar "Senapati Ing Alaga" diatas. Yang juga menarik adalah bahwa gelar Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ini, yang beitu berjasa sebapai sumbangan Islam, dipergunakan demikian lambat, yaitu sejak naiknya Amangkurat IV (1719-1724). Padahal, Panembahan Senapati atau Sultan Agung, sebagai raja Mataram Jawa pertama, naik takhta pada 1584. Penerimaan gelar ini akan menghendaki pengakuan dan dukungan seluruh dunia muslim. Karena itu, bila pada sebutan lengkap Sri Sultan Hamengku Buwono IX almarhum masih perlu disertakan juga "Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah", maka hal ini sungguh tepat dan beralasan. Manifestasi konkret gelar keagamaan itu, seingat saya, tidak pernah dijelaskan secara eksplisit oleh Sri Sultan sendiri. Namun, ada beberapa indikasi positif yang mengarah ke situ. Pertama, beberapa tahun terakhir ini Keraton Yogya "merelakan" ruang Pagelaran Agung-nya digunakan untuk ajang pengajian akbar, yang tidak hanya pada hari-hari besar Islam. Kedua, hari-hari terakhir menjelang kemangkatan Sri Sultan, ada disebutkan bahwa ia dhawuh agar rumput-rumput atau arena utama Alun-alun Utara terbebaskan dari hura-hura pasar malam yang selalu membonceng perayaan sekaten. Agaknya, Sri Sultan memang menghendaki pemurnian makna Sekaten -- dari kata Syahadatain alias upacara pengislaman seseorang -- sebagai acara keagamaan. Relevan dengan keinginan dan sikap Ngarsa Dalem tersebut, maka tidaklah berlebihan bila kriteria penting penerus beliau sebaiknya memiliki kapasitas positif dan pandangan progresif mengenai Islam. Di samping itu, dari dimensi kebangsaan pun apakah wong Yogya atau Jawa atau Indonesia masih juga, misalnya, mengandalkan "berkah" air cucian pusaka-pusaka, pohon-pohon beringin, dan ratu penguasa laut? Sampai di sini, mungkin ada yang tersinggung dan bertanya: Kenapa semasa hidupnya Sultan juga masih percaya hal-hal seperti itu? Menurut saya, soalnya bukan percaya atau tidak percaya kepada Nyai Roro Kidul dan sejenisnya. Sultan menjadi tokoh nasional karena kepribadiannya. Ia dengan tegas mendukung Rl ketika Indonesia menyatakan merdeka. Ia juga menyediakan Yogya sebagai ibu kota negara dalam keadaan darurat. Ia membolehkan tanahnya dipakai sebagian rakyatnya. Artinya, Sultan dihormati dan dikenal secara nasional, bukan karena Roro Kidul. ZAENAL WAFFA Jalan Ireda 66 Yogyakarta 55152
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini