Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Bissu dalam KBBI

Kekeliruan pemberian definisi makna kata bisa membawa kita pada kekeliruan berpikir.

12 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kamus berfungsi sebagai alat bantu untuk memahami makna suatu kata sesuai dengan referen atau obyek yang diacu.

  • Kamus tak hanya menampung perbendaharaan kosakata, tapi juga berkaitan dengan kehidupan yang diwakilinya.

  • Kamus memperkaya diri dengan kosakata baru yang berakar dari bahasa asing ataupun bahasa daerah.

APA yang kita pahami tentang kamus tentu adalah fungsi dasarnya, yakni sebagai alat bantu untuk memahami makna kata sesuai dengan referen atau obyek yang diacu, makna yang selaras dengan penghayatan indra manusia. Kita pun menyadari bahwa kamus tak hanya menampung perbendaharaan kosakata, tapi juga berkaitan dengan kehidupan yang diwakilinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai lautan khazanah bahasa Indonesia yang terus berkembang, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memperkaya diri dengan kosakata baru yang berakar dari bahasa asing ataupun bahasa daerah. Hadirnya kosakata tersebut dimaksudkan untuk mengisi kekosongan makna karena ada kata yang tidak cukup terwakili ketika dialihkan ke bahasa Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerkayaan leksikon dari bahasa daerah dilakukan secara sistematis dan terencana. Sebelum resmi menjadi bagian dalam KBBI, suatu kata dijaring melalui tahap inventarisasi, diverifikasi melalui lokakarya, dan ditetapkan sebagai kandidat usulan istilah melalui sidang komisi. Prosedur verifikasi berfungsi untuk mengkonfirmasi kebenaran data, baik kepada penutur jati, peneliti, maupun akademikus.

Namun bagaimana jika setelah proses panjang itu ternyata KBBI masih keliru memberi definisi?

Satu contoh, lema bissu dalam KBBI Edisi V yang memiliki kelas kata nomina diberi makna tunggal sebagai “tradisi sastra lisan yang hidup di daerah Pangkep (Sulawesi Selatan), dilakukan oleh sekelompok laki-laki yang mengenakan pakaian serta bersuara dan bertingkah seperti perempuan”. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh dalam kultur Bugis, saya berpendapat definisi ini sangat sepintas, kurang akurat, dan setidaknya mengandung tiga kekeliruan.

Jilid 1 La Galigo Menurut Naskah NBG 188 hanya menyediakan satu kata untuk menggambarkan bissu, yaitu rohaniwan. Di dalam kitab mitologis manusia Bugis itu, Batara Guru—putra penguasa langit—turun ke bumi dan menikahi sepupunya yang berasal dari dunia bawah air. Bissu kemudian dikirimkan untuk membantu menyiapkan segala upacara yang berhubungan dengan daur kehidupan.

Kamus Bahasa Bugis-Indonesia yang disusun oleh M. Ide Said D.M. pada 1977 memberi padanan “biksu” untuk bissu. Sementara itu, Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia pun mengelompokkan biksu bersama pendeta, rohaniwan, ulama, dan sebutan-sebutan lain yang memiliki kedekatan makna dengan pemuka agama.

Dalam penelitian lapangannya, Davies (2017) mencatat bahwa ada lima kategori gender dalam masyarakat Bugis yang diakui, yakni oroane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calalai (transgender perempuan), calabai (transgender laki-laki), dan bissu. Bissu dipahami sebagai perwujudan elemen-elemen perempuan dan laki-laki secara simbolis dalam satu tubuh serta dipercaya mampu menjadi perantara untuk berkomunikasi dengan dewata.

Selama menetap di Sulawesi Selatan, eksplorasi Millar (2018) membawanya pada pengetahuan bahwa bissu adalah wadam ahli ritual untuk istana raja kerajaan Bugis dan bertanggung jawab dalam pemeliharaan benda-benda pusaka. Mereka juga membantu masyarakat melalui praktik penyembuhan serta mengatur upacara pernikahan dan seremoni lain yang melibatkan aspek spiritual. Setiap awal musim tanam di Segeri, media beramai-ramai meliput upacara adat mappalili, sehingga banyak orang menyangka bahwa bissu hanya ada di Kabupaten Pangkep. Nyatanya, komunitas ini tersebar di beberapa wilayah, khususnya di Bone, Wajo, Luwu, dan Soppeng.

Populasi gender kelima tersebut makin surut terutama sejak pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1950-an. Fragmen sejarah ini dipotret secara mencekam oleh Faisal Oddang dalam novelnya, Tiba Sebelum Berangkat: seorang mantan pendamping bissu disekap sekelompok orang yang mengatasnamakan agama. Cerita lalu berkilas balik ke masa pendudukan pasukan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). KGSS ingin mendirikan negara Islam, sebab itulah mereka berniat menghapus bissu dari muka bumi karena praktik hidupnya dianggap melanggar syariat Islam. Pembubaran paksa kegiatan Porseni Bissu dan Waria oleh kepolisian di Soppeng pada 2017 menjadi bukti bahwa periode kelam DI/TII terus berlanjut hingga saat ini dalam bentuk diskriminasi dari masyarakat ataupun sikap negara.

KBBI sebagai produk leksikologi idealnya mampu memberi definisi sedekat mungkin atas kosakata yang ada di dalamnya. Ia menjadi medan perundingan makna antara bahasa sumber (bahasa daerah) dan bahasa sasaran (bahasa Indonesia). Kesepadanan makna akan mengantarkan pengguna kamus memahami konsep, ekspresi kultural, dan semesta pikir suatu masyarakat dengan benar. Kekeliruan pemberian definisi suatu kata dapat membawa kita pada kekeliruan berpikir. Rasanya, patut kita curiga, jangan-jangan intoleransi dan peminggiran kepada kelompok minoritas yang menjamur dalam keseharian kita diawali dari kekeliruan mengartikan kata. Kekeliruan memahami kehidupan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus