Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin
Retret Tanpa Bendera Partai

Berita Tempo Plus

Pemimpin untuk Semua Rakyat

Betapapun niatnya adil, naluri mengedepankan kepentingan kelompok tetap muncul jika dia masih memimpin kelompok itu.

1 Maret 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Retret di Magelang meninggalkan pertanyaan: apakah para kepala daerah itu mewakili rakyat di daerahnya?

  • Pembekalan perlu, tapi haruskah berbaju loreng khas tentara?

  • Melepas jabatan partai harus dicontohkan dari pejabat di pusat.

RETRET kepala daerah di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah, sudah berakhir. Acara ini diikuti oleh gubernur, bupati, dan wali kota yang baru saja dilantik. Tentu kita tidak berharap para gubernur, bupati, dan wali kota, sepulangnya ke daerah masing-masing, lantas mengajari rakyat baris-berbaris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada pelajaran yang lebih penting. Sesuatu yang patut kita renungkan dari acara sepekan di Lembah Tidar itu. Pertanyaan yang mendasar, apakah para kepala daerah itu mewakili rakyat di daerahnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara formal, tentu saja iya. Sebab, mereka dipilih dalam sistem demokrasi yang kita sepakati bersama, lewat pemilihan langsung, bebas, dan rahasia. Sama dengan pemilihan umum yang memilih wakil-wakil rakyat ataupun pemilihan presiden. Hanya, para kepala daerah ini, selain bisa maju sebagai calon yang diusung partai politik, bisa secara independen. Tapi syaratnya berat.

Setelah mereka terpilih lalu dilantik, lantas bersumpah untuk memenuhi kewajiban sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Ada kalimat: “Memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.” Teks sumpah ini tercantum dalam peraturan presiden Republik Indonesia.

Tak ada disebutkan berbakti kepada partai politik yang mencalonkan dia. Itu artinya, sebagai kepala daerah, mereka sudah menjadi milik masyarakat. Mereka menjalankan selurus-lurusnya undang-undang dan peraturan.

Ketika ada aturan yang mewajibkan kepala daerah mengikuti pembekalan yang disebut dengan istilah retret, mereka seharusnya wajib ikut. Sayang sekali sebagian kecil kepala daerah dari kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan absen dalam acara itu. Alasannya bukan sedang sakit, melainkan karena ada instruksi dari ketua umum partai yang meminta mereka menunda keikutsertaan dalam retret.

Dari sepuluh kepala daerah di Bali (satu gubernur, satu wali kota, dan delapan bupati), hanya seorang yang mengikuti retret, yakni Bupati Karangasem I Gusti Putu Parwata. Parwata mewakili kepala daerah beragama Hindu saat pelantikan di Istana oleh Presiden. Tentu dia sangat menaati sumpah itu karena langsung mengucapkannya didampingi rohaniwan. Tampaknya Parwata tak mau mengingkari sumpah, sesuatu yang sakral.

Tulisan ini bukan untuk mempersoalkan apakah instruksi Ketua Umum PDI Perjuangan itu ada maksud menjegal acara retret atau sebuah bentuk perlawanan kepada pemerintah. Apalagi sampai berkesimpulan bahwa instruksi itu gagal dan beraroma negatif.

Sebaliknya, bukan pula dimaksudkan sebagai mendukung acara retret yang berbau kemiliteran itu. Pembekalan perlu, tapi haruskah berbaju loreng khas tentara? Celotehan ini hanya mengajak agar kita merenungkan kembali bagaimana seharusnya pemimpin itu mengabdi untuk semua rakyat.

Dalam kearifan lokal di masa lalu, seorang tetua desa (namanya bermacam-macam dan belum disebut lurah atau kepala desa seperti sekarang) dipilih dari calon-calon yang diajukan kelompok masyarakat berdasarkan garis keturunan.

Kelompok itu disebut soroh atau kuwu, atau kawitan, dan nama lokal lain. Begitu tetua desa terpilih, dia wajib bekerja untuk seluruh masyarakat. Jika sebelumnya dia pengurus soroh, dia mengundurkan diri dari jabatan di soroh itu. Betapapun niatnya adil, naluri mengedepankan kepentingan kelompok tetap muncul jika dia masih memimpin kelompok itu.

Barangkali itu bisa ditiru di era demokrasi modern ini. Bagaimana kalau kepala daerah dan presiden diharuskan melepas jabatannya dari partai politik? Bupati dan wali kota di Bali semuanya pengurus partai, bahkan Gubernur Wayan Koster adalah Ketua DPD PDIP Bali. Dilema buat mereka jika tak mematuhi instruksi pimpinan partainya, apalagi menjelang kongres partai.

Melepas jabatan partai harus dicontohkan dari pejabat di pusat. Kita tahu, Presiden Prabowo Subianto masih menjabat Ketua Umum Partai Gerindra. Bahkan ketika baru saja melewati masa kerja 100 hari, partainya sudah mengusulkan Prabowo sebagai calon presiden untuk periode 2029-2034.

Coba tanya jujur kepada masyarakat (jangan lewat survei berbayar), apakah mereka yakin Prabowo bekerja untuk semua rakyat? Betapapun seringnya berpidato akan memihak rakyat, orang tetap curiga: rakyat yang mana?

Terasa aneh baru saja kita berhasil mendapatkan presiden sudah langsung ngomongin presiden selanjutnya. Sepenuh tahun kita akhirnya terjebak pada urusan politik sempit, berebut kekuasaan. Lalu siapa yang peduli kalau Pertalite dijual dengan harga Pertamax? Ayo, kembali ke masalah rakyat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema. Tinggal di Bali

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus