SEORANG rekannya dari Asean pernah bertanya padanya. "Raja,
mengapa anda selalu ngomong gede dan galak?". Jawab Menlu
Singapura Sinathamby Rajaratnam: "Karena Singapura kecil. Kalau
saya tidak bicara besar, tidak seorang pun yang akan
mendengarkan suara Singapura."
Pekan lalu Menlu Rajaratnam membuktikan ini. Setibanya di
lapangan terbang Ngurah Rai di Bali untuk menghadiri Konperensi
Menlu Asean ke 12, Menlu Singapura itu mengatakan: "Vietnam
telah mengumumkan perang dengan melakukan intervensi militernya
di Kampuchea. Asean memang merasakan adanya ancaman Vietnam dan
Asean harus siap mengambil langkah apapun menghadapi perang
ini."
Menurut Rajaratnam, konperensi Menlu Asean kali ini harus
menentukan apakah Vietnam itu kawan atau lawan. Apakah Vietnam
mengingini perang atau damai di Asia tenggara. Untuk menghadapi
ini, Asean perlu bantuan militer maupun keamanan dari
negara-negara besar non-komunis atau kawan lain. "Bantuan itu
bisa berupa perlengkapan militer sampai persetujuan militer
sekalipun," ujar Rajaratnam.
Pernyataan Rajaratnam ini scgera saja merebut tempat utama dalam
pemberitaan berbagai koran. Dan Konperensi Menlu Asean ke 12 di
Pertamina Cottages Bali 28 - 30 Juni lalu segera saja dipayungi
bayangan pernyataan Rajaratnam. Tapi betulkah Asia Tenggara
sekarang berada di awal jalan yang hanya bercabang dua: perang
atau damai? Betulkah suasana sudah sedemikian gawat hingga Asean
perlu tegas-tegas bersandar pada kekuatan seorang kawan
pelindung? Apakah Singapura hanya melihat momok di siang bolong?
Atau apakah Rajaratnam berbicara keras agar Singapura
diperhatikan dunia?
Sidang tahunan Menlu Asean kali ini memang sangat berbeda dengan
sidang tahun-tahun sebelumnya. Para Menlu Asean bertemu di
tengah suasana mendung yang membentang di kawasan Asia Tenggara.
Perang di Kamboja terus berkepanjangan. Lebih 200 ribu pengungsi
Kamboja mengalir ke wilayah Muangthai. Vietnam dikabarkan telah
mengerahkan sekitar 180 ribu pasukannya ke dekat perbatasan
Kamboja-Muangthai. Tersebar pula desas-desus tentang
k,emungkinan serbuan Vietnam ke Muangthai.
Sementara itu kekhawatiran lain mencekam Asean. Gelombang
pengungsi keluar Vietnam makin deras beberapa bulan terakhir
ini. Jumlah pengungsi yang ditampung negara ketiga sangat kecil
sedang arus pengungsi makin membesar. Tidak terlihat kesungguhan
pemerintah Vietnam menghentikan arus ini. Malah tambah jelas
tanda gelombang pengungsian didorong pemerintah Vietnam sendiri.
Usaha untuk mengusir kembali pengungsi ini ke laut bebas,
terutama yang dilakukan Indonesia, kurang berhasil. Malahan
nampaknya terjadi "ketidakcocokkan" antara Indonesia dan
Malaysia gara-gara masalah pengungsi ini. Indonesia merasa,
membengkaknya jumlah pengungsi yang mendamparkan diri ke Riau
beberapa minggu terakhir ini terutama akibat ulah patroli
Malaysia yang mendorong tiap perahu yang masuk ke arah perairan
Indonesia.
Hal inilah yang kabarnya akan dibereskan dengan suatu
penandatanganan Memorandum of Understanding antara Menlu kedua
negara di Jakarta, 9 Juli mendatang. Akan disetujui antara lain
dalam mengusir kembali pengungsi yang masuk ke suatu negara,
janganlah hal ini sampai merugikan kepentingan negara
tetangganya.
Kemudian mulai timbul rencana-rencana keras: mengusir kembali
pengungsi yang sekarang sudah ditampung dan menghalau pengungsi
baru yang ingin masuk, kalau perlu dengan menembaki mereka.
Gagasan ini rupanya telah mengejutkan dunia internasional. Dan
akibatnya masalah pengungsi Indocina segera saja jadi masalah
dunia. Inggeris memelopori dengan menyerukan diadakannya suatu
konperensi internasional di bawah pengawasan PBB untuk
membicarakan masalah pengungsi ini. Dan di Bali hadir Turkmen,
utusan khusus Sekjen PBB.
Sidang Menlu Asean di Bali juga diberi warna dan bobot lain
dengan kehadiran para Menlu Amerika Serikat, Jepang, Australia
dan Selandia Baru serta Presiden Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE)
yang mengadakan pertemuan terpisah dengan rekannya dari Asean.
Rupanya tujuan semula kedatangan mereka untuk menyampaikan hasil
KTT Negara Industri di Tokyo telah luntur oleh menonjolnya
masalah pengungsi ini. Lebih lagi, KTT Tokyo bahkan telah
mengeluarkan suatu pernyataan khusus tentang pengungsi --
pertanda kian gawatnya masalah.
Selesai acara pembukaan, disusul dengan pidato para Menlu --
yang diketuai Rajaratnam dengan pengulangan sikap kerasnya
selama 75 menit -- para delegasi meneruskannya dengan sidang
tertutup. Apa saja yang dibicarakan mereka? "99% yang dibahas
adalah perkembangan di Asia Tenggara dan masalah pengungsi,"
cerita seorang diplomat Indonesia.
Atas permintaan sidang, Menlu Muangthai Upadit Pachariyangkun
telah menjelaskan situasi di perbatasan Muangthai-Kamboja.
Dilaporkannya: belum bisa dikatakan bahwa Vietnam dengan
kelompok Heng Somrin telah berhasil menguasai seluruh Kamboja.
Datangnya musim hujan dalam waktu dekat ini akan mempersulit
Vietnam menggunakan alat perang modern mereka, dan tiba
kesempatan bagi pasukan Khmer Merah untuk melancarkan balasan.
Debat sengit kabarnya telah terjadi antara Filipina dan
Singapura. Suara keras Rajaratnam telah membuat Menlu Filipina
Carlos Romulo naik pitam. "Apakah kita harus berperang? Apakah
klta siap dan mampu?". Rajaratnam menjelaskan, bukan maksudnya
untuk mengumumkan perang dengan Vietnam. Perang bisa memakai
bermacam senjata. Dan arus pengungsi yang sengaja diusir oleh
pemerintah Vietnam menurut Menlu Singapura ini merupakan
"serangan pertama". Vietnam telah menggunakan mereka sebagai
"bom manusia".
Mengapa Singapura bersuara keras? Vietnam, kata Rajaratnam dalam
pidato pembukaannya, mengikuti Lenin. Salah satu ajarannya
mengatakan: "Musuh harus selalu dijajagi dengan tusukan bayonet.
Jika bertemu dengan baja, mundur. Tapi tusuk terus bila itu
bubur. Dan Vietnam akan segera tahu, Asean itu baja atau bubur."
Masalah pengungsi bukan masalah kemanusiaan, tapi merupakan
latihan militer Vietnam dalam rangka mewujudkan ambisinya
menguasai Asia Tenggara.
"Tiap perahu sarat dengan pengungsi yang dikirim ke pantai kita
adalah bom untuk mengganggu, mengacaukan dan untuk menimbulkan
keresahan dan pertentangan antara negara Asean. Ini adalah awal
dari suatu serangan untuk membuka jalan bagi genjotan terakhir.
Vietnam menginginkan kita dan dunia terkecoh dengan
menyamarkannya sebagai masalah kemanusiaan. Dan mereka boleh
disebut berhasil dengan membuat kita buta pada kenyataan ini."
"Bisa saja Singapura ngomong begitu. Mereka kan negara kecil
yang tidak terganggu masalah pengungsi. Mereka tidak rugi
apa-apa," komentar seorang pejabat Indonesia. Ia menunjuk
kenyataan: Singapura malahan memperoleh keuntungan dari masalah
pengungsi ini. Misalnya UNHCR membeli semua perlengkapan yang
perlu di Singapura. Tentang usaha Singapura mengajak Asean agar
bersikap keras menghadapi Vietnam, Sekjen Asean Datuk Ali bin
Abdullah berujar: "Asean kan lima, bukan hanya Singapura."
Asean memang terdiri dari lima negara. Dan mempertemukan lima
pendapat yang berbeda rupanya cukup sulit. Ini yang menyebabkan
tertundanya waktu penutupan sidang sampai 6 jam. Perumusan
pernyataan bersama yang semula telah beres pada tingkat panitia
perumus, mentah kembali begitu dibawa ke sidang tingkat Menlu
yang berlangsung Sabtu pagi dan petang.
Tapi semua negara Asean kali ini sepakat untuk bersuara lebih
keras dan "unjuk gigi". Dan menuding Vietnam sebagai biang
keladi dari situasi yang memburuk di Asia Tenggara. Bila dalam
pernyataan bersama setelah penyerbuan Vietnam di Kamboja di
Bangkok 13 Januari lalu para Menlu Asean menghindar menyebut
nama Vietnam dan hanya menyebut "kekuatan asing", di Bali para
Menlu lebih beringas. Sekalipun pada mulanya Malaysia
berkeberatan, pernyataan bersama 56 pasal Menlu Asean antara
lain menyatakan dukungan pada hak rakyat Kamboja mempertahankan
eksistensi mereka -- "lepas dari campur tangan Vietnam dan
kekuatan asing lain."
ASEAN bahkan juga menegaskan: peningkatan pertempurn di Kamboja
atau masuknya kekuatan asing di Muangthai akan mempengaruhi
langsung keamanan negara anggota Asean dan akan membahayakan
keamanan dan perdamaian di kawasan ini. Dalam hal ini Asean
mengulangi dukungan penuh dan solidaritas pada rakyat dan
pemerintah Muangthai atau pada negara Asean lainnya dalam
memelihara kemerdekaan, kedaulatan serta keutuhan wilayahnya.
Para Menlu menyerukan Vietnam untuk menunjukkan sikap positifnya
pada Muangthai dan negara Asean lainnya, dengan menrik mundur
pasukannya dari perbatasan Muangthai-Kamboja.
Mengenai pengungsi, para Menlu Asean menyetujui bahwa Vietnam
bertanggungjawab atas mengalirnya pengungsi dan memegang peranan
utama dalam upaya memecahkan masalah ini di sumbernya. Mereka
menyesalkan sekali kenyataan bahwa Vietnam tidak mengambil
langkah efektif untuk menyetop banjir ini.
Asean juga menyatakan telah mencapai batas ketahanan mereka dan
memutuskan untuk tidak lagi menerima pengungsi baru dan akan
mengambil langkah tegas untuk mencegah terus mengalirnya
pengungsi. Asean akan mengusir para pengungsi yang sudah
ditampung dari barak mereka sekarang ini jika mereka tidak
diterima oleh negara penampung atau diterima lagi oleh negara
asalnya, Indocina. Akan dilakukan koordinasi antara Asean untuk
menjalankan upaya ini.
Para Menlu juga menyerukan masyarakat internasional untuk
menekan Vietnam agar menghentikan arus pengungsi. Pengungsi yang
keluar Indocina tetap menjadi tanggungjawab pemerintah negara
yang bersangkutan. Pelaksanaan pengaturan keluarnya pengungsi
secara teratur tidak boleh merugikan rencana pmukiman bagi para
pengungsi yang sudah ada di negara-negara Asean. Asean
seterusnya menyatakan kekecewaan atas usaha UNHCR (Komisi Tinggi
PBB Urusan Pengungsi) dan negara-negara penampung yang sangat
tidak seimbang dengan membesarnya masalah ini.
Apa arti semua pernyataan itu? Bahasa perang? Satu hal dapat
disimpulkan: Asean sudah tidak sabar dan bosan mendengar
janji-janji Vietnam. Asean juga kurang puas dengan sikap UNHCR
dan negara-negara besar yang dirasa kurang serius mengurangi
beban Asean. Menlu Muangthai Upadit yang biasanya tenang,
tampaknya mewakili kekecewaan Asean ketika mengatakan: "Banyak
orang, banyak negara berbicara tentang kemanusiaan. Tapi jika
kami menyerukan 'Tolonglah kami' tidak banyak negara yang mau.
Omongan mereka hanya tinggal di bibir saja. Jumlah bantuan yang
diberikan sangat tidak berarti dibanding jumlah pengungsi yang
masuk. Dan pengungsi ini muncul bukan akibat kemauan kita."
Atau dengan istilah Menlu Mochtar Kusumaatmadja: "Kita semua
telah berbuat segala apa yang secara kemanusiaan mungkin."
Hadirnya Turkmen utusan khusus Sekjen PBB di Bali yang semula
diharapkan dapat membantu ternyata mengecewakan. "Saya hanya
bisa mengadakan konsultasi. Apa yang saya dapat dari Asean akan
saya laporkan pada Sekjen PBB," katanya pada TEMPO.
Di depan para Menlu, Turkmen menjelaskan tentang rencana suatu
konperensi internasional yang bakal disponsori PBB. Tapi pihak
Asean kecewa "Tujuan konperensi itu ternyata hanya untuk
memperoleh janji bantuan keuangan yang lebih besar serta
kesediaan menampung pengungsi lebih banyak, kata seorang
diplomat Asean. "Buka untuk menanggulangi masalah pengungsi
pada sumbernya. Kran keluarnya pengungsi ini tidak ditutup."
Tapi Turkmen kabarnya juga meyakinkan Asean bahwa Vietnam sudah
bersedia hadir dalam konperensi internasional ini, yang juga
didukung Asean.
Mungkin itu juga satu jalan. Namun Asean sendiri harus sepakat.
Salah satu ganjelan utama Konperensi Menlu Asean adalah
keinginan Singapura untuk memasukkan pasal perlunya Asean
mencari dukungan negara besar untuk menghadapi Vietnam.
Rajaratnam menjelakan "Asean sendiri tidak bisa menyelesaikan
masalah ini." Karena yang dihadapi bukan Vietnam saja, tapi
Vietnam yang didukung Uni Soviet.
Negara Asean lain menentang keras usul Singapura ini karena itu
bertentangan dengan konsepsi Asean untuk menjadikan Asia
Tenggara daerah bebas dan netral. Kehadiran super power dianggap
justru akan mengundang Vietnam "maju ke medan perang". Namun
Rajaratnam bersikeras. Kehadiran super power di belakang Asean
diperlukan guna mengimbangi kekuatan Uni Soviet di belakang
Vietnam yang dirasa mengancam Asean.
Sidang akhirnya secara konsensus memutuskan menolak mencantumkan
pasal ini dalam pernyataan bersama. Kekecewaan Rajaratnam
tampak sebegitu rupa hingga dalam konperensi pers Sabtu malam
seusai sidang seorang wartawan menanyakan kepadanya: "Mengapa
anda begitu tampak 'tidak bahagia'? " Menlu Singapura ini
membantah "Saya bukannya tidak bahagia." Tapi ia mengakui "Saya
kecewa. Bukan karena pernyataan bersama itu, saya setuju dengan
itu. Saya kecewa karena menurut pendapat saya pernyataan itu
seharusnya lebih keras dari itu." Menurut Rajaratnam bisa jadi
para Menlu yang lain benar, "Tapi hanya kenyataan nanti yang
bisa membuktikan."
Memang kenyataan yang nanti akan membuktikan. Sejak semula
Singapura memang menginginkan agar Asean bersikap keras dan
tegas pada Vietnam. Tapi tampaknya negara Asean lainnya lebih
suka membiarkan pintu masih terbuka buat Vietnam. Umumnya negara
Asean masih memandang suatu Vietnam yang benar-benar merdeka
perlu untuk menjaga RRC yang masih dipandang lebih berbahaya.
Mungkin ini yang dimaksud Menlu Mochtar Kusumaatmadja ketika 3
minggu lalu mengatakan pada TEMPO: "Kita tidak keberatan melihat
suatu Vietnam yang kuat. Tapi kita tidak ingin melihat an
adventourous Vietnam."
Mengapa saluran ke Vietnam tetap dibuka? "Karena tanpa Vietnam
penyelesaian masalah ini tidak akan bisa," jawab Menlu Mochtar.
"Justru di sinilah letaknya bahaya pernyataan keras seperti yang
diucapkan Menlu Rajaratnam sebab itu bisa menyebabkan Vietnam
lepas tangan," tambahnya.
Hasil-hasil konperensi telah diumumkan. Pernyataan demi
pernyataan telah diucapkan. Hasilnya? Apakah Vietnam bisa
diharapkan akan mendengarkan seruan yang diputuskan di pantai
Kuta, Bali itu? Perlu diingat dulu seruan yang serupa -- dalam
nada yang lebih lunak-tenggelam tanpa bekas bagai batu
kecemplung kali.
"Yang penting Asean telah mengeluarkan suatu common stand (sikap
bersama). Bahwa pengungsi merupakan bahaya. Dan bahwa Asean
telah menunjukkan diri bersatu dan mempunyai solidaritas."
"Asean harus memobilisir pendapat dunia untuk menekan Vietnam,"
tutur seorang diplomat Indonesia. Kemudian? "Semua ini nanti
akan tergantung sampai di mana komitmen negara-negara besar pada
keamanan Asean. Apakah bahaya terhadap keamanan Asean akan juga
dipandang bahaya terhadap keamanan mereka," sambungnya.
Pernyataan itu tampaknya tidak terlalu jauh dari suatu pengakuan
tidak langsung, bahwa bagaimana pun juga Asean masih memerlukan
payung negara-negara besar non-komunis bagi pertahanannya.
Agaknya inilah alasan utama dari kehadiran para Menlu AS,
Jepang, Australia dan Selandia Baru di Bali: untuk mendukung
pernyataan sikap Asean mengenai masalah pengungsi dan keamanan
di Asia Tenggara, dan secara tidak langsung menekan Vietnam dan
Uni Soviet.
"Sumber segala permasalahan ini adalah sengketa Vietnam-RRC.
Kedua belah pihak menggunakan segala cara dalam pertentangan
ini," kata seorang diplomat Indonesia di Indocina. Vietnam
khawatir penduduk keturunan Cina di Vietnam akan bisa digunakan
RRC sebagai kolone kelimanya. Uni Soviet di lain pihak membantu
Vietnam, sekaligus menanamkan lebih dalam kukunya di negara ini.
Peranan negara-negara besar, seperti AS dan Jepang, karenanya
perlu, untuk "membujuk" RRC mengurangi tekanannya pada Vietnam.
Dan di lain pihak, Uni Soviet juga diminta membujuk Vietnam.
Apakah tidak ada harapan? Menlu Filipina Carlos Romulo
melukiskan situasi Asia Tenggara seperti seorang yang terjun
dari tingkat 64 Empire State Building. Melintasi tingkat demi
tingkat, komentar penerjun ini: "Sejauh ini masih baik."
Rajaratnam segera memanfaatkan lelucon ini. Asean menurut dia
memang bagai orang yang terjun dari tingkat 64 itu. Ia
mengharapkan dapat menjumpai kasur yang tebal dan empuk di
bawah, karena tanpa ini tiada harapan baginya. "Saya harap
teman-teman kita yang akan kita temui nanti (para Menlu AS,
Jepang, Australia dan Selandia Baru red) akan bisa menyediakan
kasur ini. Jika mereka tidak bisa membantu kita, tamatlah nasib
kita."
Lelucon-lelucon yang sebenarnya suram. Tapi kata terakhir
tampaknya yang diucapkan Menlu Mochtar Kusumaatmadja: "Sejak
pernyataan Bangkok, jumlah pengungsi makin naik. Tapi apakah
kita panik? Apakah kita saling bertengkar sendiri? Apakah kita
lari? Tidak!" Dengan kata lain, tak ada yang terjun dari tingkat
atas ke bawah. Semua tetap tinggal. "Tak seorangpun yang bisa
menjaga rumah kita lebih baik dari diri kita sendiri," kata
Mochtar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini