SAYA kurang mengerti alasan pemerintah dalam menetapkan tidak
diliburkannya dalam bulan puasa sekolah-sekolah di Indonesia --
dengan memperbandingkan dengan negara-negara Arab. Entah
kebetulan atau sengaja mengapa alasan seperti itu justru
dikemukakan dalam hal-hal yang kurang berkenan di hati umat
Islam Indonesia, seperti persoalan kasino dan nightclub yang
dulu pernah dihubungkan dengan negara Arab Libanon -- yang
pemerintahannya dipimpin seorang Kristen?
Sebaliknya, dalam hal-hal yang dianggap positif bagi umat Islam
di Indonesia, umat Islam selalu dihimbau untuk tidak terpengaruh
oleh negara-negara Arab atau negara-negara Islam lain.
Arab memang tidak identik dengan Islam. Bahkan dalam beberapa
hal Islam di Indonesia perlu dicontoh oleh negara-negara Arab.
Siapa tahu umat Islam Arab merasa iri terhadap umat Islam di
Indonesia yang keadaan iklimnya memungkinkan untuk meliburkan
sekolah setiap bulan puasa, berbeda dengan iklim di
negara-negara Arab yang memaksakan liburan sekolah pada musim
panas (shaif) selama tiga-bulan (Juni, Juli, Agustus) mengingat
ketinggian temperatur di atas 40ø.
Malahan saya lebih bisa mengerti alasan tidak diliburkannya
sekolah di Indonesia pada bulan puasa dihubungkan dengan sekedar
memberi kesempatan berziarah ke kuburan -- jika alasan tersebut
dikemukakan oleh orang yang faham Islamnya masih sesempit itu.
Kekhawatiran saya, cara-cara seperti ini (mencontoh Arab) hanya
akan mengundang umat Islam ikut-ikut lari ke negara-negara Arab
dalam hal-hal yang kurang berkenan di hati pemerintah. Lebih
berbahaya jika sampai lari ke Iran, yang jaraknya lebih dekat.
Saya juga kurang tahu, di bawah wewenang siapakah sebenarnya
ketetapan liburan bulan puasa: Menteri P dan K atau Menteri
Agama atau kedua-duanya. Dilihat dari liburan sekolahnya, memang
Menteri P dan K. Tapi dilihat bulan puasanya, saya rasa ada
hubungannya dengan Kementerian Agama. Barangkali, kalau
keputusan tersebut merupakan keputusan bersama Menteri P dan K
dan Menteri Agama, atau setidak-tidaknya tercermin keterlibatan
Menteri Agama, saya tidak perlu menulis seperti ini.
A. HAMBALI MAKSUM
Cornelis Houtmanstraat 66,
Den Haag, Holland.
Sebaiknya Tuan Pastor drs. J.C. Tarunasayoga (Komentar TEMPO 16
Juni) jangan ikut-ikut ngomonglah. Sebab saya kira bukan sekedar
soal puasa itu sendiri yang menjadi masalah. Setidak-tidaknya
suatu kaitan dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Tetapi maaf Tuan Pastor, saya tidak ingin "perang pena". Hormat
saya!
Izinkan saya meng-appeal Menteri P & K, barangkali ada
manfaatnya. Sekitar 1970/71 s/d 73/74, saya menjadi guru honor
di SMA Negeri Donggala -- mengajar 3-4 mata pelajaran al.
fisika, matematika dan sejarah, di samping tugas Dewan Guru
sebagai Bagian Keamanan (karena kenakalan anak-anak) dan
penghubung informil dengan wali murid. Alhamdulillah sejak
priode saya itu SMA Negeri tersebut mulai agak baikan terutama
prosentase jumlah lulus.
Murid saya banyak yang cerdas. Anehnya, justru yang cerdas itu
kebanyakan yang nakal dan tidak menghiraukan peraturan sekolah
(misalnya nonton bukan pada malam minggu) dan melanggar
peraturan orangtua (misalnya bagadang). Sedikit yang "alim" --
tentu mereka inilah yang selalu dijadikan "model" oleh
guru-guru. Berkenaan dengan Kebijaksanaan Menteri P & K
tersebut, saya rada pesimis: "yang dikejar belum tentu dapat,
yang dikandung pun belum tahu apa!"
Nampaknya untuk mengejar keterbelakangan kita, di bidang ilmu
pengetahuan waktulah yang menjadi kambing hitam. Padahal dengan
tidak mengecilkan yang lain, banyak guru tidak mampu menterapkan
pedoman kurikulum P&K kepada anak didiknya, melalui dirinya
Contoh: SMA Pas-Pal masih terbagi dua. Ada bagian yang
mempelajari fisika menitikberatkan teori/dalil. Ada bagian yang
menitikberatkan hitungan. Seorang guru yang tidak tepat mengenal
pembagian ini di sekolahnya, bisa terjadi penyilangan. Akibatnya
murid juga yang korban. Ini terus terang berujung suatu kritik,
bahwa justru IKlP/sederajat sebagai produsen (yang lalu itu)
ternyata sedikit berhasil melahirkan calon guru yang ideal.
Bahkan "keadaan" yang kita lahirkan bersama sangat tidak
memungkinkan munculnya guru-guru ideal itu.
Untuk mengejar keterbelakangan kita, menurut hemat saya yang
penting meningkatkan ketrampilan secara pribadi calon-calon guru
kita, terutama akhlak sebagai pendidik. Tetapi tidak kalah
pentingnya sikap kita semua terhadap pendidikan, termasuk
kesejahteraan moril-materil guru. Apa yang kita capai selama
Pelita I/II memang menggembirakan. Tetapi pergilah ke desa: akan
mudah dibandingkan sarana dan fasilitas pendidikan di zaman
penjajahan (Belanda) -- masih lebih tertib kalau tidak bisa
dikatakan baik. Rupanya pendidikan ini memerlukan sekali
ketertiban. Jauh-jauh kita meraih, bisa titian patah di bawah.
Entah siapa pula yang hancur.
Apa sebenarnya yang kita kejar?
A. MANSOER
(Alamat pada Redaksi).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini