Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pertemuan Bali & Pengungsi Vietnam Unjuk Gigi Saja, Tak Usah Omong

Konperensi Menlu Asean ke-12 di Bali menuding Vietnam sebagai biang keladi dari situasi yang memburuk di Asia Tenggara. Dan memutuskan tidak lagi menerima para pengungsi. (nas)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG rekannya dari Asean pernah bertanya padanya. "Raja, mengapa anda selalu ngomong gede dan galak?". Jawab Menlu Singapura Sinathamby Rajaratnam: "Karena Singapura kecil. Kalau saya tidak bicara besar, tidak seorang pun yang akan mendengarkan suara Singapura." Pekan lalu Menlu Rajaratnam membuktikan ini. Setibanya di lapangan terbang Ngurah Rai di Bali untuk menghadiri Konperensi Menlu Asean ke 12, Menlu Singapura itu mengatakan: "Vietnam telah mengumumkan perang dengan melakukan intervensi militernya di Kampuchea. Asean memang merasakan adanya ancaman Vietnam dan Asean harus siap mengambil langkah apapun menghadapi perang ini." Menurut Rajaratnam, konperensi Menlu Asean kali ini harus menentukan apakah Vietnam itu kawan atau lawan. Apakah Vietnam mengingini perang atau damai di Asia tenggara. Untuk menghadapi ini, Asean perlu bantuan militer maupun keamanan dari negara-negara besar non-komunis atau kawan lain. "Bantuan itu bisa berupa perlengkapan militer sampai persetujuan militer sekalipun," ujar Rajaratnam. Pernyataan Rajaratnam ini scgera saja merebut tempat utama dalam pemberitaan berbagai koran. Dan Konperensi Menlu Asean ke 12 di Pertamina Cottages Bali 28 - 30 Juni lalu segera saja dipayungi bayangan pernyataan Rajaratnam. Tapi betulkah Asia Tenggara sekarang berada di awal jalan yang hanya bercabang dua: perang atau damai? Betulkah suasana sudah sedemikian gawat hingga Asean perlu tegas-tegas bersandar pada kekuatan seorang kawan pelindung? Apakah Singapura hanya melihat momok di siang bolong? Atau apakah Rajaratnam berbicara keras agar Singapura diperhatikan dunia? Sidang tahunan Menlu Asean kali ini memang sangat berbeda dengan sidang tahun-tahun sebelumnya. Para Menlu Asean bertemu di tengah suasana mendung yang membentang di kawasan Asia Tenggara. Perang di Kamboja terus berkepanjangan. Lebih 200 ribu pengungsi Kamboja mengalir ke wilayah Muangthai. Vietnam dikabarkan telah mengerahkan sekitar 180 ribu pasukannya ke dekat perbatasan Kamboja-Muangthai. Tersebar pula desas-desus tentang k,emungkinan serbuan Vietnam ke Muangthai. Sementara itu kekhawatiran lain mencekam Asean. Gelombang pengungsi keluar Vietnam makin deras beberapa bulan terakhir ini. Jumlah pengungsi yang ditampung negara ketiga sangat kecil sedang arus pengungsi makin membesar. Tidak terlihat kesungguhan pemerintah Vietnam menghentikan arus ini. Malah tambah jelas tanda gelombang pengungsian didorong pemerintah Vietnam sendiri. Usaha untuk mengusir kembali pengungsi ini ke laut bebas, terutama yang dilakukan Indonesia, kurang berhasil. Malahan nampaknya terjadi "ketidakcocokkan" antara Indonesia dan Malaysia gara-gara masalah pengungsi ini. Indonesia merasa, membengkaknya jumlah pengungsi yang mendamparkan diri ke Riau beberapa minggu terakhir ini terutama akibat ulah patroli Malaysia yang mendorong tiap perahu yang masuk ke arah perairan Indonesia. Hal inilah yang kabarnya akan dibereskan dengan suatu penandatanganan Memorandum of Understanding antara Menlu kedua negara di Jakarta, 9 Juli mendatang. Akan disetujui antara lain dalam mengusir kembali pengungsi yang masuk ke suatu negara, janganlah hal ini sampai merugikan kepentingan negara tetangganya. Kemudian mulai timbul rencana-rencana keras: mengusir kembali pengungsi yang sekarang sudah ditampung dan menghalau pengungsi baru yang ingin masuk, kalau perlu dengan menembaki mereka. Gagasan ini rupanya telah mengejutkan dunia internasional. Dan akibatnya masalah pengungsi Indocina segera saja jadi masalah dunia. Inggeris memelopori dengan menyerukan diadakannya suatu konperensi internasional di bawah pengawasan PBB untuk membicarakan masalah pengungsi ini. Dan di Bali hadir Turkmen, utusan khusus Sekjen PBB. Sidang Menlu Asean di Bali juga diberi warna dan bobot lain dengan kehadiran para Menlu Amerika Serikat, Jepang, Australia dan Selandia Baru serta Presiden Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang mengadakan pertemuan terpisah dengan rekannya dari Asean. Rupanya tujuan semula kedatangan mereka untuk menyampaikan hasil KTT Negara Industri di Tokyo telah luntur oleh menonjolnya masalah pengungsi ini. Lebih lagi, KTT Tokyo bahkan telah mengeluarkan suatu pernyataan khusus tentang pengungsi -- pertanda kian gawatnya masalah. Selesai acara pembukaan, disusul dengan pidato para Menlu -- yang diketuai Rajaratnam dengan pengulangan sikap kerasnya selama 75 menit -- para delegasi meneruskannya dengan sidang tertutup. Apa saja yang dibicarakan mereka? "99% yang dibahas adalah perkembangan di Asia Tenggara dan masalah pengungsi," cerita seorang diplomat Indonesia. Atas permintaan sidang, Menlu Muangthai Upadit Pachariyangkun telah menjelaskan situasi di perbatasan Muangthai-Kamboja. Dilaporkannya: belum bisa dikatakan bahwa Vietnam dengan kelompok Heng Somrin telah berhasil menguasai seluruh Kamboja. Datangnya musim hujan dalam waktu dekat ini akan mempersulit Vietnam menggunakan alat perang modern mereka, dan tiba kesempatan bagi pasukan Khmer Merah untuk melancarkan balasan. Debat sengit kabarnya telah terjadi antara Filipina dan Singapura. Suara keras Rajaratnam telah membuat Menlu Filipina Carlos Romulo naik pitam. "Apakah kita harus berperang? Apakah klta siap dan mampu?". Rajaratnam menjelaskan, bukan maksudnya untuk mengumumkan perang dengan Vietnam. Perang bisa memakai bermacam senjata. Dan arus pengungsi yang sengaja diusir oleh pemerintah Vietnam menurut Menlu Singapura ini merupakan "serangan pertama". Vietnam telah menggunakan mereka sebagai "bom manusia". Mengapa Singapura bersuara keras? Vietnam, kata Rajaratnam dalam pidato pembukaannya, mengikuti Lenin. Salah satu ajarannya mengatakan: "Musuh harus selalu dijajagi dengan tusukan bayonet. Jika bertemu dengan baja, mundur. Tapi tusuk terus bila itu bubur. Dan Vietnam akan segera tahu, Asean itu baja atau bubur." Masalah pengungsi bukan masalah kemanusiaan, tapi merupakan latihan militer Vietnam dalam rangka mewujudkan ambisinya menguasai Asia Tenggara. "Tiap perahu sarat dengan pengungsi yang dikirim ke pantai kita adalah bom untuk mengganggu, mengacaukan dan untuk menimbulkan keresahan dan pertentangan antara negara Asean. Ini adalah awal dari suatu serangan untuk membuka jalan bagi genjotan terakhir. Vietnam menginginkan kita dan dunia terkecoh dengan menyamarkannya sebagai masalah kemanusiaan. Dan mereka boleh disebut berhasil dengan membuat kita buta pada kenyataan ini." "Bisa saja Singapura ngomong begitu. Mereka kan negara kecil yang tidak terganggu masalah pengungsi. Mereka tidak rugi apa-apa," komentar seorang pejabat Indonesia. Ia menunjuk kenyataan: Singapura malahan memperoleh keuntungan dari masalah pengungsi ini. Misalnya UNHCR membeli semua perlengkapan yang perlu di Singapura. Tentang usaha Singapura mengajak Asean agar bersikap keras menghadapi Vietnam, Sekjen Asean Datuk Ali bin Abdullah berujar: "Asean kan lima, bukan hanya Singapura." Asean memang terdiri dari lima negara. Dan mempertemukan lima pendapat yang berbeda rupanya cukup sulit. Ini yang menyebabkan tertundanya waktu penutupan sidang sampai 6 jam. Perumusan pernyataan bersama yang semula telah beres pada tingkat panitia perumus, mentah kembali begitu dibawa ke sidang tingkat Menlu yang berlangsung Sabtu pagi dan petang. Tapi semua negara Asean kali ini sepakat untuk bersuara lebih keras dan "unjuk gigi". Dan menuding Vietnam sebagai biang keladi dari situasi yang memburuk di Asia Tenggara. Bila dalam pernyataan bersama setelah penyerbuan Vietnam di Kamboja di Bangkok 13 Januari lalu para Menlu Asean menghindar menyebut nama Vietnam dan hanya menyebut "kekuatan asing", di Bali para Menlu lebih beringas. Sekalipun pada mulanya Malaysia berkeberatan, pernyataan bersama 56 pasal Menlu Asean antara lain menyatakan dukungan pada hak rakyat Kamboja mempertahankan eksistensi mereka -- "lepas dari campur tangan Vietnam dan kekuatan asing lain." ASEAN bahkan juga menegaskan: peningkatan pertempurn di Kamboja atau masuknya kekuatan asing di Muangthai akan mempengaruhi langsung keamanan negara anggota Asean dan akan membahayakan keamanan dan perdamaian di kawasan ini. Dalam hal ini Asean mengulangi dukungan penuh dan solidaritas pada rakyat dan pemerintah Muangthai atau pada negara Asean lainnya dalam memelihara kemerdekaan, kedaulatan serta keutuhan wilayahnya. Para Menlu menyerukan Vietnam untuk menunjukkan sikap positifnya pada Muangthai dan negara Asean lainnya, dengan menrik mundur pasukannya dari perbatasan Muangthai-Kamboja. Mengenai pengungsi, para Menlu Asean menyetujui bahwa Vietnam bertanggungjawab atas mengalirnya pengungsi dan memegang peranan utama dalam upaya memecahkan masalah ini di sumbernya. Mereka menyesalkan sekali kenyataan bahwa Vietnam tidak mengambil langkah efektif untuk menyetop banjir ini. Asean juga menyatakan telah mencapai batas ketahanan mereka dan memutuskan untuk tidak lagi menerima pengungsi baru dan akan mengambil langkah tegas untuk mencegah terus mengalirnya pengungsi. Asean akan mengusir para pengungsi yang sudah ditampung dari barak mereka sekarang ini jika mereka tidak diterima oleh negara penampung atau diterima lagi oleh negara asalnya, Indocina. Akan dilakukan koordinasi antara Asean untuk menjalankan upaya ini. Para Menlu juga menyerukan masyarakat internasional untuk menekan Vietnam agar menghentikan arus pengungsi. Pengungsi yang keluar Indocina tetap menjadi tanggungjawab pemerintah negara yang bersangkutan. Pelaksanaan pengaturan keluarnya pengungsi secara teratur tidak boleh merugikan rencana pmukiman bagi para pengungsi yang sudah ada di negara-negara Asean. Asean seterusnya menyatakan kekecewaan atas usaha UNHCR (Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi) dan negara-negara penampung yang sangat tidak seimbang dengan membesarnya masalah ini. Apa arti semua pernyataan itu? Bahasa perang? Satu hal dapat disimpulkan: Asean sudah tidak sabar dan bosan mendengar janji-janji Vietnam. Asean juga kurang puas dengan sikap UNHCR dan negara-negara besar yang dirasa kurang serius mengurangi beban Asean. Menlu Muangthai Upadit yang biasanya tenang, tampaknya mewakili kekecewaan Asean ketika mengatakan: "Banyak orang, banyak negara berbicara tentang kemanusiaan. Tapi jika kami menyerukan 'Tolonglah kami' tidak banyak negara yang mau. Omongan mereka hanya tinggal di bibir saja. Jumlah bantuan yang diberikan sangat tidak berarti dibanding jumlah pengungsi yang masuk. Dan pengungsi ini muncul bukan akibat kemauan kita." Atau dengan istilah Menlu Mochtar Kusumaatmadja: "Kita semua telah berbuat segala apa yang secara kemanusiaan mungkin." Hadirnya Turkmen utusan khusus Sekjen PBB di Bali yang semula diharapkan dapat membantu ternyata mengecewakan. "Saya hanya bisa mengadakan konsultasi. Apa yang saya dapat dari Asean akan saya laporkan pada Sekjen PBB," katanya pada TEMPO. Di depan para Menlu, Turkmen menjelaskan tentang rencana suatu konperensi internasional yang bakal disponsori PBB. Tapi pihak Asean kecewa "Tujuan konperensi itu ternyata hanya untuk memperoleh janji bantuan keuangan yang lebih besar serta kesediaan menampung pengungsi lebih banyak, kata seorang diplomat Asean. "Buka untuk menanggulangi masalah pengungsi pada sumbernya. Kran keluarnya pengungsi ini tidak ditutup." Tapi Turkmen kabarnya juga meyakinkan Asean bahwa Vietnam sudah bersedia hadir dalam konperensi internasional ini, yang juga didukung Asean. Mungkin itu juga satu jalan. Namun Asean sendiri harus sepakat. Salah satu ganjelan utama Konperensi Menlu Asean adalah keinginan Singapura untuk memasukkan pasal perlunya Asean mencari dukungan negara besar untuk menghadapi Vietnam. Rajaratnam menjelakan "Asean sendiri tidak bisa menyelesaikan masalah ini." Karena yang dihadapi bukan Vietnam saja, tapi Vietnam yang didukung Uni Soviet. Negara Asean lain menentang keras usul Singapura ini karena itu bertentangan dengan konsepsi Asean untuk menjadikan Asia Tenggara daerah bebas dan netral. Kehadiran super power dianggap justru akan mengundang Vietnam "maju ke medan perang". Namun Rajaratnam bersikeras. Kehadiran super power di belakang Asean diperlukan guna mengimbangi kekuatan Uni Soviet di belakang Vietnam yang dirasa mengancam Asean. Sidang akhirnya secara konsensus memutuskan menolak mencantumkan pasal ini dalam pernyataan bersama. Kekecewaan Rajaratnam tampak sebegitu rupa hingga dalam konperensi pers Sabtu malam seusai sidang seorang wartawan menanyakan kepadanya: "Mengapa anda begitu tampak 'tidak bahagia'? " Menlu Singapura ini membantah "Saya bukannya tidak bahagia." Tapi ia mengakui "Saya kecewa. Bukan karena pernyataan bersama itu, saya setuju dengan itu. Saya kecewa karena menurut pendapat saya pernyataan itu seharusnya lebih keras dari itu." Menurut Rajaratnam bisa jadi para Menlu yang lain benar, "Tapi hanya kenyataan nanti yang bisa membuktikan." Memang kenyataan yang nanti akan membuktikan. Sejak semula Singapura memang menginginkan agar Asean bersikap keras dan tegas pada Vietnam. Tapi tampaknya negara Asean lainnya lebih suka membiarkan pintu masih terbuka buat Vietnam. Umumnya negara Asean masih memandang suatu Vietnam yang benar-benar merdeka perlu untuk menjaga RRC yang masih dipandang lebih berbahaya. Mungkin ini yang dimaksud Menlu Mochtar Kusumaatmadja ketika 3 minggu lalu mengatakan pada TEMPO: "Kita tidak keberatan melihat suatu Vietnam yang kuat. Tapi kita tidak ingin melihat an adventourous Vietnam." Mengapa saluran ke Vietnam tetap dibuka? "Karena tanpa Vietnam penyelesaian masalah ini tidak akan bisa," jawab Menlu Mochtar. "Justru di sinilah letaknya bahaya pernyataan keras seperti yang diucapkan Menlu Rajaratnam sebab itu bisa menyebabkan Vietnam lepas tangan," tambahnya. Hasil-hasil konperensi telah diumumkan. Pernyataan demi pernyataan telah diucapkan. Hasilnya? Apakah Vietnam bisa diharapkan akan mendengarkan seruan yang diputuskan di pantai Kuta, Bali itu? Perlu diingat dulu seruan yang serupa -- dalam nada yang lebih lunak-tenggelam tanpa bekas bagai batu kecemplung kali. "Yang penting Asean telah mengeluarkan suatu common stand (sikap bersama). Bahwa pengungsi merupakan bahaya. Dan bahwa Asean telah menunjukkan diri bersatu dan mempunyai solidaritas." "Asean harus memobilisir pendapat dunia untuk menekan Vietnam," tutur seorang diplomat Indonesia. Kemudian? "Semua ini nanti akan tergantung sampai di mana komitmen negara-negara besar pada keamanan Asean. Apakah bahaya terhadap keamanan Asean akan juga dipandang bahaya terhadap keamanan mereka," sambungnya. Pernyataan itu tampaknya tidak terlalu jauh dari suatu pengakuan tidak langsung, bahwa bagaimana pun juga Asean masih memerlukan payung negara-negara besar non-komunis bagi pertahanannya. Agaknya inilah alasan utama dari kehadiran para Menlu AS, Jepang, Australia dan Selandia Baru di Bali: untuk mendukung pernyataan sikap Asean mengenai masalah pengungsi dan keamanan di Asia Tenggara, dan secara tidak langsung menekan Vietnam dan Uni Soviet. "Sumber segala permasalahan ini adalah sengketa Vietnam-RRC. Kedua belah pihak menggunakan segala cara dalam pertentangan ini," kata seorang diplomat Indonesia di Indocina. Vietnam khawatir penduduk keturunan Cina di Vietnam akan bisa digunakan RRC sebagai kolone kelimanya. Uni Soviet di lain pihak membantu Vietnam, sekaligus menanamkan lebih dalam kukunya di negara ini. Peranan negara-negara besar, seperti AS dan Jepang, karenanya perlu, untuk "membujuk" RRC mengurangi tekanannya pada Vietnam. Dan di lain pihak, Uni Soviet juga diminta membujuk Vietnam. Apakah tidak ada harapan? Menlu Filipina Carlos Romulo melukiskan situasi Asia Tenggara seperti seorang yang terjun dari tingkat 64 Empire State Building. Melintasi tingkat demi tingkat, komentar penerjun ini: "Sejauh ini masih baik." Rajaratnam segera memanfaatkan lelucon ini. Asean menurut dia memang bagai orang yang terjun dari tingkat 64 itu. Ia mengharapkan dapat menjumpai kasur yang tebal dan empuk di bawah, karena tanpa ini tiada harapan baginya. "Saya harap teman-teman kita yang akan kita temui nanti (para Menlu AS, Jepang, Australia dan Selandia Baru red) akan bisa menyediakan kasur ini. Jika mereka tidak bisa membantu kita, tamatlah nasib kita." Lelucon-lelucon yang sebenarnya suram. Tapi kata terakhir tampaknya yang diucapkan Menlu Mochtar Kusumaatmadja: "Sejak pernyataan Bangkok, jumlah pengungsi makin naik. Tapi apakah kita panik? Apakah kita saling bertengkar sendiri? Apakah kita lari? Tidak!" Dengan kata lain, tak ada yang terjun dari tingkat atas ke bawah. Semua tetap tinggal. "Tak seorangpun yang bisa menjaga rumah kita lebih baik dari diri kita sendiri," kata Mochtar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus