POLISI kini kembali dalam sorotan. Sorotan itu muncul terutama di sekitar kematian Dice. Ada suara-suara yang beredar di masyarakat, misalnya, yang menyangsikan: apakah benar polisi telah berhasil menangkap pembunuh sebenarnya. Ada yang menduga, tertangkapnya pelaku, yang kini disebut-sebut, hanyalah skenario buatan polisi. Tapi begitu parahkah wajah polisi kita? Citra polisi, dan kepercayaan masyarakat padanya, itulah memang, pokok soal. Boleh jadi ini perkara laten, yang dihadapi siapa pun yang menjadi kapolri. Tak terkecuali Kapolri Letjen Mochamad Sanoesi, yang baru enam bulan menduduki kursi paling tinggi di jajaran kepolisian itu. Sanoesi, 51, dilantik bersamaan dengan Letjen Try Sutrisno sebagai KSAD. Ia memang tergolong generasi baru ABRI, yang kini menduduki posisi puncak. Ayah tiga anak ini lulus PTIK tahun 1962. Ia sempat menjadi Askamtibmas Kasum ABRI, kemudian diangkat menjadi Kapolda Ja-Teng dan DIY. Hanya setahun kurang sepuluh hari ia di Semarang, kemudian dilantik Presiden Soeharto menjadi kapolri. Gemar makan durian dan bermain tenis, Sanoesi berkata, "Karena ulah beberapa oknum, atau nila setitik, rusaklah seluruh citra Polri." Tak berarti ia menutupi kelemahan jajarannya. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu mencanangkan bahwa Polri bertekad membenahi diri. Dengan terus terang ia mengatakan, "Mawas diri perlu dilakukan dalam mengukur kadar pengabdian dan tingkat pengorbanan yang telah dipersembahkan kepada bangsa dan negara." Bahkan, di hadapan kepala kepolisian wilayah hingga resort se-Jawa Barat, awal November silam, dengan lugas Kapolri menilai, "Di bidang pelayanan kepada masyarakat, tampaknya, kita menjadi semakin jauh dari motto perjuangan kita sendiri, yaitu Tribrata." Tribrata adalah motto Polri, yang intinya: Polri sebagai abdi utama bangsa dan negara, Polri sebagai warga negara teladan, dan Polri berkewajiban menjaga ketertiban pribadi rakyat. Apa yang mendorong Kapolri mengeluarkan semua pernyataan itu? Tindakan apa saja yang akan diambilnya untuk memperbaiki citra polisi? Dalam wawancara khusus sekitar satu jam, Kamis pekan lalu, dengan lapang hati Kapolri menjawab pertanyaan Mohamad Cholid dari TEMPO. Berikut petikannya: "Pimpinan Polri sepenuhnya memahami hal-hal yang terjadi dalam tubuhnya. Misalnya pungli di jalan raya. Kami bertekad untuk menekan sekecil mungkin tindak penyimpangan segenap anggota. Sebab, setiap bentuk penyimpangan, betapapun sepelenya, jelas bertentangan dengan naluri Tribrata. Tapi penyimpangan itu harus dilihat dalam proporsi yang tepat. Mempertanyakan beberapa akibat yang timbul, tanpa memahami latar belakangnya, dapat memperluas polemik soslal yang berkepanjangan, yang bersumber pada kesalahan penafsiran belaka. Ancaman yang kita hadapi semakin kompleks. Ini akibat kemajuan ilmu dan teknologi, dan juga pembangunan nasional. Polri, kecuali sebagai alat negara, penegak hukum, dan sebagai kekuatan utama kamtibmas, jelas harus pula bisa mengatasi setiap gangguan kamtibmas akibat kemajuan itu. Tapi, selain tugas-tugas itu, Polri pun harus mampu mengamankan jalannya pembangunan beserta hasil-hasilnya yang multidimensional. Masyarakat perlu tahu, gangguan kamtibmas bisa terjadi kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan terhadap siapa saja. Polri jelas tidak mungkin menjaga tiap individu masyarakat Indonesia -- satu orang oleh satu polisi. Sementara itu, jumlah polisi saat ini sekitar 150 ribu, jelas belum ideal untuk sekitar 160 juta penduduk. Karena itu, dengan mawas diri, tingkat pcngabdian Polri selama ini kiranya belumlah mencapai tingkat pemerataan sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Ada penyimpangan-penyimpangan peri laku sementara anggota Polri, tapi bukanlah berarti pimpinan Polri tidak tahu -- atau membiarkannya." Penyimpangan karena dorongan materi yang kuat? Seperti warga negara lainnya, anggota polisi juga menghadapi tantangan dan godaan yang bersumber dari kemajuan lahiriah yang dicapai pembangunan nasional. Dan sebagai manusia juga tidak terlepas dari tuntutan dan harapan akan kehidupanan lebih baik, lebih layak, dan seterusnya. Kalau orang lain ingin anaknya sekolah, anggota polisi juga demikian. Pimpinan Polri menyadari pengaruh kondisi sosial yang berubah cepat itu. Upaya kami, antara lain, melakukan pembinaan moral kejuangan kepada segenap anggota Polri dan keluarganya. Polri, dengan segala kewenangan yang diberikan oleh hukum dan perundang-undangan, harus mampu mengendalikan diri dengan baik. Kalau mau jadi polisi, ya, itulah yang harus dipilih -- tak ada tawar-menawar lagi. Di bagian mana penyimpangan ini paling rawan? Di Polantas? Saya tidak bisa merinci di bagian Polantas saja, misalnya. Di bagian mana pun juga, yang jelas, daerah-daerah rawan itu adalah yang ada hubungan langsung dengan masyarakat. Bisa di bagian lalu lintas, bisa reserse, dan seterusnya. Karena itu, penataran, pendidikan, dan penyegaran kembali semangat kejuangan tetap harus dltingkatkan. Untuk memperbaiki citra Polri itu, langkah apa lagi yang sudah atau akan diambil Kapolri? Kami tengah melakukan penertiban operasional dalam arti luas. Kecuali itu, juga mutlak dilaksanakan penertiban di semua aspek manajerial. Ini memang proses yang tak kunjung berakhir, yang membutuhkan kesungguhan, pengerahan sumber daya, dan tak kalah pentingnya partisipasi seluruh masyarakat untuk tidak mendorong polisinya berbuat hal-hal yang tidak wajar. Sebagai pelayan masyarakat, anggota Polri harus bersifat open (penuh perhatian), mau dan mampu bersikap etis. Dan, sebagai alat negara penegak hukum, ia harus mampu pula menjadi pemburu-pemburu kejahatan. Sebagai pengemban motto kejuangan Tribrata, hendaknya setiap anggota Polri tidak bersikap dumeh (mentang-mentang), misalnya, jangan dumeh bersenjata. Dalam pembenahan ke dalam ini, ada prinsip satu lagi, yakni Trilogi ABRI: disiplin, hierarki, dan kehormatan prajurit. Kapolri pernah menyebut, pimpinan satuan, misalnya, tak tahu lagi inventaris kesatuan. Kepala gudang tak tahu lagi inventaris dinas yang di gudang. Mengapa itu terjadi? Kelemahan administrasi atau memang ada yang sengaja mencurinya? Seperti diketahui, peralatan Polri tak hanya yang bersifat mobile. Tapi juga yang tak bergerak, seperti rumah dinas dan asrama. Sesuai dengan perkembangan pembangunan nasional, dan kekhususan tugas-tugas Polri menghadapi ancaman yang berkembang dinamis, peralatan itu pun bertambah, baik dalam jumlah maupun jenis. Tapi pengadministrasiannya masih dilakukan secara manual. Saya menyadari bahwa ada komputer yang mampu merekam dengan tepat. Tapi harganya mahal. Dalam hal anggaran ini, saya memakai prinsip dari Pangab, yang mengatakan bahwa berapa pun biaya yang diberikan pemerintah, itulah yang kita kelola. Dalam pada itu, sebenarnya, pengurusan di bidang apa pun harus dilakukan secara bcrkeahlian dan berketerampilan. Termasuk dalam hal personel yang mengawaki alat-alat utama Polri itu. Padahal, petugas-petugas gudang yang berpengalaman, misalnya, sebagian besar sudah pensiun. Tenaga-tenaga baru, yang sudah dididik kejuruan logistik militer, masih memerlukan pembinaan lebih lan-jut. Tidak saja keterampilannya, tapi juga menjadikan mereka melu handarbeni (ikut memiliki) dan hangrungkebi (mengimankan). Jadi, tidak karena korupsi? Sejak saya menjadi kapolri, belum menemukan kasus korupsi. Dan kalau ada pelanggaran, tentu kami tindak sesuai dengan kadar pelanggarannya. Ada tendangan bebas saja, ada kartu kuning, dan kalau perlu kartu merah. Dari sekadar dipindahtugaskan, dari operasional ke non-operasional, sampai menghadapkannya ke pengadilan militer. Kapolri menyebut-nyebut ihwal kebijaksanaan optimasi dan dinamisasi. Maksudnya? Kebijaksanaan ini sebenarnya merupakan kesinambungan kebijaksanaan kapolri-kapolri sebelumnya. Optimasi di sini menunjuk kepada suatu kualitas pengabdian terbaik, dalam berbagai keterbatasan yang dihadapi Polri, baik sekarang maupun di masa depan. Optimasi di bidang pokok, baik pelayanan maupun pengayoman masyarakat, hanya bisa dilakukan kalau tugas-tugas Polri digiatkan secara dinamis. Dinamis dalam arti sesuai dengan perkembangan lingkungan, dengan tuntutan dan harapan masyarakat yang meningkat. Contohnya pengelolaan SIM dan STNK, yang menyangkut pelayanan masyarakat. Kalau ketentuannya satu minggu selesai, ya, harus rampung. Kalau ada laporan telepon kecurian, misalnya, maka polisi harus secepatnya datang ke lokasi. Atau jika memanggil orang untuk didengar keterangannya, segera harus dilayani. Jadi, bukan diminta datang pukul 7, baru didengar pukul 12. Tapi masih luas terdengar keluhan masyarakat. Bahkan orang yang kecurian enggan melaporkannya pada polisi. Sebab, melaporkan malah bertambah repot. Repotnya kenapa? Apakah terlalu lama pengurusannya ataukah kehilangan kambing malah jadi sapi yang lenyap? Kalau memang begitu halnya, ya, itu berarti polisi belum memberikan pelayanan yang baik. Maka, perlu dioptimasikan. Dalam hal apa lagi yang kini mendesak ditingkatkan? Semua bidang tugas polisi, pada dasarnya, sama pentingnya, dan sama strategisnya. Tapi skala prioritas memang harus dibikin. Namun, karena masyarakat senantiasa mengukur keberhasilan polisi di lapangan, maka prioritas tentunya diarahkan kepada optimasi dan dinamisasi tugas-tugas reserse, polantas, binmas, dan puskodalops (pusat komando pengendalian operasi). Dalam kasus pembunuhan Dice, misalnya. Banyak suara negatif beredar. Apa tanggapan Kapolri? Semua itu masih dalam penanganan polisi. Saya mengimbau seluruh masyarakat, percayakanlah penyelesaiannya kepada polisi. Hendaknya masyarakat jangan meracuni dirinya dengan isu-isu, dari mulut ke mulut. Yang paling benar dalam kasus Dice ini adalah: penyelesaian di pengadilan nanti. Sudah saatnya kini, seluruh masyarakat, termasuk anggota polisi, membersihkan hati nurani masing-masing dari perasaan dengki, curiga, dan berpikir apriori. Dalam hidup ini hendaknya, kita semua, bersikap fastabiqul khairat -- berlomba-lomba berbuat kebaikan ketimbang memasyarakatkan hal-hal yang tidak baik. Misalnya meng-kuyo-kuyo (memojokkan) Pak Suwoto Sukendar, dan lain-lain ... (lihat Kriminalitas).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini