Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Seorang Amerika Diantara Pengungsi

Gerald Lloyd Ferguson, 35, memberikan bantuan kepada para pengungsi Vietnam. Ia menentang kebijaksanaan pemerintah AS mengenai pemrosesan penampungan pengungsi Vietnam. (nas)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA mungkin seorang penolong. Tapi mungkin juga seorang petualang. Gerald Lloyd Ferguson, 35 tahun, memegang paspor Amerika Serikat seri No. K 368/34. Ia, menurut sebuah sumber, pernah jadi anggota yayasan Food For The Hungry, lembaga yang bertujuan membantu orang miskin dan terlantar di dunia. Tak disebutkan, tahun berapa ia berkecimpung dalam yayasan yang berpusat di New York, AS itu. Sejak awal Maret lalu, Ferguson, lelaki brewok itu, tiba-tiba menarik perhatian. Mengapa? Ia telah menentang kebijaksanaan pemerintah AS dalam soal pemrosesan penampungan pengungsi Vietnam yang mengalir bagaikan air bah itu. Menurut dia, pemerintahnya telah mempraktekkan sistim pilih kasih. Pengungsi miskin harus menanti 3 sampai 4 tahun, baru diberangkatkan ke tempat penampungan tetap. Mereka yang kaya, sehat, dan berpendidikan, dalam tempo 4 sampai 5 bulan saja sudah diterima. "Sangat tidak berperikemanusiaan," kata Ferguson. Sinyalemen itu dibantah oleh Duta Besar Keliling AS, Dirk Clark. Ketika berkunjung ke Jakarta, belum lama berselang ia menyatakan bahwa pemerintah AS tidak pernah melakukan praktek demikian. Ferguson, rupanya orang yang tak gampang percaya. Ia lalu terbang ke Muangthai, 6 Maret lampau untuk melihat keadaan para pengungsi dalam tempat penampungan sementara mereka. Di sini, Ferguson, pengusaha real estate, dan konon pernah punya toko serba ada barang elektronik itu mendengar cerita dari seorang warga Vietnam tentang saudaranya yang berada di Pulau Buton, Indonesia. Dikatakannya hidup mereka juga menyedihkan. Kisah itu membawa Ferguson ke Buton, dan menghabiskan beberapa hari untuk omong-omong dengan pengungsi. Setelah itu, ia kembali ke Singapura dengan kepala penuh rencana. Tanggal 11 Mei, ia muncul lagi di tengah para pengungsi yang berjumlah 600 orang itu dengan sejumlah peralatan parang, pacul, dan kayu. "Mengapa kalian hanya menghabiskan waktu dengan bermenung, dan bersedih?" katanya menggugah semangat. Dalam tempo beberapa hari, barak-barak penampungan yang beratap daun itu selesai dirapikan. Mereka juga membuat lapangan untuk bermain bola volley. Untuk semua itu, Ferguson mengeluarkan biaya sebesar Rp 500.000. Tak hanya itu yang dilakukannya. Ia mengajar pengungsi berbahasa Inggeris. Dan berniat untuk membawa 400 orang di antara mereka ke Arizona, AS. Semua perongkosan dan kesempatan kerja di sana akan diurusnya pula. Sejauh itu, pihak penguasa di Riau mendiamkannya dengan agak geli agak asyik. Ketika suatu hari di pulau itu muncul sebuah perahu kecil yang berisi 40 pengungsi, dan berniat untuk ke Australia, Ferguson mencoba menahan mereka. Ia menganggap tekad itu kerja yang mustahil. Lalu diajaknya para pendatang itu untuk menerobos ke Singapura. Apa lacur, di perbatasan mereka disergap oleh Angkatan Laut Singapura. Hingga mereka terpaksa kembali ke Pulau Buton. Tapi, begitu kembali Ferguson terpaksa berurusan dengan polisi. Ia diminta unuk memberikan keterangan. "Apa yang dikerjakannya memang baik. Cuma, tak lewat prosedur," kata Kapten (Pol) R. Azmir, Kepala Intelpam Kores 404, Riau. Ferguson kemudian dibebaskan, dan dianjurkan kembali ke AS. Visanya telah berakhir, 6 Juni lalu. Menjelang keberangkatannya, Ferguson berjanji kepada para pengungsi bahwa ia akan datang lagi, dan bersama anak-isteri. Ia mengatakan ingin menetap di pulau itu untuk beberapa lama. "Sintingnya, ia mau menyewa pulau itu dari pemerintah," cerita Azmir. Perwira polisi ini menganjurkan agar Ferguson tak usah diberi visa lagi. "lanyak pihak yang repot dan pusing lantaran ulahnya." Ferguson memang telah angkat kaki dari Pulau Buton. Tapi, di laut Cina Selatan, kapal MS Aquna masih sering merayap-rayap membantu pengungsi. Kapal milik yayasan FFTH ini semacam depot terapung. Mereka tak hanya menolong para pelarian itu dengan bahan bakar, makanan, atau air. Juga mengarahkan mereka ke negara mana yang patut dituju, kalau ternyata mereka nyasar. Yayasan FFTH, dalam urusan pengungsi Vietnam, tak secara jelas berpijak. Adakah para pengungsi yang kini ditampung di Indonesia arahan kapal Aquna? Siapa tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus