Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syamsuddin Haris
MAWAR merah biasanya dianggap sebagai perlambang kehangatan dan cinta. Namun tidak demikian dengan sepuluh tangkai mawar merah di podium Istana Kepresidenan pada Jumat dua pekan lalu. Kembang itu adalah saksi bisu kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap mantan Ketua MPR Amien Rais—meski dua hari kemudian kedua tokoh itu akhirnya bersalaman.
Para juru warta terkesima. Juga rakyat di seantero negeri. Untuk pertama kalinya Presiden Yudhoyono menumpahkan kejengkelannya dengan keras atas sinyalemen Amien bahwa semua calon presiden menerima dana haram nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)—yang sebelumnya diakui Amien telah ia terima. Yudhoyono membantah bahwa dirinya selaku calon presiden menerima dana DKP dan dana Amerika Serikat.
Soal apakah benar Yudhoyono dan tim suksesnya menerima dana DKP, baiklah Komisi Pemberantasan Korupsi saja yang menangani. Yang menarik disoroti adalah reaksi prematur Presiden atas substansi persoalan yang relatif belum jelas. Cara Presiden mengungkapkan kejengkelannya melalui konferensi pers resmi adalah anomali dari citra Yudhoyono sebagai pemimpin yang santun, hati-hati, dan piawai merangkai kata serta wacana.
Saya menduga anomali Yudhoyono itu terjadi karena empat hal. Pertama, Yudhoyono merasa telah melakukan semua upaya yang dianggap terbaik bagi pembenahan negeri ini dalam hal politik, ekonomi, hukum, dan keamanan. Ia sangat percaya diri dan kemarahannya memuncak ketika ”cerita sukses” pemerintahannya diganggu oleh ”tuduhan” Amien. Seperti diketahui, sinyal kemarahan itu sudah dikemukakan Yudhoyono ketika bertemu dengan para pemimpin pondok pesantren di Istana Negara beberapa hari sebelumnya.
Kedua, Yudhoyono trauma dengan pengalaman pemakzulan (impeachment) yang dialami Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR dalam Sidang Istimewa Majelis pada 2001. SBY berusaha menjaga hubungan baik dengan partai-partai di DPR. Sikap kompromistis Yudhoyono, baik ketika menyusun Kabinet Indonesia Bersatu maupun reshuffle kabinet pertama dan kedua, juga mencerminkan hal itu. Dia juga berusaha menjaga relasinya dengan Gus Dur melalui kehadiran Yenny Wahid selaku staf khusus Presiden, serta mencoba meredam oposisi Megawati dengan mengangkat Rachmawati Soekarnoputeri sebagai salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Dilemanya, Presiden Yudhoyono tidak memiliki cara untuk ”mengerem” Amien Rais yang hampir selalu membuat berita sensasional.
Ketiga, hingga paruh kedua masa pemerintahannya, Yudhoyono merasa aman dengan posisinya sebagai presiden. Hingga saat ini belum tampak seorang pun calon pesaing yang dianggap signifikan untuk menyainginya dalam Pemilu 2009. Hampir semua partai politik di DPR, kecuali PDI Perjuangan, telah dirangkul sebagai ”partai pemerintah” ataupun ”partai pendukung pemerintah”. Sepak terjang Amien Rais—termasuk sinyalemennya tentang dana haram DKP yang mengalir ke semua calon presiden—dianggap bisa ”mengganggu” dan bahkan mengancam peluang Yudhoyono dalam pemilu mendatang.
Keempat, Presiden Yudhoyono bisa jadi dikelilingi oleh staf yang yes man belaka alias tidak jujur dalam menjelaskan realitas politik kepada Presiden. Sinyalemen Amien Rais tentang dana kampanye, misalnya, apakah dapat diklasifikasikan sebagai fitnah sehingga dianggap menodai nama baik dan kehormatan seorang presiden? Kalaupun ya, apakah memang perlu direspons dengan keras oleh Presiden sendiri dalam konferensi pers khusus di Istana?
Pertanyaan-pertanyaan ini semestinya menjadi bahan kajian staf Presiden. Mentalitas ”asal bapak senang” yang melembaga di lingkungan Istana bisa menjerumuskan Yudhoyono. Ia bisa terperangkap dalam arogansi kekuasaan yang tidak produktif bahkan menjadi bumerang bagi lembaga kepresidenan.
Proses pengadilan dalam kasus penyalahgunaan dana nonbujeter DKP masih terus berlangsung. Sikap paling bijak bagi Presiden Yudhoyono adalah turut mendorong agar proses hukum tersebut benar-benar berlangsung transparan, fair, dan adil. Yudhoyono bahkan sebaiknya menempuh jalur hukum jika ada bagian dari sinyalemen Amien Rais yang dianggap fitnah.
Presiden Yudhoyono juga harus jujur jika memang ada indikasi bahwa tim suksesnya dahulu, resmi atau tak resmi, menerima dana haram DKP tanpa setahu dirinya selaku calon presiden. Kalau tidak demikian, mungkin tak ada penafsiran lain atas kemarahan Yudhoyono itu kecuali bahwa kekuasaan yang bersifat personal semakin melembaga pada diri Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo