KRISIS kayu 1973 sampai sekarang telah memaksakan seleksi
maskapai-maskapai kayu. Di Kalimantan Timur -- pusat konsesi
hutan yang terbesar kabarnya 40% pemegang HPH kesulitan
keuangan. Namun sementara itu, gemuruh mesin, truk dan traktor
makin berderu di kamp Keburao, kabupaten Bulongan Kal-Tim. Di
sana pabrik penggergajian terbesar di Asia Tenggara -- begitu
kata orang-orang KRTP, pemilik pabrik itu -- sedang dites untuk
diresmikan 2 bulan lagi. Dan memang, kapasitasnya belum ada yang
mampu menandingi. Daya sedotnya 170 ribu m3 kayu balok (logs),
yang setengahnya akan ke luar dari mesin dalam bentuk kayu
gergajian rupa-rupa ukuran. Harga mesinnya saja $AS 1,4 juta,
sedang investasi seluruhhya termasuk modal kerja $AS 300 ribu
mencapai $AS 2,7 juta.
Dari mana modal sebesar itu? Terang bukan dari kantong anak
perusahaan Soriano Brothers itu sendiri. Sebab meskipun Soriano
tergolong raja uang di Pilipina -- mereka juga pemilik pabrik
bir San Miguel, pabrik kertas PICOP, dan banyak usaha lain toh
KRTP terpaksa menggunakan uang kasnya sendiri ketika harga
meranti jatuh sampai $AS 25/m3 (sekarang baru $AS 40, padahal di
masa boom kayu pernah 2 x lipat harga itu). Untung bank Amerika
FNCB bersedia menyediakan pinjaman. Atas jaminan maskapai Jepang
Marubeni, pembeli seluruh hasil produksi pabrik penggergajian
KRTP itu selama 7 tahun pertama.
Konsesi Terbesar
Apa yang dilakukan KRTP, memang tidak dapat ditiru sembarangan
perusahaan kayu lainnya. Sebab selain jaringan bisnis
internasional Soriano cukup terbina berkat pengalamannya di
bidang kehutanan selama ¬ abad, luas konsesi KRTP juga terbesar
di seluruh Indonesia. Bahkan di seluruh Asia Tenggara, yakni 1,2
juta Ha. Dengan wilayah HPH seluas itu, KRTP dapat menyisihkan
sebagian kayu tebangannya untuk digergaji, di samping tetap
mengekspor logs ke Jepang dan Korea. Memanen hutan konsesi
seluas itu, terang ada aturan mainnya sendiri. Seperti
dijelaskan oleh direktur KRTP, Bill Godinez pada George
Adicondro dari TEMPO beberapa waktu lalu, tidak seluruhnya bisa
dipanen.
Sebagian berada pada ketinggian di atas 500 meter. Jadi
terlarang untuk ditebang karena berfungsi sebagai hutan lindung.
Sebagian lagi berwujud bukit berbatu dan ladang ilalang, jadi
boleh dicoret saja dari peta konsesi. Sekalipun begitu, yang
tersisa untuk ditebang masih amat luas, yakni 700 - 900 ribu Ha.
Nah, hutan hujan tropis yang siap panen itu pun hanya boleh
dilucuti pohon-pohon dewasa yang bergaris-keliling 50-60 senti
lebih sebanyak 6000 Ha/tahun.
Namun tidak dapat dielakkan bahwa dalam pembuatan jalan,
pembukaan hutan untuk kamp, dan tumbangnya pohon-pohon raksasa
menyeret korban pohon-pohon muda. Karena itu di tempat-tempat
yang botaknya keterlaluan, KRTP menanam bibit-bibit pohon yang
cepat tumbuhnya. Dengan harapan erosi bisa dicegah, sambil
menyiapkan bahan baku untuk industri kertas yang pada waktunya
akan mereka bangun pula di sana.
Telur & Pemukim
Dengan izin konsesi selama 35 tahun, KKTP belum terlalu pusing
soal peremajaan hutan. Sebab menurut mereka, kecepatan
penebangan seluas 6000 ha/tahun -- yang akan diperluas lagi
setelah bekerjanya pabrik penggergajian nanti kelestarian hutan
dapat dipertahankan. Toh dengan langkanya pensurvei dan
fasilitas Dirjen Kehutanan, siapa yang dapat menjamin bahwa
omongan orang-orang Pilipina itu bukan isapan jempol belaka'?
Yang terang, luasnya konsesi III telah memungkinkan KRTP
berswa-sembada memenuhi sebagian besar kebutuhan hariannya: kayu
untuk bangunan kamp yang lengkap dengan gudang, bengkel,
mushola, kapel, klinik, sekolah dan pusat pendidikan. Juga
pertanian dan peternakan yang dibuka di daerah-daerah yang sudah
digunduli. Mereka memang menyadari bahwa telur, daging, dan
sayur-mayur untuk konsumsi ratusan karyawannya itu dapat
menggencet pasaran yang mungkin bisa diisi oleh pengusaha dan
petani lokal. Tapi Godinez punya alasan begini: "bagaimana kita
dapat menggantungkan diri pada suplai dari luar, kalau harga
pasaran bahan pangan selalu naik-turun mengikuti fluktuasi harga
kayu?"
Sebagai imbalannya, KRTP berusaha memberi prioritas pada
penduduk setempat yang kebanyakan orang Daya, Melayu Tanjung
Selor dan pendatang yang mengadu nasib ke Tarakan. Tidak sedikit
yang dididik dan ditampung di kamp-kamp KRTP. Dan selain klinik
perusahaan yang juga terbuka bagi yang bukan karyawan, Soriano
bersaudara telah mengirim ahli perencana kota Manuel Maniosa Jr
untuk membantu pembangunan desa pemukiman kembali (resettlement)
di Long Belua, tetangga Keburao. Namun sementara itu, apakah
yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia sendiri dengan
royalties dari KRTP, untuk para pemukim Daya disana?
Sepanjang pengamatan TEMPO, Orang-orang Daya yang datang dari
hulu sungai itu hanya mendapat ongkos bensin dan sedikit biaya
hidup untuk mulai bermukirn di Long Belua. Tapi bagaimana kalau
kebutuhan hidup & pendidikan mereka tidak tertampung oleh
perusahaan kehutanan itu? Sebab bagaimanapun juga, KRTP adalah
maskapai swasta yang tentunya punya dana sosial yang terbatas.
Malah cenderung untuk melakukan segala-galanya dalam batas pagar
halamannya sendiri. Sementara penduduk asli suku Daya Kayan
Kenyah itu -- dengan datangnya maskapai-maskapai penebang
raksasa -- kehilangan kebebasan mereka memungut hasil hutan dan
bertani di hutan warisan nenek moyang mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini