Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Langkah memasuki suatu konvensi

Tanggapan terhadap kolom karni ilyas tentang hak cipta. indonesia sebelum masuk konvensi bern, seyogyanya, membentuk perjanjian bilateral atas dasar resiprositas, misalnya, dengan amerika serikat. (kom)

20 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM hal hak cipta, Karni Ilyas (TEMPO, 25 Oktober, Kolom) termasuk golongan yang menginginkan Indonesia kembali masuk Konvensi Bern. Sebenarnya, kembali ke konvensi itu, yang ditinggalkan 1958 dan masuk konvensi hak cipta lainnya hanya tinggal soal waktu bagi Indonesia. Karni menekankan waktunya sudah mendesak. Sebab misalnya, ada ancaman sanksi ekonomi oleh AS. Mengingat keadaan mendesak itu, sedangkan kita masih membutuhkan waktu sebelum masuk salah satu konvensi, tidakkah sebaiknya kita mencapai sasaran antara lebih dulu, yang dimungkinkan praktek-praktek internasional, sebelum menuju ke sasaran akhir, yaitu masuk konvensi internasional. Dengan demikian, kita dapat pula menampung pendapat golongan yang belum menginginkan Indonesia mengikat diri dengan salah satu konvensi. Di samping konvensi internasional, praktek antar bangsa membuka kemungkinan dicapainya persetujuan bilateral mengenai hak cipta dan pengakuan hak cipta di negara lain atas dasar timbal balik (reciprocity). Perlindungan hak orang asing, pada mulanya, atas dasar resiprositas. Dari 1840 sampai 1852, Prancis berusaha menjamin perlindungan hak cipta bagi karya-karya warganya dengan menandatangani traktat yang memberikan perlakuan resiprositas. Baru setelah tak berhasil mencapai persetujuan dengar Belgia dan Belanda, Prancis mengeluarkan Dekrit 2 Maret 1852, yang memperluas perlindungan hak cipta dengan tidak memandang tempat penerbitan atau kewarganegaraan pengarang (Edward Ploman dan L. Clark Hamilton, 1980). Prakarsa ini telah mempercepat gerakan menuju sistem hak cipta multilateral. Pada 1886, muncul persetujuan multilateral pertama, yang dikenal dengan Konvensi Bern, dan disusul dengan The Universal Copyright Convention pada 1952. Tapi adanya konvensi-konvensi itu tidak berarti tidak dimungkinkan lagi mencapai persetujuan bilateral dan perlindungan atas dasar resiprositas. Persetujuan bilateral dapat ditandatangani baik oleh negara-negara yang ikut persetujuan multilateral maupun tidak. Banyak undang-undang di berbagai negara mengizinkan kemungkinan menerima hak cipta dari luar negeri atas dasar resiprositas. Kemungkinan ini telah menjadi pertimbangan dalam undang-undang di negara berkembang. Undang-undang Prancis menyatakan, negeri itu tidak akan memberikan perlindungan kepada karya-karya yang semula diterbitkan di negara-negara yang tidak memberikan perlindungan resiprositas pada karya-karya asal Prancis. UUHC AS menyatakan, hak cipta meliputi karya oleh pengarang-pengarang asing, jika pengarang asing itu atau pemilik karya itu berdomisili di AS ketika karyanya semula diterbitkan. Dalam hal-hal lain, diperlukan resiprositas atau negara lain menjadi anggota Konvensi Hak Cipta Sedunia 1952. Berdasarkan UUHC AS, perlindungan meliputi karya pengarang asing, jika mereka warga dari negara-negara yang termasuk dalam suatu pernyataan khusus oleh presiden, yang menyatakan izin diberlakukannya undang-undang AS. Pernyataan itu dilakukan, jika ada resiprosltas dari negara bersangkutan. UUHC Swedia 30 Desember 1960 sejalan. UU itu menegaskan, ia dapat diterapkan pada karya yang pengarangnya warga negara Swedia atau seseorang yang berdomisili di Swedia. Juga "terhadap karya yang semula diterbitkan di Swedia". Dinyatakan pula, atas syarat-syarat resiprositas, raja dapat menetapkan bahwa undang-undang secara keseluruhan atau sebagian dapat diterapkan pada kasus-kasus tertentu di negara-negara lain. Sedangkan UUHC Hungaria mengatakan, karya-karya yang semula diterbitkan di luar negeri diliput UU itu hanya dalamkasus yang pengarangnya warga negara Hungaria atau jika ia diliput suatu persetujuan internasional berdasarkan resiprositas. Asas resiprositas mengenai karya yang diterbitkan di negara asing adalah dasar bagi UUHC Marokko 1970. Kemungkinan pelaksanaan resiprositas diliput UUHC Tunisia 1966. UUHC baru negara-negara berkembang juga mempertimbangkan kemungkinan ini. Pasal 48 (a) UUHC Indonesia 1982 menyatakan bahwa UUHC berlaku terhadap semua ciptaan orang bukan warga negara Indonesia dan badan asing yang untuk pertama kali diumumkan di Indonesia. Sejak abad ke-19, ikatan bilateral atas hak cipta telah diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal terpisah atau lampiran persetujuan perdagangan dan terutama untuk mengatur semua atau beberapa masalah khusus di bidang hak cipta dalam hubungan antarnegara. Penandatanganan persetujuan multilateral mengurangi arti persetujuan bilateral, tapi seperti dicatat A. Troller, "tidak mengesampingkannya". Sebelum AS ikut Konvensi Hak Cipta Sejagat negeri itu membuat perjanjian bilateral dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan resiprositas dengan negara-negara yang menjadi anggota Konvensi Bern. Beberapa perjanjian bilateral antara AS dan negara-negara lain masih tetap penting sekarang ini. Prancis menandatangani persetujuan-persetujuan bilateral yang mengatur masalah hak cipta dengan banyak negara. Banyak persetujuan bilateral dengan negara lain ditandatangani Jerman Barat, termasuk dengan Peru, Yunani, Mesir, Sri Lanka, dan Pakistan. Perjanjian khusus bagi perlindungan hak cipta dan milik perindustrian ditandatangani dengan Iran dan Islandia, dan perlindungan hak cipta bagi reproduksi bunyi dengan Meksiko. Banyak persetujuan bilateral ditandatangani Spanyol dengan negara-negara Amerika Latin, Austria, Italia, dan negeri-negeri lain. UUHC Soviet meliputi perlindungan karya pengarang asing yang semula diterbitkan di luar negeri atas dasar persetujuan sejagat. Demikianlah, tiap negara memilih jenis perlindungan hak cipta. Pilihan itu bergantung pada kebijaksanaan budaya dan kondisi ekonomi, sejarah, hukum, serta kepribadian negara itu. Tampak bahwa kita dapat menandatangani perjanjian bilateral dengan memilih dengan negara mana kita menghadapi masalah perlindungan hak cipta. Dengan Amerika Serikat, misalnya, kepentingan kita yang ditentukan oleh kedudukan kita sebagai pengimpor ilmu pengetahuan dan teknologi lewat buku-buku dan kedudukan AS sebagai pengekspor, tentu, menjadi bahan pertimbangan dalam kita mempersiapkan persetujuan bilateral itu. Demikian pula pertimbangan dalam hal perlindungan terhadap kaset, tentu berdasarkan kepentingan kita. Kesamaan bahasa merupakan satu faktor yang harus dipertimbangkan pula. Negara-negara yang mempunyai kesamaan bahasa juga menghadapi masalah hak cipta yang sama seperti kita menghadapi Malaysia. Misalnya kesamaan bahasa telah menimbulkan masalah antara Prancis dan Swiss, antara Amerika Serikat dan Inggris, serta antara Spanyol dan negara-negara Amerika Latin, kecuali Brazil. Karena itu, rencana mengadakan perjanjian bilateral dengan Malaysia karena diberitakan 250 judul buku dibajak, patut dijadikan langkah awal mengikat perjanjian bilateral dengan negara-negara lain menurut kepentingannya -- sebelum Indonesia mengikat diri dalam konvensi internasional. AZHAR BACHTY Jalan Kebon Sirih 40, Flat 29/30 Jakarta Pusat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus