BABAK panjang peristiwa Surabaya sementara sudah selesai. Seperti sudah diduga, para terdakwa pelaku peng aniayaan pembantu -- sering disebut kasus Kapasan dan Dharmahusada -- masing-masing dijatuhi hukuman berat. Pengadilan Negeri Surabaya, Sabtu dan Senin lalu menghukum mereka dengan 12-16 tahun Publik yang hampir tiap sidang memenuhi gedung pengadilan, bertepuk tangan ketika majelis hakim membacakan vonis. Suatu vonis yang oleh banyak pihak dinilai lebih berpihak pada opini masyarakat, dibanding dengan pertimbangan hukum semata. Sungguh, ini suatu proses hukum yang terbilang cepat. Persis tiga bulan setelah tanggal lolosnya Irah, pembantu di Jalar Kapasan itu -- dan kemudian melaporkan nasibnya -- keluarga majikan yang menganiayanya divonis pengadilan. Perhatian aparat keamanan yang berlebihan pada saat awal -- sampai merasa perlu menyatakan "siaga satu" -- disambut pula dengan sidang semimaraton oleh para hakim, yang sempat pula disorot kamera televisi, kejadian yang termasuk jarang. Jaksa pun tidak segan mencantumkan angka maksimal yang dimungkinkan. Yakni 16 tahun (vonis tetap 16) untuk The Hoer Hoen, penganiaya utama Irah. Harman Hartanto, suami The Hoen Hoen, dituntut 5 (vonis menjadi 14). Sebegitu pula tuntutan buat suami-istri Suseno Kurniawan dar Yuliana Muntu, warga Jalan Dharmahusada yang juga menganiaya dua pembantunya Markamah dan Windarti. Sedang yang agak ringan adalah tuntutan buat Ny. Sulastri, mertua Suseno, yaitu 12 tahun, dan buat kedua anak Harman, yang masing-masing kena 7 bulan. Suatu tuntutan yang, menurut istilah Jaksa M.S. Rahardjo, cukup adil sebagai tuntutan perkara yang dikategorikannya berskala nasional. Vonis ternyata tak bergeming dari tuntutan, keuali pada diri Harman, yang mendapat kemurahan setahun dari tuntutan. Upaya lain di luar persidangan, seperti membayarkan hak pembantu -- misalnya setelah gaji yang bertahun-tahun tak diberikan -- tak mengurungkan hakim untuk menghukum berat. Irah, misalnya, kini telah mendapatkan uang dari majikannya Rp 1 juta lebih. Permintaan maaf di dalam dan di luar persidangan pun tak berpengaruh. Sementara itu, para pembela tampak menahan diri -- tak terlalu lantang meminta agar perkara ini benar-benar diletakkan sebagai perkara pidana biasa, tanpa mengaitkan dengan soal rasial. Semua itu makin memojokkan terdakwa sehingga, menurut para hakim, "Tak ada hal yang meringankan kecuali terdakwa belum pernah dihukum," sementara hal yang memberatkan tersusun sampal sepuluh macam. Bahkan, kata jaksa, sumpah setia terdakwa pada tanah air Indonesia, Pancasila, dan UUD '45, pada saat mereka mau masuk menjadi WNI, "hanyalah sumpah palsu". Penasihat hukum protes. Secara tegas dikatakan bahwa perkara para terdakwa adalah perkara pidana biasa. "Bukan perkara subversi." Seperti kata Faruk Aladetta, salah seorang penasihat hukum perkara Dharmahusada, harus dihindarkan pencampuradukan antara pertanggungjawaban pidana dan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politis. Juga harus dihindarkan pengaruh-pengaruh nonyuridis. Apa yang dibeberkan jaksa, ditegaskan oleh penasihat hukum lainnya, Trimoelja Soerjadi, "tidak wajar dan tidak proporsional." Tidak hanya itu. Para penasihat hukum pun malah tak mengerti mengapa vonis akhir mengesampingkan begitu saja upaya mereka meyakinkan hakim tentang beberapa hal seperti umur yang masih muda serta menyesali perbuatan -- yang sebenarnya bisa meringankan terdakwa. "Hukuman maksimal bagi terdakwa, diakui atau tidak, erat kaitannya dengan perasaan anti-Cina yang laten di masyarakat kita," kata Trimoelja. Tapi begitulah. Putusan akhir pengadilan, ternyata, memang lebih berpihak pada tuntutan rasa keadilan masyarakat, kendati Monang Siringgo-ringgo, salah seorang hakim, kepada TEMPO mengatakan, "Putusan kami terlepas dari pengaruh siapa pun. Kami mandiri." Monang, yang juga humas pengadilan, menegaskan, hukuman yang dijatuhkan bagi para terdakwa, "Setimpal dengan perbuatannya." Jika dianggap. berat atau ringan, itu terserah masyarakat. Ia membantah adanya pihak yang menekan para hakim. Namun, Hungudidjojo, hakim yang mengadili The Hoen Hoen, kepada Saiff Bakham dari TEMPO mengaku gelisah. Hanya beberapa saat sebelum ia membacakan putusan, muncul surat kaleng ke alamatnya. Surat dari orang yang menamakan dirinya Abdul Hafid, sarjana hukum, dari Organisasi Mahasiswa Islam Indonesia, OMII, itu bernada ancaman. Anak juga istrinya akan diculik dan diperkosa apabila Hungudidjojo menghukum terdakwa kurang dari 16 tahun. Hanya saja tidak dijelaskan apakah hukuman 16 tahun yang memang ia jatuhkan kemudian karena ancaman tersebut. Tapi, seperti yang ditegaskan Monang Siringgo-ringgo, hukuman maksimum dimaksudkan, "Supaya di masyarakat kita tidak terulang perbuatan seperti yang dilakukan terdakwa." Sekaligus, katanya, agar masyarakat bisa memperlakukan pembantu sebagai anggota keluarga sendiri. Ini, katanya, merupakan pertimbangannya yang mendasar, "daripada harus mempersoalkan hal-hal yang tidak proporsional." Pangdam V Brawijaya, Mayjen Saiful Sulun, kepada TEMPO mengatakan, "Saya kira, sudah mendekati keadilan yang diharapkan masyarakat." Ia masih melihat perkembangan situasi. Kalau masyarakat tenang, menurut Saiful Sulun, artinya masyarakat menerima. "Kalau menurut saya, terpenuhi," katanya tentang vonis bagi para terdakwa. Dan pengadilan pun mengakhiri persidangannya dalam suasana yang tidak lagi gemuruh. Dan sesuai dengan ketentuan, para terpidana itu pun naik banding. Adakah di tingkat kasasi vonis itu akan berkurang, seperti yang selama ini terjadi pada kasus-kasus pengadilan serupa? Tentu saja harus ditunggu selesainya proses banding itu. Namun, yang jelas, pengalaman menunjukkan, vonis pengadilan di tingkat berikutnya sering berkurang. Misalnya kasus penganiayaan pembantu yang diperiksa oleh Pengadilan Negeri Blitar, Mei lalu. Ny. Hartati, 50, istri pensiunan polisi, yang menyiksa Sumiati, pembantunya, sampai mati, vonisnya dari 18 tahun di tingkat banding menjadi 15. Sumiati yang malang itu ditemukan mengambang di dalam sumur. Begitu juga Sucianto di Sragen yang menganiaya pembantunya, Kasinem, sampai meninggal, divonis mati oleh majelis hakim yang memeriksanya di tengah luapan emosi masyarakat. Sedangkan Susana, istri Sucianto, kena 20 tahun penjara. Tapi, di tingkat Mahkamah Agung, hukuman untuk suami-istri itu berubah menjadi masing-masing hanya 8 dan 7 tahun. Laporan Biro Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini