Pergantian pucuk pimpinan di Mahkamah Agung (MA) telah mengangkat berbagai permasalahan yang membelenggu keberadaan lembaga tersebut. Salah satu di antaranya adalah hak untuk menguji keabsahan undang-undang (juditial review), sebuah hak yang dianggap harus dimiliki sebuah lembaga judikatif agar dapat menyejajarkan diri dengan lembaga legislatif dan eksekutif. Padahal, aturan yang berlaku sekarang, hanya memberikan hak kepada MA untuk menguji keabsahan peraturan perundang-undangan yang tingkatnya di bawah undang-undang (Pasal 31 UU No.14 Tahun 1985). Soal perlu atau tidaknya MA memiliki hak juditial review telah menimbulkan pro dan kontra sejak zaman prakemerdekaan sampai dengan sekarang. Dulu, Prof. Mr. Soepomo dan Mr. Moh. Yamin memiliki pandangan yang berbeda tentang masalah ini. Sekarang terjadi perbedaan pandangan antara Prof. Dr. Sri Soemantri dan Dr. T. Mulya Lubis. Pada Kolom TEMPO, 18 Juli 1992, Mulya Lubis mendukung keberadaan hak juditial review pada MA, sedangkan Sri Sumantri kurang setuju dengan adanya hak tersebut pada MA. Dalam hal ini, Prof. Soemantri mengusulkan adanya lembaga baru yang dibentuk oleh MPR. Lembaga itu bernama Majelis Konstitusional, yang tugasnya menangani perkara-perkara yang berhubungan dengan konstitusi, termasuk hak menguji keabsahan suatu undang-undang. Ini menarik untuk ditanggapi. Mengapa harus ada lembaga baru, kalau lembaga yang lama masih dapat ditingkatkan kemampuannya untuk menjalankan fungsi lembaga baru itu? Membuat lembaga baru, berarti membentuk personil baru, sistem organisasi baru, sistem tata kerja baru, sistem administrasi baru, dan sebagainya. Di samping itu, membutuhkan waktu untuk membahas dan mengegolkan keberadaan lembaga baru tersebut. Jadi, suatu tindakan yang tidak efisien pada era debirokratisasi. Walau jumlah perkara yang harus ditangani MA terus bertambah, bahkan banyak yang terbengkalai, tidak berarti MA tidak mampu melaksanakan hak juditial reviewnya. Begitu juga, walau dalam UUD 1945 dan penjelasannya tidak dicantumkan tentang hak juditial review untuk MA, bukan berarti MA tidak berhak memiliki hak tersebut. Sebagai puncak kekuasaan kehakiman yang sejajar kedudukannya dengan lembaga negara pembentuk UU, Mahkamah Agung adalah lembaga negara yang paling berhak untuk memiliki hak tersebut. Adanya hak juditial review pada MA bukan berarti pula bahwa MA memiliki kedudukan lebih tinggi daripada lembaga-lembaga tinggi negara yang lain. Jika suatu UU dinilai tidak sesuai dengan materi muatan yang seharusnya dan kepentingan umum, MA hanya berhak menyatakan UU itu tidak sah. Yang berhak membatalkannya adalah lembaga tinggi negara yang membuatnya. Masalahnya sekarang, terletak pada kemauan bangsa kita, melalui MPR, untuk memberikan hak tersebut kepada Mahkamah Agung. Seandainya itu terlaksana, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pembenahan ke dalam tubuh MA, sehingga hak barunya tersebut tidak semakin membebaninya. SUNU WIDI PURWOKO Mahasiswa FHUI Depok Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini