Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR dari Senayan ini sebenarnya amat penting, tapi tampaknya luput dari perhatian kita yang lagi asyik-masyuk dengan haru-biru proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Padahal, dari gedung DPR itulah kini tengah digodok para kandidat pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (biasa disingkat "Bepeka"), sebuah lembaga tinggi negara yang posisinya?menurut konstitusi?sejajar dengan presiden.
Sejumlah nama beken mencuat sebagai calon kuat yang bakal memimpin lembaga audit keuangan negara itu. Akuntan senior Hadori Yunus mengaku didukung sejumlah fraksi. Begitu pula Anwar Nasution, sang Deputi Gubernur Bank Indonesia. Kepada wartawan kami, Anwar mengaku disokong secara lisan oleh fraksi tertentu. Dukungan tertulis ia terima dari Fraksi Reformasi dan Fraksi Persatuan Pembangunan. Calon lain mengklaim sudah mengantongi garansi dari partai tertentu.
Terasa ada yang ganjil di sini. Dasar hukum seleksi jelas lemah. Coba tengok amendemen konstitusi kita. Berdasar Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan dalam sidang tahunan pada 2003 lalu, disebutkan bahwa anggota Bepeka dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan "diresmikan" oleh presiden (Pasal 23F). Artinya, seleksi pimpinan badan tersebut seharusnya menjadi urusan "parlemen" baru, yang dipilih berdasar pemilu lalu, yang di dalamnya termasuk anggota DPD. Bukan urusan DPR "lama" yang bakal segera pensiun.
Para wakil rakyat itu tak bertumpu pada konstitusi baru. Mereka hanya mengandalkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, khususnya Pasal 7, yang memang memberikan hak kepada Dewan untuk mengusulkan ketua, wakil ketua, dan anggotanya, sebelum akhirnya diangkat oleh presiden. Ironisnya, Undang-Undang No. 5 ini justru tengah direvisi atas usulan Dewan. Drafnya tengah disimpan rapi di laci sekretariat. Mungkin ada argumentasi: menggodok undang-undang jauh lebih lama ketimbang menyeleksi figur untuk posisi penting kenegaraan. Gamblangnya, merevisi Undang-Undang Bepeka kurang "gereget" dibandingkan dengan memproses calon petingginya.
Justru di sinilah pangkal soalnya. Mengapa urusan pemilihan calon pimpinan Bepeka ini tak sekalian diserahkan kepada Dewan baru dan pemerintah baru yang akan dilantik dalam hitungan bulan? Kenapa Dewan "lama" ini ngotot mengurus tetek-bengek seleksi kandidat puncak lembaga penting? Bukankah ini rawan akan tudingan main mata dan politik uang? Klaim-klaim dukungan yang diberikan partai ataupun fraksi terhadap tokoh-tokoh tersebut, betulkah diberikan secara gratisan? Apalagi kalau kita dengar kisah di lapangan: ada skenario sebuah partai yang siap membarter jagonya dengan calon fraksi lain dengan kompensasi tertentu.
Celaka dua belas, memang. Tawar-menawar begini sangat rawan akan bau amis. Apalagi, proses rekrutmennya yang kini tengah berlangsung di Senayan dilakukan sangat tertutup. Kriterianya tak diketahui publik. Kalaupun merujuk pada kriteria sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No. 5, isinya terlalu normatif dan kurang terukur. Karena itulah kami beranggapan merevisi undang-undang ini jauh lebih penting ketimbang mengisi siapa bosnya. Ihwal revisi dan seleksi seharusnya menjadi tugas dan wewenang "rezim" baru, seiring dengan dilantiknya presiden awal Oktober mendatang.
Jika pola pembajakan seleksi ini terus-menerus didiamkan, akibatnya payah. Pimpinan Bepeka akan terdiri dari wakil-wakil yang menjadi "tawanan" partai politik. Kita pun bakal susah mendapatkan figur yang punya kompetensi, kredibilitas, dan integritas tinggi guna menelisik keuangan negara yang kini amburadul akibat ulah para koruptor. Dan upaya menghadirkan sebuah Bepeka yang bebas dan mandiri pun akan semakin jauh panggang dari api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo