Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sarina Esmailzadeh meninggal dalam protes menentang kesewenang-wenangan di Iran.
Seperti Mahsa Amini, kematiannya memicu protes yang meluas.
Revolusi Islam Iran memakan korban generasi yang tak mau dikekang paranoia.
NAMANYA Sarina. Umur 16. Cantik, bersemangat, pandai berbahasa Inggris dan Prancis, aktif dalam media sosial. Pada 21 September 2022 ia mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sarina Esmailzadeh ikut dalam gelombang protes yang melanda Iran, setelah seorang gadis sebayanya, Mahsa Amini, meninggal dalam tahanan polisi (“polisi moral”) hanya karena tak memakai tudung kepala secara benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu di Kota Karaj, satu jam waktu tempuhnya dari Teheran, ribuan remaja turun ke jalan. Pasukan keamanan bertindak. Beberapa orang berseragam menangkap Sarina dan memukuli kepalanya dengan tongkat. Lukanya parah. Dalam perjalanan ke rumah sakit, nyawanya hilang.
Pejabat kehakiman provinsi mengumumkan, Sarina mati karena meloncat dari atap rumah tetangga. Sebuah rekaman video kemudian disiarkan: ibu Sarina mengakui anaknya memang sering ingin bunuh diri. Ada yang mengatakan, “ibu” itu palsu.
Dengan kata lain, tak banyak yang percaya. Suara Sarina yang terekam dalam media sosial menunjukkan ia perempuan muda yang peka akan sekelilingnya. Katanya dalam rekaman videonya: “Kita semua tahu bagaimana Iran kini”—bagaimana perempuan dibatasi gerak dan pilihannya, tampak antara lain dalam keharusan memakai hijab.
“Tanah airku seperti tanah pembuangan,” katanya.
Mungkin malah mirip tanah hukuman. Ketika jenazah Sarina dimakamkan, 50 petugas keamanan datang untuk mencegah unjuk rasa para simpatisan. Karangan bunga dan tanda ikut berduka yang dikirim ke rumah keluarga Esmailzadeh dibasmi.
Represi, kekerasan, dan dusta—tampaknya itu pola pemerintah Iran dalam menghadapi protes yang gemuruh kini.
Tak selalu berhasil.
Nika Shakarami, yang juga tewas di tangan milisi Islam, dinyatakan mati karena meloncat dari atap rumah setelah ikut dalam demonstrasi. Keluarganya dipaksa mendukung cerita itu. Paman dan bibinya ditahan agar bikin statemen yang dikehendaki yang berwajib. Tapi ibunya tak takut.
Ia menyatakan secara terbuka ke sebuah media, Iran International, bahwa para penguasa menggertak dan merundungnya untuk “mengulangi versi mereka”.
Walhasil, tak mudah mengharapkan dusta berjemaah di zaman media sosial kini. Selalu ada yang luput dari kontrol dan selalu ada medium untuk omong. Seseorang menulis di Twitter: “Generasi ini, yang sedang menggerakkan semua orang, dididik ibu milenial mereka yang hak dan perasaannya terus-menerus diinjak-injak.”
Dalam penindasan itu, penolakan bisa eksplosif.
Menjelang akhir tahun 2022, seorang pemuda dihukum gantung, hanya tiga minggu setelah ditahan. Majidreza Rahnavard—rambut gondrongnya telah dipotong, wajahnya yang tebal tertutup kain, tangan dan kakinya diikat—dimatikan dalam umur 23 dengan leher terikat pada sebuah derek.
Ia ditangkap karena menikam dua anggota Basij, organisasi paramiliter Islam, di sebuah jalan Kota Mashhad. Itu terjadi di tengah gelombang protes—juga di kotanya—yang disuarakan ribuan perempuan karena matinya Mahsa Amini.
Majidreza bukan pemuda pertama dan terakhir yang digantung. Tapi ia akan dikenang karena suara amarahnya yang berterus terang kepada instrumen penindasan—gerakan massa yang membungkam suara yang berbeda.
Lebih dari itu, pembangkangannya kepada suara tunggal yang terus-menerus ditekankan: apa yang disebut “agama”, atau persisnya “Islam”.
Sebagai pesan terakhir, inilah yang dimintanya: “Jangan kalian menangis. Jangan kalian baca Quran. Jangan kalian berdoa. Bergembiralah. Mainkan musik yang riang.”
Tampaknya musik yang riang juga sudah jadi pembangkangan—sebagaimana menari berpasangan di tempat umum yang bisa dihukum 20 tahun. Revolusi Islam di Iran memproyeksikan Tuhan Islam sebagai kekuatan yang angker, anti-riang, mencurigai perempuan, tak berbelas kasihan, dan senantiasa waspada. Di sini agaknya berlaku Tuhan yang disebut dalam Perjanjian Lama: “Tuhan yang cemburu”.
Revolusi Islam Iran melembagakan kecemburuan itu. Seperti hampir semua revolusi dalam sejarah, sifatnya yang antagonistis menarik garis tegas antara hitam dan putih dan menganggap siapa yang tak setuju sebagai musuh. Paranoia politik pun berkecamuk.
Ayatullah Khomeini memimpin suasana itu. Ia selalu siap menuduh mereka yang dianggap menyimpang dari fatwanya sebagai “memerangi Tuhan”, mohareb.
Karena wibawanya, ia dianggap selalu benar. Tapi tak semua ayatullah menyetujuinya. Ayatullah Hussein Ali Montazeri, yang di tahun 1988 memegang jabatan tinggi dalam revolusi, kemudian menulis sebuah memoir. Terbit pada 2000, di dalamnya tampak bagaimana ulama ini menentang hukuman mati yang dengan mudah dikenakan ke mana-mana—termasuk ke dalam kalangan revolusioner sendiri.
Montazeri gagal. Khomeini unggul. Revolusi selalu cenderung bersorak untuk konfrontasi membela pihak “sini” dan menghabisi pihak “sana”. Montazeri = meskipun kalah—lebih arif ketimbang pandangan manichean itu. Jika ia memilih kubu, ia akan berada dalam kubu yang yakin bahwa Tuhan, seperti kata Gus Dur, tak perlu dibela. Tuhan Maha Agung dan hanya manusia kerdil yang membayangkan-Nya dalam paranoia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo