Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESTASI sepak bola Indonesia boleh jadi masih tergolong “ala kadarnya”—atau bahkan menurun. Namun kepengurusan induk organisasi yang mengurus cabang olahraga itu tetaplah menjadi magnet bagi banyak tokoh publik. Kini, menjelang Kongres Luar Biasa Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, sejumlah pejabat negara, pengusaha, hingga politikus mengincar posisi Ketua Umum PSSI menggantikan Mochamad Iriawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kongres luar biasa akan dilaksanakan pada 16 Februari 2023. Selain memilih ketua umum, acara ini akan menentukan wakil ketua umum dan anggota komisi eksekutif baru. Masa kepengurusan Iriawan yang seharusnya berakhir pada akhir tahun dipangkas setelah pecahnya tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022. Peristiwa yang menewaskan setidaknya 135 orang itu meledak seusai pertandingan Liga 1 antara Arema Malang dan Persebaya Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menginvestigasi insiden tersebut dan menemukan sejumlah pelanggaran. Di antaranya, tim itu menyebut adanya kelalaian Ketua Umum PSSI dan jajarannya. Tim independen pun mendesak PSSI menyelenggarakan kongres luar biasa sebagai syarat pertandingan liga bisa bergulir lagi.
Sudah semestinya Mochamad Iriawan dan pengurus PSSI yang sekarang bertanggung jawab atas insiden maut tersebut. Walaupun hanya dua pemilik suara yang mengusulkan, yaitu Persis Solo dan Persebaya Surabaya—jauh dari syarat minimal—PSSI memutuskan menggelar kongres luar biasa.
Menjelang pelaksanaan KLB, sejumlah kandidat ketua umum mulai muncul. Mereka antara lain Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir; pemilik MNC Group dan Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Hary Tanoesoedibjo; serta Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman. Erick menjadi nama yang paling banyak disebut, bahkan dimunculkan dalam sejumlah survei popularitas calon ketua umum.
Langkah Erick untuk maju dalam pencalonan terlihat sejak beberapa hari setelah tragedi Kanjuruhan. Menjabat menteri bidang ekonomi, Erick lompat pagar mengambil tugas dan peran Menteri Pemuda dan Olahraga sebagai pelobi Federasi Internasional Asosiasi Sepak Bola atau FIFA. Dia disebut-sebut berjasa melobi Presiden FIFA Gianni Infantino agar tidak menjatuhkan sanksi pembekuan sepak bola Indonesia dari kompetisi internasional. Tanpa lobi pun, tidak pernah ada rencana FIFA menjatuhkan sanksi akibat kejadian tersebut.
Erick memiliki pengalaman yang banyak dalam sepak bola. Dia pernah menjadi pemilik dan presiden klub sepak bola ternama Italia, Inter Milan. Ia juga memiliki D.C. United di liga Amerika Serikat. Sekarang dia juga menguasai saham klub liga 1 Inggris, Oxford United. Di Tanah Air, keluarganya memiliki klub Liga 1, Persis Solo, bersama anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep.
Munculnya Erick pada saat yang sama menumbuhkan kekhawatiran PSSI bakal menjadi tunggangan politik menteri berlatar belakang pengusaha itu menjelang Pemilihan Umum 2024. Erick yang disebut-sebut mengincar posisi calon wakil presiden sedang sibuk-sibuknya berkeliling ke banyak daerah. Menjabat Ketua Umum PSSI bisa menjadi jalan pintas mendongkrak elektabilitas pemilik Mahaka Sports and Entertainment ini.
Berkiprah di PSSI untuk mendapat manfaat elektoral tentu sah-sah saja. Namun, berpijak pada pengalaman lalu, sepak bola Indonesia tidak pernah maju karena sering kali hanya menjadi kendaraan politik sesaat ketua umumnya. Belum lagi praktik jual-beli gelar liga, pengaturan skor, dan tawuran antarsuporter yang masih menjadi masalah besar di sepak bola Indonesia. Noda-noda itu susah dihilangkan karena ketua umumnya tidak punya keahlian mengelola sepak bola lantaran lebih sibuk menjalankan aktivitas politik.
Selain itu, posisi Erick selaku menteri yang menjadi wakil negara sebagai pemegang saham di ratusan perusahaan pelat merah berpotensi menimbulkan pelbagai konflik kepentingan. Misalnya, keputusan direksi BUMN dalam menghadapi pengajuan permintaan sponsor dari klub-klub liga Indonesia bisa jadi tidak akan diambil dengan pertimbangan bisnis semata.
Pada masa lalu, ketika klub sepak bola boleh mendapat kucuran dari anggaran pendapatan dan belanja daerah, pengelolaan sepak bola menjadi kacau. Para kepala daerah yang merasa menjadi pemilik klub banyak merecokinya dengan kepentingan politik. Banyak pengurus klub juga terseret kasus korupsi sepak bola. Sampai kemudian, pada 2011, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan larangan penggunaan anggaran daerah bagi klub sepak bola.
Ketika kepentingan politik menjadi dominan, hal itu bisa tergambar dari orientasi yang hendak dicapai dalam pengelolaan PSSI. Contoh terbaru, pilihan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 2023 sebagai cara instan mendapatkan tiket tanpa melewati babak penyisihan. Langkah serupa diambil Qatar, yang sedang menggelar Piala Dunia 2022. Tim tuan rumah terbukti gagal melewati babak penyisihan grup.
Kongres Luar Biasa memilih Ketua Umum PSSI mendatang akan jadi pertaruhan. Para pemegang hak suara menjadi kunci apakah mereka membuka atau menutup pintu bagi para kandidat, yang hanya ingin menjadikan sepak bola Tanah Air sebagai gocekan politik semata. Jika gagal menentukan pemimpin yang tepat, harapan kemajuan sepak bola Indonesia akan makin tipis saja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo