Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melancarkan arus distribusi dan menurunkan biaya logistik adalah kredo Presiden Joko Widodo saat melakukan akselerasi pembangunan jalan tol. Pasalnya, selama ini tidak optimalnya jalan arteri menjadi kambing hitam atas tingginya ongkos logistik, entah karena acap mengalami kerusakan, macet, dan padatnya lalu lintas, plus praktik pungutan liar (pungli). Jalan tol "dimimpikan" untuk memperlancar arus distribusi barang dan ujung-ujungnya turunnya biaya logistik. Di atas kertas, kredo Presiden Jokowi ini tidak salah, bahkan menjadi solusi. Apalagi jalan tol Trans Jawa sepertinya tak bisa dielakkan manakala jalur Pantura dan Pansela Jawa kian padat volumenya. Eksistensi jalan tol Trans Jawa, yang kini telah tersambung secara penuh dari Merak sampai Pasuruan, merupakan kabar gembira dari sisi transportasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, jika merujuk pada fakta empiris, tampaknya kredo tersebut untuk sementara waktu tak terbukti. Terbukti, angkutan logistik ogah masuk ke ruas jalan tol Trans Jawa, bahkan kendaraan pribadi sekalipun. Saya bersama beberapa pemerhati transportasi, Kementerian Perhubungan, dan Badan Pengatur Jalan Tol dalam acara "Susur Tol Trans Jawa" yang diselenggarakan oleh PT Jasa Marga pada awal Februari lalu membuktikan hal itu. Selepas jalan tol Cikampek, tak banyak truk yang masuk ruas jalan tol. Bahkan selepas ruas Pejagan-Brebes, jalan tol pun tampak lengang dari lalu-lalang kendaraan pribadi.
Persoalan tarif tampaknya menjadi isu utama. Pengguna kendaraan pribadi harus merogoh kocek tidak kurang dari Rp 371 ribu, mulai dari ruas Pemalang sampai Surabaya. Untuk angkutan truk, ongkosnya tidak kurang dari Rp 1,3 juta. Untuk truk, Gemilang Tarigan, Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia, mengkonfirmasi bahwa sopir truk tidak dibekali uang untuk membayar tol, kecuali di jalan tol dalam kota dan jalan tol Cikampek. Sopir truk hanya dibekali uang Rp 3 juta, yang dipakai untuk biaya bahan bakar, uang makan, dan uang harian sopir plus "uang mel" untuk oknum polisi. Tak ada komponen biaya tol Trans Jawa. Truk akan masuk ke jalan tol Trans Jawa jika penerima barang mau menanggungnya.
Selain soal tarif, ada beberapa fenomena menarik yang menyebabkan sopir truk malas menyambangi jalan tol Trans Jawa, baik karena alasan sosiologis maupun teknis. Misalnya, jika melewati jalan non-tol, sopir truk dapat mencari tambahan penghasilan, seperti mencari muatan di pasar yang dilewatinya. Hal semacam ini tentu tidak akan didapat saat sopir truk melewati jalan tol.
Sopir juga malas ke jalan tol yang terkesan "antisosial", terutama saat sopir mengalami kendala atas truknya, seperti ban gembos atau mogok. Solusinya pasti diderek, yang belum tentu gratis. Sementara itu, jika hal ini terjadi di jalan non-tol, sopir akan dengan mudah mendapat bantuan dari masyarakat sekitar. Fenomena yang juga empiris adalah tidak adanya "warung remang-remang" di jalan tol yang konon juga menjadi pemicu. Di sepanjang jalur Pantura hal ini gampang ditemukan. Selain itu, dari sisi teknis, truk harus didinginkan suhu rem tromol dan bannya setiap 3-4 jam selama minimal 30 menit untuk mengantisipasi terjadinya ban pecah atau kebakaran.
Dengan gambaran semacam itu, sepertinya jalan tol Trans Jawa sebagai instrumen pendorong turunnya biaya logistik masih jauh panggang dari api. Memang ini bisa saja sebagai masa transisi, tapi bisa juga menjadi fenomena permanen. Jalan keluarnya, angkutan logistik perlu diberikan insentif berupa tarif yang lebih murah. Untuk merespons hal ini memang PT Jasa Marga, sebagai salah satu badan usaha jalan tol (BUJT), telah memberikan diskon tarif sebesar 15 persen. Namun hal itu sepertinya belum cukup dan terbukti tidak mendorong minat pengusaha truk melewati jalan tol Trans Jawa. Ini bisa jadi karena diskonnya kurang besar atau kurang lama, atau diperlukan evaluasi struktur tarif untuk angkutan logistik sehingga tarif tol untuk kategori angkutan truk bisa diturunkan. Hal semacam ini memang seharusnya tidak serta-merta dibebankan kepada BUJT, tapi menjadi tanggung jawab pemerin tah sebagai regulator. Tanpa insentif, turunnya biaya logistik akan makin sulit, malah hanya sebuah utopia belaka.
Bila hal ini dibiarkan, pada akhirnya jalan tol Trans Jawa hanya menjadi karpet merah bagi lalu lintas kendaraan bermotor pribadi. Apalagi setelah Otoritas Jasa Keuangan meluncurkan uang muka nol persen untuk kredit mobil dan/atau sepeda motor. Kendaraan pribadi akan menggerojok jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera. Jika fenomena ini yang lebih dominan, alih-alih akan menurunkan biaya logistik, jalan tol Trans Jawa justru menjadi beban baru bagi negara. Salah satunya beban tingginya alokasi subsidi energi, dan akhirnya anggaran negara menjadi berdarah-darah. Apakah hal ini yang diinginkan?