IA mungkin seorang penolong. Tapi mungkin juga seorang
petualang. Gerald Lloyd Ferguson, 35 tahun, memegang paspor
Amerika Serikat seri No. K 368/34. Ia, menurut sebuah sumber,
pernah jadi anggota yayasan Food For The Hungry, lembaga yang
bertujuan membantu orang miskin dan terlantar di dunia. Tak
disebutkan, tahun berapa ia berkecimpung dalam yayasan yang
berpusat di New York, AS itu.
Sejak awal Maret lalu, Ferguson, lelaki brewok itu, tiba-tiba
menarik perhatian. Mengapa? Ia telah menentang kebijaksanaan
pemerintah AS dalam soal pemrosesan penampungan pengungsi
Vietnam yang mengalir bagaikan air bah itu. Menurut dia,
pemerintahnya telah mempraktekkan sistim pilih kasih. Pengungsi
miskin harus menanti 3 sampai 4 tahun, baru diberangkatkan ke
tempat penampungan tetap. Mereka yang kaya, sehat, dan
berpendidikan, dalam tempo 4 sampai 5 bulan saja sudah diterima.
"Sangat tidak berperikemanusiaan," kata Ferguson.
Sinyalemen itu dibantah oleh Duta Besar Keliling AS, Dirk Clark.
Ketika berkunjung ke Jakarta, belum lama berselang ia menyatakan
bahwa pemerintah AS tidak pernah melakukan praktek demikian.
Ferguson, rupanya orang yang tak gampang percaya. Ia lalu
terbang ke Muangthai, 6 Maret lampau untuk melihat keadaan para
pengungsi dalam tempat penampungan sementara mereka. Di sini,
Ferguson, pengusaha real estate, dan konon pernah punya toko
serba ada barang elektronik itu mendengar cerita dari seorang
warga Vietnam tentang saudaranya yang berada di Pulau Buton,
Indonesia. Dikatakannya hidup mereka juga menyedihkan.
Kisah itu membawa Ferguson ke Buton, dan menghabiskan beberapa
hari untuk omong-omong dengan pengungsi. Setelah itu, ia kembali
ke Singapura dengan kepala penuh rencana. Tanggal 11 Mei, ia
muncul lagi di tengah para pengungsi yang berjumlah 600 orang
itu dengan sejumlah peralatan parang, pacul, dan kayu. "Mengapa
kalian hanya menghabiskan waktu dengan bermenung, dan bersedih?"
katanya menggugah semangat.
Dalam tempo beberapa hari, barak-barak penampungan yang beratap
daun itu selesai dirapikan. Mereka juga membuat lapangan untuk
bermain bola volley. Untuk semua itu, Ferguson mengeluarkan
biaya sebesar Rp 500.000. Tak hanya itu yang dilakukannya. Ia
mengajar pengungsi berbahasa Inggeris. Dan berniat untuk membawa
400 orang di antara mereka ke Arizona, AS. Semua perongkosan dan
kesempatan kerja di sana akan diurusnya pula.
Sejauh itu, pihak penguasa di Riau mendiamkannya dengan agak
geli agak asyik. Ketika suatu hari di pulau itu muncul sebuah
perahu kecil yang berisi 40 pengungsi, dan berniat untuk ke
Australia, Ferguson mencoba menahan mereka. Ia menganggap tekad
itu kerja yang mustahil. Lalu diajaknya para pendatang itu untuk
menerobos ke Singapura. Apa lacur, di perbatasan mereka disergap
oleh Angkatan Laut Singapura. Hingga mereka terpaksa kembali ke
Pulau Buton.
Tapi, begitu kembali Ferguson terpaksa berurusan dengan polisi.
Ia diminta unuk memberikan keterangan. "Apa yang
dikerjakannya memang baik. Cuma, tak lewat prosedur," kata
Kapten (Pol) R. Azmir, Kepala Intelpam Kores 404, Riau.
Ferguson kemudian dibebaskan, dan dianjurkan kembali ke AS.
Visanya telah berakhir, 6 Juni lalu.
Menjelang keberangkatannya, Ferguson berjanji kepada para
pengungsi bahwa ia akan datang lagi, dan bersama anak-isteri. Ia
mengatakan ingin menetap di pulau itu untuk beberapa lama.
"Sintingnya, ia mau menyewa pulau itu dari pemerintah," cerita
Azmir. Perwira polisi ini menganjurkan agar Ferguson tak usah
diberi visa lagi. "lanyak pihak yang repot dan pusing lantaran
ulahnya."
Ferguson memang telah angkat kaki dari Pulau Buton. Tapi, di
laut Cina Selatan, kapal MS Aquna masih sering merayap-rayap
membantu pengungsi. Kapal milik yayasan FFTH ini semacam depot
terapung. Mereka tak hanya menolong para pelarian itu dengan
bahan bakar, makanan, atau air. Juga mengarahkan mereka ke
negara mana yang patut dituju, kalau ternyata mereka nyasar.
Yayasan FFTH, dalam urusan pengungsi Vietnam, tak secara jelas
berpijak.
Adakah para pengungsi yang kini ditampung di Indonesia arahan
kapal Aquna? Siapa tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini